Dewi Athena, atau nama Latinnya Minerva, sering digambarkan sebagai sosok bijaksana dan penolong. Bagaimanapun memang “profesinya” Dewi Pengetahuan dan Kebijaksanaan. Banyak pahlawan Yunani pernah merasakan welas asihnya.
Satu contoh yang terkenal melibatkan Hercules, hasil hubungan Zeus dengan wanita bumi Alcmene. Menyadari dirinya akan dikejar Hera, Alcmene meninggalkan bayi Hercules di alam liar, meskipun demikian Athena menemukan dan mengadopsinya. Di kemudian hari Athena menjadi dewi pelindung Hercules di saat dia melaksanakan 12 Tugas Maut.
Cerita lain tentang Athena agak lebih alegoris. Konon ketika dunia masih muda, Athena dan Poseidon menawari hadiah pada penduduk kota tepi pantai. Poseidon menghujam dengan tombaknya menciptakan mata air. Athena di sisi lain menumbuhkan pohon zaitun — sebagaimana umum diketahui, simbol perdamaian, namun juga banyak manfaat dan bisa diperdagangkan. Penduduk yang terkesan kemudian memilih hadiah Athena, dan sebagai penghargaan, menetapkan nama kota “Polis Athena”.
Dapat dibilang bahwa dibandingkan dewa-dewi Yunani lain, Athena cenderung simpatik. Dia tidak ‘hobi’ mempermainkan manusia (seperti Hera), atau melampiaskan nafsu cinta (seperti Zeus). Athena adalah dewi yang senantiasa tenang dan teguh; tidak menikah atau punya kekasih; mempunyai kecerdasan dan rasa keadilan yang tinggi. Sosoknya mewakili spirit Yunani zaman kuno: mengutamakan akal di atas kesenangan semu.
Athena (Kebijaksanaan) digambarkan mengungguli Ares (Perang) dan Aphrodite (Cinta)
(lukisan karya Joseph-Benoît Suvée, 1771)
(image credit: Wikimedia Commons)
Pun demikian, layaknya dewa-dewi Yunani, Athena juga tak sempurna. Beberapa kali ia menunjukkan kemarahan yang kejam dan tidak pada tempatnya. Salah satunya menimpa Arachne — gadis penenun dari Colophon.
Arachne dari Colophon diceritakan berasal dari keluarga sederhana. Meskipun demikian ia memiliki bakat menenun yang hebat, sedemikian hingga para bidadari sungai (naiad) senang menonton dia bekerja.
Oft, to admire the niceness of her skill,
The nymphs would quit their fountain, shade, or hill;
Thither, from green Tymolus, they repair,
And leave the vineyards, their peculiar care;
Thither, from fam’d Pactolus’ golden stream,
Drawn by her art, the curious Naiads came.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Adapun di dunia mitologi klasik seluruh ilmu dan kesenian mempunyai dewa-dewi penanggungjawab tersendiri. Sebagai contoh musik dan puisi dikuasai oleh Apollo; ilmu kesehatan oleh Asclepius. Khusus ilmu tenun yang membawahinya adalah Athena — dalam puisi namanya disebut “Pallas” (mengacu pada gelar “Pallas Athena”).
Oleh karena itu, wajar jika orang menganggap keindahan karya tenun tak lepas dari Athena. Bahkan hasil kerja Arachne pun diatributkan kepadanya.
Whether the shapeless wool in balls she wound,
Or with quick motion turn’d the spindle round,
Or with her pencil drew the neat design,
Pallas her mistress shone in every line.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Meskipun demikian Arachne punya pandangan sendiri. Dia tidak percaya bakat seninya merupakan pemberian dewi.
This, the proud maid with scornful air denies,
And e’en the goddess at her work defies;
Disowns her heav’nly mistress ev’ry hour,
Nor asks her aid, nor deprecates her pow’r:—
Let us (she cries) but to a trial come,
And, if she conquers, let her fix my doom.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Tindakan Arachne sangatlah luar biasa. Dengan tinggi hati dia menantang penghuni Olympus. Namun Athena adalah Dewi Kebijaksanaan, maka dia menanggapi dengan tenang. Sambil menyamar sebagai wanita tua ia menasihati Arachne agar menarik klaimnya.
Tidak menyadari penyamaran sang dewi, Arachne justru kalap. Penuh geram dia meradang dan menantang:
Know, I despise your counsel, and am still
A woman, ever wedded to my will;
And, if your skilful goddess better knows,
Let her accept the trial I propose.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Merasa kehormatannya dilanggar Athena menampakkan wujud asli. Segera sosoknya berganti: bukan lagi tua-renta, melainkan tinggi menjulang dan bercahaya. Arachne sempat gentar melihatnya. Meskipun demikian, ia tetap siaga.
The nymphs and virgins of the plain adore
The awful goddess, and confess her pow’r;
The maid alone stood unappall’d; yet shew’d
A transient blush, that for a moment glow’d,
Then disappear’d
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Dengan segera pertandingan dimulai. Dewi dan manusia beradu keahlian di dalam bengkel — masing-masing percaya dirinya yang terbaik.
Athena memulai dengan menggambarkan kegemilangan para dewa di Olympus.
Pallas in figures wrought the heav’nly pow’rs,
And Mars’s hill among th’ Athenian tow’rs.
On lofty thrones twice six celestials sate,
Jove in the midst, and held their warm debate;
The subject weighty, and well-known to fame,
From whom the city should receive its name.
Each god by proper features was exprest,
Jove with majestic mien excell’d the rest.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Secara khusus Athena menggambarkan diri dalam jubah tempur kemilau.
Herself she blazons with a glitt’ring spear,
And crested helm that veiled her braided hair,
With shield, and scaly breast-plate, implements of war.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Sebagai pamungkas Athena menambahkan ilustrasi hukuman dewa-dewi terhadap manusia di empat sisi. Secara tersirat ia mengancam: sebagaimana tokoh ilustrasi disiksa dan berakhir tragis, demikian pula bakal nasib Arachne.
* * *
Akan tetapi Arachne punya cerita sendiri.
Berbeda dengan Athena yang mengagungkan penghuni Olympus, Arachne menggambarkan kisah manipulasi dewa terhadap manusia. Tanpa ampun dia menggambarkan tindakan Zeus merayu dan memperkosa para gadis di bumi.
Dimulai dengan kisah penculikan Europa, Arachne melanjutkan:
Next she design’d Asteria’s fabled rape,
When Jove assum’d a soaring eagle’s shape:
And shew’d how Leda lay supinely press’d,
Whilst the soft snowy swan sate hov’ring o’er her breast.
How in a satyr’s form the god beguil’d,
When fair Antiope with twins he fill’d.
Then, like Amphitryon, but a real Jove,
In fair Alcmena’s arms he cool’d his love.
In fluid gold to Danae’s heart he came,
Aegina felt him in a lambent flame.
He took Mnemosyne in shepherd’s make,
And for Deois was a speckled snake.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Namun yang disasarnya bukan cuma Zeus. Di bagian selanjutnya Arachne bercerita tentang Poseidon yang melanggar kemuliaan Demeter (Ceres).
Then Ceres in a steed your vigour tried,
Nor could the mare the yellow goddess hide.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Disusul berturut-turut oleh Apollo yang mempermainkan Isse; Dionysius dengan Erigone; hingga Chiron yang “kecelakaan lahir” berwujud setengah-kuda setengah-manusia. Secara elegan Arachne memutar, menyambung, dan menyimpul cerita di atas kain.
Arachne barangkali bukannya sombong ketika dia menolak mengakui Athena. Bisa jadi ia sebenarnya marah. Marah pada seluruh penghuni Olympus, dan tak hendak mengiyakan mereka — betapapun hal itu muskil. Meminjam kalimat seorang penyair asal Wales: Rage, rage against the dying of the light…
Di luar dugaan karya tenun Arachne membuat Athena terkesan dan tersentuh.
This the bright goddess, passionately mov’d,
With envy saw, yet inwardly approv’d.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Namun di sinilah terjadi peristiwa langka. Terbakar oleh rasa malu dan iri, Athena marah besar dan menjadi destruktif: dia merobek tekstil yang memalukan para dewa, lalu menyerang pembuatnya.
The scene of heav’nly guilt with haste she tore,
Nor longer the affront with patience bore;
A boxen shuttle in her hand she took,
And more than once Arachne’s forehead struck.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Jika orang bertanya, penderitaan terburuk apa yang bisa menimpa seniman, mungkin inilah jawabannya. Karya buatan tangan dihancurkan di depan mata. Hukuman Athena sangat kejam bukan karena magis — melainkan karena begitu biasa, namun kuat menghantam sisi manusiawi.
Peristiwa itu meremukkan hati Arachne. Meskipun demikian kemarahannya membara: lebih baik mati daripada diperlakukan rendah oleh dewi. Berada di bengkel tenun barangkali cukup mudah menemukan tali. Arachne seketika melakukan gantung diri.
Th’ unhappy maid, impatient of the wrong,
Down from a beam her injur’d person hung
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Atau, dalam sebuah terjemahan alternatif:
Nor could Arachne take such punishment:
She’d rather hang herself than bow her head,
And with a twist of rope around her neck
She swung
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Horace Gregory)
Bagaimanapun Athena kemudian tersadar. Menyaksikan Arachne sakaratul maut, rasa kasihan timbul di hatinya.
When Pallas, pitying her wretched state,
At once prevented, and pronounc’d her fate:—
Live; but depend, vile wretch (the goddess cry’d),
Doom’d in suspense for ever to be tied;
That all your race, to utmost date of time,
May feel the vengeance, and detest the crime.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Mengingat keahlian Arachne memintal benang, namun juga untuk memberi hukuman, Athena akhirnya mengubah sosok Arachne menjadi laba-laba. Meskipun demikian, jika membaca detail transformasinya, orang mungkin bertanya: apakah itu pertolongan atau hukuman tambahan?
Touch’d with the pois’nous drug, her flowing hair
Fell to the ground, and left her temples bare;
Her usual features vanish’d from their place,
Her body lessen’d all, but most her face.
Her slender fingers, hanging on each side
With many joints, the use of legs supply’d:
A spider’s bag, the rest from which she gives
A thread, and still by constant weaving lives.
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)
Mengenai apakah situasi akhir Arachne lebih baik daripada mati gantung diri, tentu bisa diperdebatkan. Meskipun demikian soal itu tak akan kita bahas di sini. ;)
Penutup: Cermin Sang Penyair
Ada perhubungan paralel antara nasib Arachne, gadis yang dikutuk, dengan Ovid, penyair yang menulis kisahnya dalam buku Metamorphoses. Bisa ditebak dari judulnya, buku itu berkisah tentang tokoh-tokoh yang mengalami perubahan bentuk, baik sukarela maupun terpaksa. Secara kriptik Ovid berkomentar:
Tell people that the face of my own fortunes
Can be reckoned among those Metamorphoses.
(Ovid, “Tristia” ; dikutip dalam Liveley, 2011)
Perbandingan itu bukan tanpa alasan. Sebagai penyair, Ovid dulunya sangat tenar di seluruh Romawi. Meskipun demikian intrik politik membuat dia diusir ke luar negeri oleh Augustus Caesar.
Penyebab pastinya kurang jelas, namun beberapa ahli menduga karena puisi berjudul Ars Amatoria. Dalam puisi tersebut Ovid membahas tema romantis dengan agak vulgar, sementara itu, Augustus cenderung moralis: dia ingin menciptakan kode etik “Romawi Baru” selepas era Republik.
Ada juga berbagai penjelasan alternatif. Sebuah rumor menyebut Ovid ditendang karena terlalu akrab dengan musuh politik Augustus. Rumor lain mengklaim Ovid mendengar “rahasia dapur” istana terlalu banyak. Apapun kebenarannya, yang jelas Ovid akhirnya diasingkan sampai akhir hayat. Dia tak pernah lagi menginjakkan kaki di wilayah Romawi.
Lewat uraian di atas terlihat kemiripan jalan hidup Ovid dengan Arachne. Keduanya tokoh yang angkat bicara lewat seni, namun ternyata menyinggung penguasa dan berakhir pahit. Bakat dan pencapaian artistik ambyar di muka politik. Ovid dalam Metamorphoses seolah hendak mengingatkan: bahwa keadilan tak selalu bisa diharapkan dari yang berkuasa, dan seringkali, justru yang berkuasa itu cepat panas kupingnya.
Sebagian pembaca mungkin ingat, beberapa bulan lalu saya menulis tentang J. Robert Oppenheimer, ilmuwan Amerika yang memimpin proyek bom atom. Awalnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan, meskipun begitu, rasa tanggung jawab mendorongnya menolak senjata nuklir. Berulangkali dia mengkritik kebijakan luar negeri AS. Kelantangan Oppenheimer akhirnya berujung pahit: dia dituduh sebagai mata-mata Soviet. Rumah dan kantornya disadap oleh FBI, dia diseret ke meja hijau, dan kemudian diisolasi secara politik. Ironisnya adalah tuduhan itu akhirnya tidak terbukti.
Senada dengan dua ilustrasi sebelumnya, kemampuan teknis Oppenheimer berujung ambyar di depan politik. Ahli fisika berkampanye bahaya nuklir, diganyang. Orang menulis puisi dilarang, lalu yang alegoris: mengkritik kelakuan dewa berujung malang. Ada benang merah yang menghubungkan ketiganya.
Ketika sekelompok orang, atau pemerintah, tidak terima dirinya digugat, biasanya itu pertanda buruk. Kadang kemarahan mereka dibungkus dengan bahasa indah — Athena dengan kegemilangan Olympus, Augustus dengan visi imperium, pemerintah Amerika dengan jargon melawan komunis — namun dampak yang dihasilkannya mirip. Ada pelanggaran keadilan, penyalahgunaan kekuasaan, whatever have you.
Bukan berarti cuma terjadi di skala besar, sih. Ada juga pemimpin kecil-kecilan yang berperilaku seperti itu. Mungkin jabatannya rektor, kepala sekolah, atau eksekutif swasta. Really, same stuff with different wrapping. Yang membedakan hanya cara dan kesempatan mengekspresikannya.
“With great power comes great responsibility,” begitu katanya Paman Ben. Yah, mudah-mudahan orang dalam hidup saya semuanya sewaras itu… :lol:
——-
Pustaka:
Garth, S. (Ed.). (1826). Ovid’s Metamorphoses: Translated by Various Authors. London: J.F. Dove
Gregory, H. (1958). Ovid: The Metamorphoses: A Complete New Version. New York: The Viking Press
Liveley, G. (2011). Ovid’s Metamorphoses: A Reader’s Guide. London: Continuum Books
