Quantcast
Channel: ZENOSPHERE
Viewing all articles
Browse latest Browse all 60

Heraclitus: Perubahan, Pertentangan, Harmoni

$
0
0

Heraclitus dari Ephesus adalah seorang filsuf Yunani yang hidup di era Pra-Sokrates. Ada banyak hal diceritakan tentangnya, namun yang paling terkenal adalah reputasi sebagai “filsuf misterius”.

Mengapa disebut misterius, salah satunya karena dia jarang berargumen to the point. Nyaris semua kutipannya berbentuk paradoks atau metafora. Sedemikian mbulet-nya Heraclitus, hingga sejawatnya sesama filsuf berkomentar mengeluhkan — sebagai contoh Aristoteles menyebutnya “Sang Gelap”. (Yunani: ho skoteinos)

[img] Heraclitus by Johannes Moreelse (1630)

Heraclitus digambarkan sebagai “Sang Gelap”
(lukisan karya Johannes Moreelse, 1630)

(image credit: Wikimedia Commons)

Namun Heraclitus bukanlah berumit-rumit tanpa tujuan. Sebagaimana telah disebut, dia adalah seorang filsuf, dan sebagai filsuf dia berupaya menyampaikan idenya ke masyarakat. Dalam hal ini dia mengingatkan pada rekan sesama filsuf Pra-Sokratik, Zeno murid Parmenides: bahwa lewat paradoks dan puntiran-logika, orang bisa menunjukkan sebuah kebenaran tersirat. (Walaupun arah pemikiran mereka berbeda, tapi itu cerita lain)

Nah, dalam tulisan kali ini, kita akan sedikit berkenalan dengan sosok dan cara pandang Heraclitus. Ada beberapa topik yang dia bicarakan, termasuk tentang kosmologi dan logos (ini istilah Yunani yang susah diterjemahkan). Meskipun begitu kita tidak akan membahas seluruh pemikiran beliau, melainkan hanya tiga aspek: perubahan, pertentangan, dan harmoni.

 
Siapa itu Heraclitus? Sekilas Pengantar
 

Heraclitus dari Ephesus diperkirakan hidup sekitar abad keenam sebelum Masehi, dekat Semenanjung Anatolia, yang di masa kini bagian wilayah Turki. Sebuah riwayat menyebut dia lahir pada keluarga bangsawan, meskipun begitu dia memilih hidup sebagai pertapa, menyerahkan harta warisan pada adiknya. Bisa dibilang bahwa seluruh hidupnya dibaktikan untuk persoalan filsafat.

Heraclitus diceritakan sebagai sosok penyendiri dan misantropik. Dia menganggap mayoritas orang di sekitarnya bodoh, tidak intelek; cuma tahu “mengenyangkan diri seperti kambing”. Konon pemicunya terjadi ketika warga Ephesus mengusir sahabatnya ke luar kota. Peristiwa itu membuat Heraclitus marah dan menyumpahi warga Ephesus, “lebih baik semuanya gantung diri”. (Guthrie, 1962, hlm. 409)

Mengesampingkan sifat kasarnya, bagaimanapun, dia mempunyai warisan intelektual. Beberapa sumber menyebut Heraclitus pernah menulis buku dan menyimpannya di perpustakaan Kuil Artemis. Sayangnya, karena dimakan usia, di masa kini tidak ada bagian asli buku itu yang bertahan. Namun demikian terdapat beberapa ulasan dan kutipan filsuf sesudahnya — menyelamatkan sebagian gagasan Heraclitus dalam bentuk fragmen.

(Hal ini sering terjadi pada filsuf Yunani generasi awal. Sebagai perspektif, jarak waktu antara Heraclitus dan kita adalah 2500 tahun.)

Adapun berdasarkan penelitian arkeologi sejauh ini, terdapat sejumlah 124 fragmen kutipan Heraclitus yang bisa dipertanggungjawabkan. Melalui fragmen-fragmen inilah, para ahli di zaman modern dapat merekonstruksi — dan menganalisis — gagasan filsafat beliau.

Telah disinggung bahwa terdapat tiga aspek penting dari pemikirannya, yaitu perubahan, pertentangan, dan harmoni. Mengenai mereka akan kita bahas satu per satu.

 
Heraclitus dan Perubahan
 

Aspek pertama filsafat Heraclitus cukup umum, dan sering dislogankan di zaman modern: perubahan. Sebagai filsuf Heraclitus percaya bahwa alam semesta tidak tetap, melainkan berpartisipasi dalam perubahan terus-menerus.

Setiap tetes air sungai mengalir ke laut; benda panas menjadi dingin; demikian pula empat musim silih-berganti. Tidak satupun bagian dari semesta luput dari perubahan. Dalam bahasa Yunani doktrin ini diberi nama panta rhei. (“semua mengalir”)

Cool things become warm, the warm grows cool, the moist dries, the parched becomes moist.

(Heraclitus, Fragment #22, ed. Wheelwright 1959 / DK 126)

Sekilas pandangan di atas terdengar biasa. Meskipun demikian Heraclitus melanjutkan: karena setiap hal selalu berubah, maka terjadi semacam ‘perang’ (polemos) antara dua situasi, di mana yang satu menggantikan yang lain.

Mengacu pada contoh: situasi ‘dingin’ dan ‘panas’ silih berganti, yang satu menggusur yang lain. Demikian pula ‘lembab’ dan ‘kering’ muncul bergiliran. Adanya perubahan mengimplikasikan ketegangan subtil di alam: bahwa situasi-situasi berbeda dapat muncul, namun hanya satu yang bisa terwujud.

Heraclitus memandang ketegangan itu sebagai proses inti alam semesta. Secara umum jiwa semesta dapat dianalogikan sebagai ‘perang’ (polemos), menghasilkan ekuilibrium yang berbeda setiap saat, yang lalu dipersepsi manusia sebagai “perubahan”.

Secara gamblang ia menyebut metafora itu lewat kutipan:

It should be understood that war is the common condition, that strife is justice, and that all things come to pass through the compulsion of strife.

(Heraclitus, Fragment #26, ed. Wheelwright 1959 / DK 80)

Dengan demikian alam semesta versi Heraclitus dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis. Kondisi di dalamnya terus berubah, namun dengan catatan, perubahan itu didorong oleh aksi pertentangan (polemos) di balik layar.

Namun polemos versi Heraclitus bukanlah perang yang total menghancurkan. Justru sebaliknya: dari pertentangan-pertentangan itu, timbul sebuah konstruksi kesatuan. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Heraclitus dan Harmoni
 

Adapun ide Heraclitus tentang polemos membawa kita pada pandangan yang — kalau boleh dibilang — mengingatkan pada Yin-Yang di ajaran Taoisme.

Sebagai pembaca modern, kita sering membayangkan ‘perang’ memiliki pemenang, sementara yang kalah hancur. Tidak demikian bagi Heraclitus. Dalam analogi yang digunakannya, tidak ada pihak yang benar-benar menang dan menaklukkan — setiap momen hanyalah resolusi dan kestabilan-sejenak (temporary equilibrium).

Mengenai konsep di atas, terdapat sebuah ilustrasi yang melibatkan busur dan lira (alat musik).

People do not understand how that which is at variance with itself agrees with itself. There is a harmony in the bending back, as in the case of the bow and the lyre.

(Heraclitus, Fragment #117, ed. Wheelwright 1959 / DK 51)

Sebuah busur sekilas tampak diam, akan tetapi di dalamnya, terdapat gaya aksi-reaksi yang seimbang. Apabila kita gunting tali busur maka akan terjadi hentakan dan mental.

Heraclitus memandang bahwa eksistensi sebuah busur tergantung pada ‘ketegangan’ — literal dan kiasan — yang terkandung di dalamnya. Sebuah busur yang talinya longgar tentu tak bisa melontarkan panah. Namun adanya polemos, dalam hal ini pertentangan gaya fisika, membuat benda itu sukses menjadi “busur” — memenuhi definisi dan tujuannya.

Singkatnya, dari perlawanan di balik layar, timbul sebuah kesatuan baru — benda yang dapat dipakai oleh manusia.

Inilah yang disebut sebagai “harmoni tersembunyi”, keberlawanan yang saling melengkapi. Bahwasanya di alam terdapat konflik dan ketegangan, namun ketegangan itu justru bersinergi menciptakan eksistensi.

* * *

Mengenai “harmoni tersembunyi” sendiri Heraclitus punya beberapa contoh. Terdapat skenario di mana perbedaan yang ada bukan menghilangkan, melainkan saling mengukuhkan. Sebagai contoh…

It is by disease that health is pleasant; by evil that good is pleasant; by hunger, satiety; by weariness, rest.

(Heraclitus, Fragment #99, ed. Wheelwright 1959 / DK 111)

Ada juga yang berkaitan dengan arah, yaitu naik dan turun. Sekilas tampak dua kutub perbedaan, namun menurut Heraclitus:

The way up and the way down are one and the same.

(Heraclitus, Fragment #108, ed. Wheelwright 1959 / DK 60)

Di balik perbedaan terdapat landasan kesamaan, atau meminjam istilahnya Heraclitus, sebuah “harmoni tersembunyi”. Alhasil, bukan aneh jika dia akhirnya punya kutipan yang — seperti sempat disinggung — sekilas mirip ajaran Taoisme (biarpun cuma kebetulan).

Opposition brings concord. Out of discord comes the fairest harmony.

(Heraclitus, Fragment #98, ed. Wheelwright 1959 / DK 8)

 
Ada kalanya cuma masalah sudut pandang
 

Bahwa terdapat perbedaan di dunia, hal itu sudah jelas. Namun cukup lucu jika benda yang sama ternyata dianggap berbeda. Mengenai hal ini Heraclitus punya cerita lagi.

Sebuah fragmen mengisahkan bagaimana air laut dipandang oleh ikan dan manusia.

Sea water is at once very pure and very foul: it is drinkable and healthful for fishes, but undrinkable and deadly for men.

(Heraclitus, Fragment #101, ed. Wheelwright 1959 / DK 61)

Padahal air lautnya sama, sama-sama larutan air yang mengandung garam. Akan tetapi ternyata mendapat reaksi yang bertolak belakang. Pertanyaannya adalah: mengapa?

Di sinilah kita sadar bahwa ada yang namanya “konteks”, dan dia bersifat krusial. Sebuah benda bisa jadi sangat baik, atau sangat buruk, tergantung siapa yang mendapatkannya! Dalam contoh di atas manusia tidak bisa minum air garam terus-menerus: jikapun memaksa maka akan haus dan dehidrasi. Namun berbeda dengan ikan yang habitatnya air asin. Justru itulah yang membuat dia hidup, bahkan menyehatkan.

Konteks kehadiran suatu benda amat menentukan situasinya di dunia. Saya pribadi selalu ingat omongan seorang teman: sepasang anak muda mendapat kehamilan di luar nikah sedih dan ketakutan, namun lansia yang merindukan anak tidak dapat, biarpun sudah berdoa sampai ke Mekah. In a way, yang semacam ini cukup menggelitik.

Soal konteks dan perspektif sendiri Heraclitus cukup piawai mencontohkan. Beberapa contohnya membandingkan hewan dan manusia.

Donkeys would prefer straw to gold.

(Heraclitus, Fragment #102, ed. Wheelwright 1959 / DK 9)

The handsomest ape is ugly compared with humankind; the wisest man appears as an ape when compared with a god — in wisdom, in beauty, and in all other ways.

(Heraclitus, Fragment #104, ed. Wheelwright 1959 / DK 82-83)

Namun di sinilah kita masuk pada gagasan Heraclitus yang sangat profound. Orang sering mengeluh bahwa “keburukan merajalela” dan “dunia sudah rusak”. Seolah semuanya sudah hancur. Akan tetapi benarkah demikian?

Jawabannya cenderung abu-abu. Menurut Heraclitus,

To God all things are beautiful, good, and right; men, on the other hand, deem some things right and others wrong.

(Heraclitus, Fragment #106, ed. Wheelwright 1959 / DK 102)

Ini bukan berarti Heraclitus menyuruh orang menelan mentah bahwa “semuanya baik” — kalau iya, dia takkan masalah minum air laut setiap hari (bandingkan kutipan sebelumnya). Ilustrasi di atas bermaksud menunjukkan bahwa, betapapun yakinnya, pandang-pandangan manusia itu terbatas. Sebab manusia juga terbatas. Bagaimana bisa kita menghakimi apa yang baik untuk semesta, jika pengetahuan kita tentangnya saja tidak lengkap?

Penting dicatat bahwa “Tuhan” dalam persepsi Heraclitus bersifat panteistik, yaitu mewujud di seluruh alam, dan berekspresi lewat hukum alam. Jadi agak beda dengan pengertian sehari-hari. Bagaimanapun kita harus ingat bahwa beliau berasal dari tempat dan waktu yang jauh dari kita; wajar jika konteks istilahnya juga berbeda.

Adapun intinya sederhana. Sering kali dalam hidup kita mencela suatu hal sebagai “buruk” atau “tidak layak”, namun sebenarnya kita mirip ilustrasi orang dan air laut. Yang baik untuk kita belum tentu baik untuk yang lain. Begitu pun yang kita anggap buruk. Bahkan yang menohok, kadang hal yang kita tidak suka itu sebenarnya sangat berguna.

Tidak percaya? Bayangkan saja seluruh air laut di bumi hilang. Dijamin kita semua mati. :mrgreen:

Dengan satu atau lain cara, konteks yang berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda. Selalu berhati-hati dalam menimbang opini adalah pilihan terbaik.

 
Penutup
 

Ada sebuah komentar yang ditulis Plotinus, filsuf mazhab Neoplatonik, sehubungan dengan Heraclitus dan cara bertuturnya. Redaksinya setengah mengeluh setengah menoleransi:

He seems to speak in similes, careless of making his meaning clear, perhaps because in his view we ought to seek within ourselves as he himself had successfully sought.

(dikutip dalam Guthrie, 1962, hlm. 411)

Dalam hal ini Plotinus tidak sendirian. Sebagaimana disebut di awal Heraclitus bahkan membuat sebal Aristoteles; boleh dibilang sosok legenda filsafat Yunani. Terdapat kesan bahwa Heraclitus mempermainkan (dan menabrak) aturan logika seenaknya.

Meskipun demikian, sebagaimana diuraikan panjang-lebar di atas, Heraclitus membuat paradoks bukanlah untuk iseng. Justru sebaliknya: di balik keruwetan itu terdapat gagasan filsafat yang segar dan koheren.

Heraclitus sendiri sebenarnya lebih dekat ke arah mistikus daripada filsuf. Ia memandang logika lebih sebagai “batu loncatan” memahami kebenaran, atau setidaknya, sekadar “penunjuk jalan”. Ke mana arah yang ditunjuknya? Mengenai hal itu harus dicari sendiri.

Jika ada pembaca yang familiar dengan Filsafat Timur, atau Sufisme, atau esoterisme sebangsanya, barangkali sudah membuat perhubungan dalam benak. Mengenai hal itu saya tak mau berkomentar. Cukuplah dikatakan bahwa betapapun paralel, kita harus ingat bahwa manusia punya kecenderungan terjebak mencocok-cocokkan diri. :P

Mengenai Heraclitus sendiri, saya memandang beliau sosok yang khas. Dilahirkan di Yunani Kuno, dia sangat mistikus — lihat kutipan di bawah — namun membungkus pandangannya secara filsafat. Barangkali memang sewajarnya. Lokasinya berbeda, waktunya berbeda, kebudayaannya berbeda — maka ekspresinya juga berbeda.

Although this Logos is eternally valid, yet men are unable to understand it — not only before hearing it, but even after they have heard it for the first time. That is to say, although all things come to pass in accordance with this Logos, men seem to be quite without any experience of it — at least if they are judged in the light of such words and deeds as I am here setting forth. My own method is to distinguish each thing according to its nature, and to specify how it behaves; other men, on the contrary, are as forgetful and heedless in their waking moments of what is going on around and within them as they are during sleep.

. . .

We should let ourselves be guided by what is common to all. Yet, although the Logos is common to all, most men live as if each of them had a private intelligence of his own.

 
(Heraclitus, Fragment #1-2, ed. Wheelwright 1959 / DK 1-2)

Pembahasan mengenai Heraclitus kita cukupkan sampai di sini. Pembaca yang penasaran lebih lanjut dengan beliau, dapat membaca arsip terjemahan online (124 fragmen) di Middlebury College. Ada juga buku pengantar yang bagus terbitan 1959 — yang entah bagaimana sudah public domain, jadi bisa diunduh di Internet Archive.

In any case, Heraclitus adalah pemikir yang cukup layak diperhatikan. Dengan caranya sendiri dia mewarnai filsafat Yunani Kuno. Bukan seperti Plato dengan abstraksi, atau Aristoteles yang kokoh dengan logika, melainkan lewat kekaburan yang inspiratif — seolah memanggil pembacanya untuk terjun menjelajah di dunia pemikiran.

 

 
——

Pustaka:

 
Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek Philosophy: Volume I: The Earlier Presocratics and The Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press

Wheelwright, P. (1959). Heraclitus. Princeton, NJ: Princeton University Press



Viewing all articles
Browse latest Browse all 60