Peradaban Romawi adalah pemain kunci dalam sejarah. Mengenai hal ini semua orang sudah tahu. Bahkan di Indonesia, yang relatif tidak berhubungan, nama Romawi sedikit-banyak disinggung di pelajaran sekolah.
Romawi dengan angkatan perangnya berkuasa di Eropa, Afrika Utara, dan sebagian Asia. Adapun rentang terjauh dicapai oleh pemimpinnya, Kaisar Trajan, di tahun 117 Masehi. Dari Semenanjung Iberia di Spanyol sampai Laut Kaspia di Asia Tengah; dari Inggris di utara sampai Mesir di selatan. Dapat dibilang bahwa mereka kekuatan adidaya zaman kuno.
Puncak kekuasaan Romawi di bawah Trajan (117 M)
(image credit: Tataryn77 @ Wikimedia Commons)
Adapun di zaman modern, banyak warisan Romawi mewarnai kehidupan kita. Mulai dari huruf Latin, sistem legislatif, profesi pengacara, sampai bentuk jembatan lengkung termasuk di dalamnya. Bukan berarti semua murni Romawi, sih. Sebagian diadaptasi dari peradaban terdahulu; sebagian mereka temukan sendiri. Meskipun begitu intinya tetap: banyak elemen kehidupan mereka terhantar sampai ke kita.
Ironisnya, biarpun sukses sebagai penguasa, Romawi bukannya tanpa kekurangan. Salah satunya masalah budaya. Di bidang ini Romawi berhutang pada bangsa yang mereka taklukkan, yaitu Yunani Kuno.
Syahdan, Romawi tadinya mempunyai satu set dewa-dewi yang khas. Meskipun begitu interaksi dengan Yunani membuat keyakinan mereka saling bercampur dan bersinkretisasi. Proses ini berlangsung berabad-abad, sedemikian hingga pada akhirnya, dewa-dewi Romawi dan Yunani tak bisa dibedakan.
Jika pembaca akrab dengan mitologi pasti tahu bagaimana perhubungannya. Sebagai contoh Jupiter disamakan dengan Zeus. Kemudian Minerva sama dengan Athena, dan Artemis sama dengan Diana. Adapun yang agak lebih ‘rendahan': Merkurius sama dengan Hermes dan Vesta sama dengan Hestia.
Dengan satu dan lain cara, duabelas penghuni Olympus bertransformasi jadi duabelas dewa Romawi. Dewa-dewi inilah yang kemudian mewarnai mitologi yang kita kenal.
Patung Pallas Athena (Minerva) di kota Wina, Austria
(image credit: Yair Haklai @ Wikimedia Commons)
To their credit, bangsa Romawi sendiri bukannya tidak sadar. Mereka sangat mengakui hutang kepada Yunani. Bahkan penyair besar, Virgil terang-terangan menyebut: leluhur bangsa Romawi adalah pengungsi Perang Troya. Pandangan itu tertuang dalam epik berjudul Aeneid.
Menurut Virgil, garis keturunan Romawi bersumber dari Aeneas, Pangeran Troya yang mengungsi ketika kotanya dihancurkan. Aeneas bersama rombongan berusaha melanjutkan kebudayaan di tempat yang baru. Setelah bertahun-tahun berlayar mereka akhirnya tiba di Italia. Rombongan Aeneas kelak akan berketurunan, dan dari situ muncul kembar legendaris: Remus dan Romulus, pendiri kota Roma.
Remus dan Romulus terkenal karena — konon — sewaktu kecil disusui oleh serigala. Legenda ini bertahan selama ribuan tahun, dan di masa kini menginspirasi logo klub sepakbola asal Roma.
Patung perunggu: Remus dan Romulus menyusu pada serigala
(image credit: Mary Ann Sullivan @ Bluffton College)
Perlu diketahui bahwa Virgil sangat respek pada dua epik Yunani, Iliad dan Odyssey. Dia memodelkan Aeneid mengikuti keduanya. Oleh karena itu wajar jika di sana-sini terdapat referensi.
Mulai dari perjalanan di laut, perang karena masalah wanita, sampai kemunculan ‘tokoh penggoda’ sang protagonis tak lupa beliau cantumkan. Lewat Aeneid Virgil seolah menyiratkan: adanya Romawi ditunjang oleh landasan Yunani.
Menariknya, biarpun terkesan fanfic, pendekatan Virgil di atas sangat populer. Banyak penulis Romawi membuat adaptasi legenda Yunani. Sebagai contoh Statius: dia menulis ‘sekuel’ sesudah Oedipus meninggal. Kemudian Catullus berkisah tentang Ariadne dan Dionysius. Sementara itu, Ovid mendaur-ulang berbagai kisah metamorfosis.
Pada akhirnya elemen kebudayaan Yunani sangat kuat mewarnai identitas Romawi. Bukan saja dewa-dewinya mirip — leluhur bangsanya pun dari legenda Yunani! :P
Intelektualnya Juga Warisan
Di sisi lain, pengaruh Yunani terhadap Romawi tak hanya di mitologi. Ada juga di bidang filsafat. Kita sering mendengar nama filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles, namun bagaimana dengan filsuf Romawi?
Sayangnya agak susah dibanggakan. Tradisi filsafat Romawi hampir total bergantung pada Yunani Kuno. Dibandingkan dengan pendahulunya, filsuf Romawi ibaratnya “tukang melanjutkan”.
Mengapa seperti itu? Penjelasannya di bawah ini.
Sepanjang berdirinya Imperium Romawi, mazhab filsafat yang paling populer adalah Stoikisme. Mazhab ini didirikan di Yunani oleh Zeno dari Citium di abad ke-3 SM. Mazhab Stoik menekankan ajaran sikap moral dan ketenangan batin. Sebenarnya ada juga ajaran terkait logika dan metafisika, namun hal itu relatif tak dibahas di zaman Romawi.
Hampir seluruh pemikir Romawi menganut — atau minimal menginkorporasi — pandangan Stoik. Sebagai contoh Cicero, dia adalah orator dan penggagas sistem politik. Kemudian berturut-turut Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Menarik dicatat bahwa range profesi mereka cukup lebar. Epictetus misalnya seorang budak. Seneca adalah pengajar di Istana. Sementara Marcus Aurelius menjabat Kaisar dalam periode 161-180 M.
Filsuf Stoik dari masa ke masa:
Zeno dari Citium, Posidonius, Seneca, dan Marcus Aurelius(image credit: Wikimedia Commons)
Di luar aliran Stoik terdapat beberapa pemikir, namun sebagaimana dijelaskan, mereka juga mengikuti tradisi Yunani. Lucretius bermazhab Epicurean. Sextus Empiricus seorang skeptis. Sementara itu Plotinus, Porphyry, dan Proclus menganut Neoplatonisme.
Sejujurnya agak membingungkan mengapa Romawi kering-kerontang di bidang filsafat. Mereka jauh lebih besar, lebih luas, dan lebih makmur daripada Yunani. Akan tetapi pencapaian intelektualnya rendah. :-?
Jadi semakin terbanting bila dibandingkan dengan Yunani. Biarpun mereka kecil namun sangat banjir dengan filsafat. Platonisme, Aristotelianisme, Epicurean, Stoik, hingga bahkan Atomisme dan Skeptisisme.
Balada “Tukang Insinyur” ?
Menilik uraian sejauh ini, barangkali terkesan saya tidak adil, dari tadi menjatuhkan Romawi melulu. Sebenarnya tidak juga. Nyatanya Romawi punya kelebihan yang akan segera kita lihat.
Beberapa waktu lalu di blog ini, saya menulis tentang bentuk struktur lengkung. Struktur lengkung adalah teknologi yang luar biasa: dengan materi yang sedikit dapat menanggung beban yang berat. Teknologi ini didapat dari peradaban Etruska, namun disempurnakan oleh para insinyur Romawi, menghasilkan bangunan kokoh yang hingga kini masih berdiri.
Salah satu peninggalan Romawi: Saluran Air Segovia.
Bangunan ini sudah berdiri selama hampir 2000 tahun.(image credit: Bernard Gagnon @ Wikimedia Commons)
Seni arsitektur Romawi sangat layak dibanggakan. Hasil kerja mereka bervariasi: sebagai contoh ampiteater, koloseum, jembatan. Bahkan di abad ke-21, banyak wisatawan berkunjung dan mengagumi peninggalan mereka. Termasuk yang paling hebat adalah Pantheon di kota Roma.
Peradaban Romawi juga cukup ahli di bidang kimia. Biarpun bangsa kuno namun telah mampu menciptakan semen dan gelas kaca. Mereka juga telah mampu menambang dan memurnikan (smelting) logam mulia seperti emas dan perak. Hasil arkeologi menunjukkan peninggalan tambang Romawi berukuran kolosal di Rio Tinto (Spanyol) dan Dolaucothi (Wales).
Namun lebih dari itu semua, Peradaban Romawi memahami pentingnya drainase dan penyaluran limbah. Berbagai akuaduk Romawi berperan vital menyangga kehidupan di kota. Adapun satu contohnya ditampilkan dalam foto di atas.
Tentunya di sini timbul pertanyaan. Sebagaimana telah kita lihat, bangsa Romawi itu tidak bodoh. Justru mereka sangat pintar. Akan tetapi, dengan kepintaran itu… mengapa kok intelektualnya melempem? :-?
Saya ingin menggarisbawahi bahwa “intelektual” di sini tidak cuma terbatas kultur dan filsafat. Nyatanya bangsa Romawi juga mengabaikan ilmu murni. Tidak ada astronom hebat berkebangsaan Romawi, dan di bidang matematika, levelnya “sedikit di atas mengukur dan berhitung”. (Katz, 2008, hlm. 157)
Yunani punya Euclid (matematikawan), Archimedes (insinyur/matematikawan), dan Eudoxus (astronom). Romawi tidak punya — mengecualikan Ptolemaeus, yang hidup di zaman Romawi, tetapi keturunan Yunani-Mesir. What went wrong? Bagaimana mungkin bangsa sebesar itu bisa sangat kerontang di bidang ilmu!? :o
Terkait hal ini, sejarahwan David Lindberg (2007) punya penjelasan. Menurut Lindberg:
Generations of historians have sought to explain the Roman failure to master the more abstruse or technical aspects of Greek learning in terms of intellectual inferiority, moral weakness, or temperamental defect. It is often said that Romans simply did not have theoretical minds—though it is then quickly added (because everybody has to be good at something) that they made up for this deficiency with administrative and engineering talent. In fact, there is no mystery about the level or the degree of Roman intellectual effort and no reason to be surprised or critical. We need always to remember that the Roman aristocracy regarded learning, except for clearly utilitarian matters, as a leisure-time pursuit. . . . Members of the Roman upper class had about the same level of interest in the fine points of Greek natural philosophy as the average American politician has in metaphysics and epistemology. At best, their desire was, as the Roman playwright Ennius put it, “to study philosophy, but in moderation.”
(Lindberg, 2007, hlm. 136)
(cetak tebal ditambahkan)
Akar masalahnya, menurut Lindberg, bukan karena bangsa Romawi tidak mampu, melainkan karena mindset. Bangsa Romawi terbiasa menilai dengan kacamata praktis. Semua-semua ditimbang dari kepraktisan. Apabila sebuah ilmu bermanfaat langsung dalam hidup, mereka pelajari. Namun jika tidak bisa dikesampingkan.
Dipandang seperti ini, jadi jelas mengapa Romawi begitu timpang antara kesuksesan dan intelektual. Bangsa Romawi — entah karena apa — malas ambil pusing dengan hal yang mengawang.
Legenda dan mitologi mereka “tambal-sulam” dari Yunani. Matematika cukup dari Euclid dan Archimedes; astronomi paham sedikit juga tak apa. Bahkan filsafat dan pandangan hidup pun mereka ambil dari Yunani: sebagaimana telah kita lihat mereka tak punya sumbangan orisinil. Filsuf-filsuf terbesar Romawi adalah filsuf yang melanjutkan tradisi Yunani.
Barangkali jika hendak diibaratkan, bangsa Yunani itu seperti ilmuwan, sementara Romawi adalah insinyur. Yang satu meneliti hal-hal yang jauh, fundamental, mengawang — sementara yang lain berfokus menyelesaikan masalah. Yang satu lebih pure dan elegan, sementara yang lain cenderung ‘brutal’ dan bongkar-pasang. :lol:
Saya sendiri, sebagai orang teknik, kadang merasa agak tersindir. Benarkah kelakuan insinyur seperti itu? Sepertinya kok ada benarnya. Hampir semua mahasiswa teknik yang pernah saya kenal seperti itu: brutal, bongkar-pasang, dan mengabaikan hal-hal di luar engineering. Sangat jarang ada mahasiswa teknik — atau bahkan insinyur — yang terbiasa membaca sejarah, filsafat, atau sastra. (Kalau membaca matematika atau fisika sih ada saja)
To be fair, ada juga pengecualiannya. Adik kelas saya dulu misalnya membawa buku William Blake ke kelas. Jadi stereotip di atas bisa meleset juga. :lol:
Penyair yang menembus batas (!)
(image credit: Wikimedia Commons)
Hanya saja, kembali menyoal Romawi, kita harus ingat bahwa mereka sangat sukses. Berabad-abad menguasai Eropa dan pengaruhnya terasa sampai sekarang. Setidaknya dari perspektif ini harus diakui: mereka melakukan sesuatu hal dengan benar.
Sayangnya dalam meraih kesuksesan itu mereka cenderung “kacamata kuda”, dalam arti kurang meluaskan wawasan. Jadinya agak tanggung: sukses secara materi tapi intelektualnya tertinggal.
Sebagaimana telah disebut, bukan masalah bodoh atau pintar, melainkan soal mindset. Yah, mungkin memang budaya mereka seperti itu… ^^;
——
Pustaka:
Katz, V.J. (2008). A History of Mathematics: An Introduction (3rd ed.). Boston, MA: Addison-Wesley
Lindberg, D.C. (2007). The Beginnings of Western Science (2nd ed.). Chicago: Chicago University Press
Roman, L., & Roman, M. (2010). Encyclopedia of Greek and Roman Mythology. New York: Facts on File
Russell, B. (1946). History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin
Wesson, D.L. (2013). Roman Religion. Ancient History Encyclopedia, diakses pada 25 April 2015.
