Beberapa waktu sekali, jika sedang ngobrol dengan teman yang Muslim konservatif, muncul topik tentang “masa keemasan Islam”. Bukan berarti mereka radikal, sih — orangnya moderat saja, namun karena satu dan lain hal merasa punya identitas keagamaan yang kuat. Jadinya suka berkaca dan membandingkan dengan masa lalu.
Permasalahannya tentu, apakah klaim “masa keemasan” itu valid atau tidak? Nah ini yang perlu ditelusuri. Periode yang dimaksud adalah sekitar abad ke-9 hingga 12 Masehi, di mana kekuasaan Khilafah Abbasiyah mencapai puncaknya, dan menghasilkan kemajuan sains, teknologi, dan budaya.
Kaum Muslim yang religius, apalagi yang jarang baca sejarah, biasanya gampang terpancing klaim di atas. Seolah-olah semua kejayaan itu berasal murni dari Islam; tidak ada sumbangan kebudayaan lain. Kenyataan sebenarnya agak lebih rumit. Sebagaimana pernah diuraikan dalam posting tentang alkimia zaman dulu: warisan ilmiah Islam merupakan campur-baur Yunani, Romawi, India, dan Persia.
Oleh karena itu, sebagai orang yang kebetulan cukup sering baca tentang sejarah ilmu, ada baiknya kalau saya berbagi sedikit lewat posting ini. Di satu sisi, betul bahwa Islam Abbasiyah mempunyai kemajuan ilmiah yang mumpuni. Namun di sisi lain kemajuan itu dibangun oleh kontribusi lintas bangsa dan budaya.
Awal Mula: “Simpang Intelektual” di Mesopotamia
Pada tahun 762 Masehi, Khalifah Jafar Al-Mansur memindahkan ibukota pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Peristiwa ini penting sebab dia sedang berusaha mendirikan dinasti baru, Abbasiyah, jauh dari pengaruh lawan politik dari Dinasti Umayyah.
Masalahnya Al-Mansur naik tahta dengan berdarah-darah. Banyak fitnah, banyak pembunuhan, termasuk di antaranya yang berbau sektarian. Biarpun Damaskus kota besar namun mereka penuh loyalis Umayyah. Bisa dimengerti mengapa Al-Mansur memilih menjauh.
Al-Mansur mungkin tidak menyadari, namun lokasi ibukota yang baru sangat kondusif untuk perkembangan ilmu. Posisi Baghdad di antara sungai Tigris dan Eufrat mempertemukan pengaruh empat budaya, yaitu:
- Persia,
- Romawi Timur (Byzantium),
- India,
- Tiongkok
Pertemuan itu difasilitasi oleh jalur dagang yang ramai di Asia Barat, yang petanya bisa dilihat sebagai berikut.
Jalur perdagangan di era Abbasiyah
(image credit: Pearson Education)
Persilangan budaya inilah yang kemudian membawa dampak besar ke dunia Islam.
Persia dengan tradisi filsafatnya yang panjang menginspirasi pemikiran Islam yang lebih luwes dan dialektik. Di kemudian hari akan menyumbang tokoh-tokoh besar seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina, dan Al-Biruni.
Romawi Timur, atau sering disebut Byzantium, kadang dianggap sebagai musuh. Namun interaksi dengan mereka akan memerantarai masuknya tradisi ilmiah Yunani-Romawi ke tanah Arab. (Soal ini dibahas lebih detail di bawah)
India terkenal dengan kemajuan di bidang matematika dan trigonometri, namun yang terpenting ada dua: sistem basis-10 dan angka nol. Dapat dibilang bahwa ilmu matematika Abbasiyah berdiri di atas landasan mereka. Kemajuan matematika Islam ibaratnya “anak kandung” dari India.
Adapun dari Tiongkok bangsa Arab mendapatkan teknologi penciptaan kertas. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 751 M. Adanya kertas memudahkan pengopian dan penerjemahan naskah-naskah ilmiah dari berbagai penjuru, yang kemudian dikumpulkan dalam perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad.
Tentunya yang di atas itu adalah ringkasan, dan banyak melewatkan detail. Namun kiranya cukup menunjukkan: bahwa peletakan ibukota Baghdad membawa keuntungan besar tersendiri.
Sekarang kita akan masuk pada topik yang lebih khusus, yaitu masuknya ilmu dari Byzantium.
Peran Kristen Nestorian
Uniknya, biarpun sering disebut “Peradaban Islam”, inspirasi terbesar Abbasiyah di dunia ilmu diperantarai oleh pemeluk agama Kristen. Atau lebih tepatnya: pemeluk Kristen Nestorian yang tinggal dekat Baghdad.
Mengenai kelompok ini ada baiknya diperkenalkan. Mereka adalah minoritas religius yang cukup terpelajar. Aslinya mereka dari Byzantium, namun karena perpecahan agama terpaksa mengungsi ke wilayah Persia.
Kehadiran pemeluk Kristen Nestorian bersifat kunci dalam pembahasan kita. Merekalah yang membawa pengetahuan Byzantium ke tanah Arab, dan kelak, memperkenalkannya ke dunia Islam.
Konsili Ephesus (431) yang melarang agama Kristen Nestorian.
Kaum Muslim secara tidak langsung berhutang pada peristiwa ini.(image credit: Philippe Alès @ Wikimedia Commons)
Komunitas Kristen Nestorian terkenal sebagai penghasil dokter. Banyak anggotanya bertugas di istana bangsawan, termasuk di antaranya (kelak) jadi dokter pribadi Al-Mansur. Hal itu karena perpustakaan mereka mengandung banyak materi ilmu kesehatan Yunani, sebagai contoh karya Hipokrates dan Galen.
Pertanyaannya sekarang: seluas apa literatur yang dimiliki Kristen Nestorian? Sayangnya tidak begitu jelas. Meskipun begitu kita bisa menalar bahwa setidaknya terdapat beberapa karya matematika. Tak lama sesudah Al-Mansur naik tahta, dia mendapat terjemahan buku Elements karya Euclid. (Gutas, 1998, hlm. 30-31)
Barangkali bisa dibilang ini salah satu momen paling menentukan. Terjemahan buku Yunani milik Al-Mansur menunjukkan satu hal: bahwa literatur Yunani dapat diterjemahkan ke bahasa Arab.
Kaum Kristen Nestorian tidak dapat berbahasa Arab: apabila menerjemahkan hanya ke dalam bahasa Syriac. Namun di dataran Persia terdapat banyak orang Arab yang bisa berbahasa Syriac. Orang-orang inilah yang kemudian menghantarkan berbagai literatur Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dan dengan demikian…
…dimulailah sebuah ombak besar menerjang dunia Arab. Buku-buku karya Euclid, Aristoteles, dan Ptolemaeus kini mengisi pemikiran Muslim. Dua peradaban yang terpisah ratusan tahun mulai berkombinasi! :shock:
Terjemahan Arab buku “Elements”
(image credit: Don Skemer @ Princeton University Library)
Bisa ditebak, arus penerjemahan itu merangsang dunia Islam. Untuk pertama kalinya mereka berkenalan dengan pengetahuan Yunani. Ibarat anak kecil diberi permen, mereka penasaran dan ingin lebih. Bagaimana kalau semua karya Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab?
Di sinilah awal munculnya sebuah proyek. Dinasti Abbasiyah akan memfasilitasi penerjemahan skala besar: tidak tanggung-tanggung, selama dua abad dengan dukungan pemerintah.
Penerjemahan Abbasiyah: Lintas Agama, Kultur, Etnis
Orang di zaman modern biasanya menganggap politisi berpikiran sempit, malas belajar, dan tidak berilmu. Terdapat kesan bahwa politik dan intelektualitas bertolak belakang. Pun demikian, itu tidak berlaku untuk Khalifah Al-Mansur.
Bertahta di Baghdad di usia 48 tahun, Al-Mansur adalah pemimpin yang respek pada dunia ilmu. Minat utamanya adalah literatur Yunani, meskipun demikian dia juga hormat pada Persia dan India. Di bawah kekuasaannya dia memprakarsai penerjemahan buku dari berbagai negeri.
Mulai dari tabel astronomi India, kisah hikayat Persia, hingga risalah astronomi Ptolemaeus tak lepas dari pengejarannya. Begitu cintanya Al-Mansur pada buku, sedemikian hingga dia pernah meminta langsung kepada Kaisar Byzantium. (Gutas, 1998, hlm. 32)
Visi besar Al-Mansur dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Mahdi, dan akan terus berlangsung sampai abad ke-11. Perlahan tapi pasti buku-buku asing diterjemahkan, direvisi, dan dikomentari. Rangkaian aktivitas ini adalah tulang punggung kehidupan ilmiah di Baghdad.
* * *
Menariknya, biarpun pemerintahnya teokratis, proyek penerjemahan Abbasiyah sangatlah kosmopolitan. Tidak ada ketentuan bahwa yang bekerja cuma boleh Muslim atau Arab. Sangat banyak tokoh yang beragama Kristen, Yahudi, atau bahkan pagan (!).
Penerjemah yang paling terkenal misalnya Hunayn bin Ishaq (w. 873 M). Dia adalah seorang dokter Arab beragama Kristen. Lewat kerja kerasnya Hunayn menerjemahkan 95 jilid karya Galen, 15 jilid Hipokrates, di samping beberapa karya filsafat Plato dan Aristoteles.
Anak laki-laki Hunayn, Ishaq bin Hunayn bin Ishaq (w. 901), lebih fokus pada karya non-kedokteran. Dari tangannya muncul versi Arab Elements dan Almagest — karya besar Euclid dan Ptolemaeus. Ishaq juga banyak menerjemahkan karya Aristoteles.
Al-Kindi, seorang Muslim yang belakangan menjadi filsuf, menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles. Dia sezaman dengan tiga bersaudara Banu Musa yang menerjemahkan teks astronomi. Hanya saja karena masalah politik mereka bermusuhan dengan Al-Kindi.
Thabit Ibn Qurra adalah seorang pagan dari Irak. Dia tidak percaya agama Islam, Kristen, ataupun Yahudi, namun tidak menghambat dia berkontribusi. Bidang kerjanya adalah manuskrip matematika dan astronomi — termasuk di antaranya karya Archimedes.
Dan masih banyak sosok lainnya, sebagai contoh Sahl Ibn Rabban (beragama Yahudi) dan Yahya bin ‘Adi Al-Mantiqi (Kristen Nestorian). Lebih jauh mengenai para penerjemah dapat dibaca dalam O’Leary (1949).
Di sinilah kita melihat bahwa masuknya ilmu pengetahuan ke dunia Islam — sejatinya — merupakan kerjasama lintas batas. Sebagaimana bisa dilihat latar belakang penerjemahnya macam-macam. Agamanya berbeda, asal sukunya berbeda, bidang ilmunya pun beragam. Meskipun demikian hal itu tidak menghambat mereka bekerjasama.
Berdiri di Atas Bahu Raksasa
Seiring dengan maraknya penerjemahan, output ilmiah dunia Islam ikut terangkat. Para ilmuwan tidak lagi harus meraba-raba di tingkat rendah. Dalam waktu singkat mereka mendapat warisan ilmu tiga bangsa: Yunani, India, dan Persia.
Nah, di sinilah terjadinya kemajuan sains yang sangat terkenal. Beberapa contohnya sebagai berikut.
Di bidang matematika, Al-Khwarizmi meneliti sifat matematika angka India dan mengembangkannya. Karya pertamanya, Kitab al-Jam wal Tafriq bi Hisab al-Hind, dalam bahasa Indonesia berarti “Buku Tambah-Kurang berdasarkan Perhitungan Hindu”. Al-Khwarizmi menjelaskan beberapa terobosan:
- penggunaan angka 1-9 beserta lingkaran sebagai angka nol,
- metode operasi penjumlahan dan pengurangan,
- metode operasi perkalian dan pembagian,
- metode operasi melibatkan (akar 2)
(Katz, 2008, hlm. 268)
Inovasi Al-Khwarizmi memberinya ketenaran di Arab dan Eropa. Teknik perhitungan yang runtut membuat namanya diasosiasikan, dan di masa kini menjadi kata “algoritma”.
Selesai dengan angka India Al-Khwarizmi lalu mengembangkan konsep “aljabar”. Dia berkutat dengan pertanyaan berikut, bagaimana cara mencari akar persamaan kuadrat? (Tidak kita bahas di sini)
Al-Khwarizmi (c. 780-850)
(image credit: Theodore Liebersfeld @ Flickr)
Bergeser ke bidang astronomi, terdapat sosok bernama Al-Battani. Terinspirasi oleh Almagest karya Ptolemaeus, dia menciptakan (antara lain) katalog bintang dan tabel pergerakan benda angkasa. Kualitas kerjanya sangat masyhur, sedemikian hingga diperbincangkan oleh Copernicus dan Kepler. (Lindberg, 2007, hlm. 177-180)
Sementara itu Ibnu Haytham dan Nasiruddin Al-Tusi merasa model angkasa dalam Almagest kurang akurat. Mereka lalu berusaha membuat penyempurnaan lewat — salah satunya — modifikasi episiklus. Mirip dengan Al-Battani karya mereka juga masyhur sampai Eropa.
Di bidang kesehatan hampir semua tokoh Muslim membaca karya Galen, dokter besar peradaban Romawi. Berangkat dari situlah mereka membuat penemuan. Ibnu Al-Nafis menjelaskan peredaran darah di paru-paru. Al-Zahrawi mengembangkan teknik dan peralatan bedah. Sementara untuk kesehatan umum tokoh besarnya adalah Ibnu Sina dan Al-Razi.
Dan tentunya masih banyak yang belum disebut. Meskipun demikian karena keterbatasan ruang terpaksa kita tinggalkan.
* * *
Melalui uraian di atas, jadi terlihat sebuah pola. Bahwasanya penemuan para tokoh Muslim tidak muncul dari nol, melainkan berangkat dari literatur asing. Baru sesudah literaturnya diterjemahkan mereka “lepas landas” — menghasilkan kemajuan yang fenomenal.
Inilah yang disebut Isaac Newton sebagai “berdiri di atas bahu raksasa”. Seiring jalannya waktu ilmu pengetahuan manusia berakumulasi. Untuk melangkah maju tidak bisa hanya bergantung diri sendiri. Harus mau terbuka dan menerima! :)
Sebagaimana bisa dilihat, kesuksesan Islam Abbasiyah ditunjang oleh kerjasama lintas budaya. Baik pada level penerjemahan maupun penelitian. Islam menjadi besar bukan karena menutup diri, apalagi menolak yang berbeda. Islam menjadi besar karena mau menyerap dan mengakui budaya lain.
Pada akhirnya penemuan ilmiah sehebat apapun tidak muncul dalam vakum. Selalu ada fondasi yang dipakai — dan itu yang harus dihargai serta diakui.
Penutup
Pada tahun 1258, setelah bertahun-tahun dilanda perpecahan, Khilafah Abbasiyah tumbang oleh Mongol. Hampir seluruh kota Baghdad rata dan perpustakaannya dihancurkan. Sebagian penakluk Mongol kelak masuk Islam dan merekonstruksi, meskipun begitu kerusakan sudah terjadi.
Barangkali terkesan bahwa inilah tamatnya kemajuan Islam. Sebenarnya tidak juga. Sesudah Baghdad jatuh pusat pemikiran Muslim akan bergeser ke Mesir dan Andalus. Akan tetapi namanya kultur intelektual, dia tak bisa dipindah. Runtuhnya Abbasiyah menandai akhir rezim yang proaktif di bidang ilmu.
Ibaratnya tak ada lagi political will yang mendukung dunia riset. Para ilmuwan Muslim masih akan berkarya — namun dengan jumlah dan intensitas lebih kecil.
Dipandang seperti ini, kita melihat bahwa kesuksesan Islam Abbasiyah bukan sesuatu yang ajaib atau eksklusif. Dia terwujud lewat kombinasi berbagai hal: dukungan pemerintah, lokasi strategis, hingga interaksi antar budaya. Yang juga perlu digarisbawahi adalah semangat kosmopolitan di dalamnya. Mulai dari Arab sampai Persia, India sampai Yunani, bahkan penganut Kristen dan Yahudi — berbagai elemen itu berkontribusi dengan harmonis.
Islam Abbasiyah, pada akhirnya, bisa maju bukan karena membatasi “segala-gala mesti Islam atau Arab”. Justru sebaliknya: Islam Abbasiyah bisa maju karena sumbangan berbagai pihak. Ini dia detail yang sering terlewat.
Alhasil, justru meleset kalau orang membangga-banggakan diri: “Peradaban Islam, hebat semua! Lihat saja abad 9-12 Masehi.” Sementara kenyataannya… ya, begitu deh… :lol:
——
Pustaka:
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture. New York: Routledge
Katz, V.J. (2008). A History of Mathematics (3rd ed.). Boston, MA: Addison-Wesley
Lindberg, C.D. (2007). The Beginnings of Western Science (2nd ed.). Chicago: Chicago University Press
O’Leary, D.L.E. (1949). How Greek Science Passed to the Arabs. London: Routledge & Kegan Paul
Saunders, J.J. (1965). A History of Medieval Islam. London: Routledge & Kegan Paul
Schlager, N., & Lauer, J. (Eds.). (2001). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2: 700-1449. Farmington Hills, MI: Gale Group
