Quantcast
Channel: ZENOSPHERE
Viewing all articles
Browse latest Browse all 60

Menyingkap Wajah Saturnus (1610-1660)

$
0
0

Siapa yang tidak tahu planet Saturnus? Dibandingkan dengan tetangganya di tata surya, planet yang satu ini sangat unik, sebab punya cincin besar yang mengitarinya.

Bisa dilihat dalam foto di bawah, cincin pengiring Saturnus mempunyai pola belang-belang yang teratur. Sepintas lalu planet ini tampak unik dan artistik.

[img] Planet Saturnus

(image credit: NASA JPL Photojournal)

Menariknya, biarpun sekarang populer, planet Saturnus dulunya kontroversial. Butuh waktu puluhan tahun sejak pertama kali diamati lewat teleskop, di tahun 1610, hingga para ahli memahami bentuknya yang unik.

Minimnya kualitas teleskop generasi awal, ditambah perilaku Saturnus yang ‘ajaib’, membuat astronom di seluruh Eropa kebingungan. Planet yang satu ini bentuknya terus berubah. Kadang bulat, kadang lonjong, namun yang paling misterius: kadang-kadang memunculkan telinga! Tidak kurang tokoh besar seperti Galileo, Johannes Hevelius, sampai Christiaan Huygens dibuat penasaran.

Tentunya zaman sekarang kita sudah punya teleskop canggih, bahkan bisa mengirim wahana angkasa ke planetnya. Namun berbeda dengan zaman dulu.

Suatu hari di bulan Juli 1610, Galileo Galilei mengarahkan teleskop untuk meneliti Saturnus, dan melihat penampakan mengejutkan.

 
Awal Mula: Pengamatan Galileo
 

Galileo Galilei (1564-1642) adalah tokoh yang merevolusi dunia astronomi. Lewat buku karyanya, Sidereus Nuncius, Galileo memperkenalkan teleskop sebagai alat bantu astronomi. Secara akurat dia menggambarkan permukaan bulan dan empat satelit Jupiter.

Galileo sendiri bukanlah penemu teleskop. Perkakas ini awalnya ditemukan perajin Belanda, Hans Lipperhey dan Zacharias Jansen. Meskipun begitu Galileo berperan besar menyempurnakannya. Di tangan Galileo, teleskop Lipperhey/Jansen berevolusi hingga mencapai perbesaran 30x, cukup kuat untuk mengamati nebula dan bintang redup.

[img] Galileo Galilei

Galileo Galilei (1564-1642)

(image credit: Wikimedia Commons)

Hanya saja, namanya juga evolusi, teleskop Galileo tidak langsung sempurna. Pada tahun 1610 dia masih terpaku pada perbesaran 20x. Teleskop inilah yang digunakan mengamati planet Saturnus.

Deskripsi Galileo tentang Saturnus ditulis dalam bahasa Latin, mengikuti tradisi Renaissance:

Altissimum planetam tergeminum observavi.

(“I have observed that the farthest planet is threefold.” — terj. S.J. Gould)

Perlu diingat bahwa di tahun 1610 orang belum tahu planet Uranus dan Neptunus. Oleh karena itu istilah “planet terjauh” (altissimum planetam) merujuk pada Saturnus.

Satu hal yang aneh adalah, Galileo menyebut Saturnus berbentuk tergeminum — dalam bahasa Indonesia berarti “tiga serangkai”. Bentuk ini berbeda dengan yang kita tahu. Amatan itu bukan karena Galileo silap, melainkan karena masalah teleskop.

Sebagaimana telah disebut teleskop Galileo mempunyai perbesaran 20x. Lokasi Saturnus yang jauh dari Bumi (sekitar 1.2 milyar km) membuat citra teleskop menjadi kabur.

Oleh karena itu, ketika sinar matahari berefleksi pada cincin, kedua sisinya berpendar, mengesankan seolah terdapat tiga buah planet! :o Padahal sebenarnya tidak — cuma kelihatannya saja seperti itu. Pada akhirnya Galileo dikalahkan oleh keterbatasan teknis.

[img] Galileo's Saturn simulated via Astromatic.net

Simulasi penampakan Saturnus oleh Galileo (CGI)

(image credit: Astromatic.net)

Sayangnya, biarpun tidak akurat, teleskop Galileo adalah yang terbaik di zamannya. Oleh karena itu tak ada yang bisa menyangkal. Alhasil, untuk sementara, kesimpulan beliau diterima — biarpun bukan tanpa kritik.

 
Saturnus Berubah Bentuk
 

Di tahun 1612, Galileo kembali mengarahkan teleskop ke arah Saturnus. Namun yang dilihatnya sekarang tampak berbeda. Alih-alih kembar tiga, Saturnus kini tampak bulat dan sendiri.

Sebenarnya itu karena posisi cincin Saturnus sedang horizontal, jadi tidak terlihat dari Bumi. Meskipun begitu Galileo tidak tahu.

Peristiwa di atas membuat sang astronom terperanjat:

I had discovered Saturn to be three-bodied. . . . When I first saw them they seemed almost to touch, and they remained so for almost two years without the least change. It was reasonable to believe them to be fixed. . . . Hence I stopped observing Saturn for more than two years. But in the past few days I returned to it and found it to be solitary, without its customary supporting stars, and as perfectly round and sharply bounded as Jupiter. Now what can be said of this strange metamorphosis? That the two lesser stars have been consumed?

(dikutip dalam Gould, 2011)

Bagaimanapun Galileo seorang ilmuwan. Oleh karena itu di bagian selanjutnya dia menulis:

Has Saturn devoured his children? Or was it indeed an illusion and a fraud with which the lenses of my telescope deceived me for so long—and not only me, but many others who have observed it with me? . . . I need not say anything definite upon so strange and unexpected an event; it is too recent, too unparalleled, and I am restrained by my own inadequacy and the fear of error.

(dikutip dalam Gould, 2011)

* * *

Pun demikian, yang melihat keanehan Saturnus bukan cuma Galileo.

Selama puluhan tahun berikutnya, para astronom Eropa mengamati bahwa Saturnus memang — kelihatannya — berubah bentuk. Catatan penting dibuat Pierre Gassendi, pendeta asal Prancis, yang mengamati Saturnus selama dua dekade. Buku gambarnya menunjukkan variasi sebagai berikut.

[img] Gassendi's Saturn

Pierre Gassendi, pengamatan teleskop, 1633-1656

(image credit: Royal Society, digitized by NASA ADS)

Dari Danzig, Polandia, Johannes Hevelius menyampaikan sketsa:

[img] Hevelius' Saturn

Johannes Hevelius, “Selenographia”, 1647

(dikutip dalam Van Helden, 1974b)

Adapun dari Italia, astronom Fontana dan Divini melihat bentuk yang khas — sekilas mirip mata manusia.

[img] Saturn by Fontana & Divini (1640s)

Hasil pengamatan Fontana (atas) dan Divini (bawah), c. 1645

(dikutip dalam Van Helden, 1974b)

Pada dasarnya semua setuju bahwa bentuk Saturnus bervariasi. Yang diketahui teratur hanya periode: sesudah beberapa waktu akan kembali seperti semula. Namun bagaimana prosesnya — dan apa penyebabnya — masih jadi misteri.

 
Hipotesis dan Solusi
 

Sepanjang periode 1610-1660, para ahli berlomba-lomba mengajukan hipotesis. Bagi kita di zaman modern, sebagian mungkin terdengar aneh. Akan tetapi kita harus ingat bahwa ilmuwan sehebat apapun adalah produk zaman mereka hidup.

Astronom Polandia, Hevelius, menduga bahwa bentuk asli Saturnus mirip bola-berkuping-dua. Ketika Saturnus sedang mengorbit, dari Bumi akan terlihat bentuknya berubah-ubah sesuai sketsa. (Lihat gambar di atas)

Dari Italia, Giovanni Battista Odierna menyebut Saturnus berbentuk lonjong dengan dua bercak hitam. Di saat posisi normal akan mirip gambaran Hevelius. Namun di saat berotasi 90° akan tampak bulat. (Analoginya kira-kira seperti timun berputar)

Matematikawan Prancis Roberval berkomentar bahwa — mungkin — planet Saturnus rutin menyemburkan uap gas. Tergantung situasi, semburan gas dapat menghasilkan penampakan bulat/lonjong/kembar tiga.

Adapun solusi nyaris-benar diberikan oleh Christopher Wren. Wren menduga dua hal, yaitu: (1) bahwa Saturnus mempunyai korona berbentuk pipih, dan (2) bahwa Saturnus berputar seperti gasing. Sayangnya dia tidak yakin korona terbuat dari apa. Akhirnya Wren meminjam ide Roberval, yaitu “cincin” Saturnus berupa uap gas.

 

Meninjau silang pendapat di atas, boleh jadi, pembaca sekarang penasaran: kalau begitu, kapan munculnya jawaban yang “benar”, dan siapa yang menemukan?

Nah, soal itu takkan kita tunda lagi. Pada tahun 1659, muncul sebuah gebrakan dari Christiaan Huygens — ahli matematika, astronom, sekaligus pembuat teleskop asal Belanda.

[img] Christiaan Huygens

Christiaan Huygens (1629-1695)

(image credit: Wikimedia Commons)

Dilahirkan 65 tahun sesudah Galileo, Huygens adalah sosok serba bisa. Bakat matematika yang kuat membantu dia merancang peralatan optik, menghasilkan teleskop generasi baru. Kesukaan pada mekanika mendorongnya menggeluti horologi (teknik pembuatan jam). Adapun secara sosial Huygens adalah sosok terpandang: keluarganya turunan bangsawan dan adiknya seorang diplomat.

Terkait pembahasan kita, peran Huygens sedikit berhubungan dengan teleskop. Lewat kerja kerasnya Huygens merancang teleskop besar — sepanjang 12 kaki — dengan perbesaran 50x. Teleskop inilah yang membantunya memecahkan misteri Saturnus.

Huygens mengamati bahwa biarpun teleskopnya lebih tajam, namun pengamatan astronom generasi sebelumnya tidak buruk. Secara garis besar mereka benar — hanya kurang detail, tapi tidak krusial. Oleh karena itu dia menilai masalah utamanya di interpretasi.

Diketahui bahwa planet Saturnus berubah bentuk dengan ketentuan begini-dan-begitu. Lalu bagaimana solusinya?

Di sinilah Huygens merumuskan ide cemerlang. Secara kebetulan idenya mirip dengan Christopher Wren: bahwa Saturnus mempunyai cincin padat (bukan gas) yang mengitarinya. Apabila dipandang dari sudut yang berbeda, maka penampakannya juga akan berbeda.

Dengan cerdik Huygens menginkorporasi idenya ke dalam teori heliosentris. Bisa dilihat dalam gambar di bawah, apabila Bumi berada di titik E, maka Saturnus akan tampak berubah secara periodik.

[img] Huygens Saturn model

AAAAAAAAHHHHH!!!!

(image credit: C. Huygens, “Systema Saturnium”, via Galileo Project)

Dalam sekejap kesan ajaib yang melingkupinya runtuh. Planet Saturnus tidak berubah secara fisik. Yang berubah adalah sudut pandang kita! :o

Bisa dibilang inilah momen seminal dunia astronomi. Awalnya publikasi Huygens ditanggapi dingin, meskipun begitu belakangan situasi berbalik. Dalam waktu singkat gagasan beliau menjadi mainstream di seluruh Eropa.

Di belakang hari, seiring meningkatnya kualitas teleskop, detail Saturnus akan semakin jelas. Salah satunya corak pada cincin yang ditemukan Cassini tahun 1664. Meskipun begitu kisah penyingkapan wajah Saturnus kita akhiri sampai di sini.

 
Penutup: Menyoal Pencarian Ilmiah
 

Di dunia sehari-hari, sering ada klaim bahwa kemajuan sains bersifat linear. Dari waktu ke waktu pengetahuan manusia terus bertambah dan semakin sempurna. Narasi seperti ini ada benarnya, dan cukup menggugah, tetapi agak terlalu menyederhanakan.

Kenyataan sebenarnya agak lebih bernuansa — kalau boleh disebut begitu. Contohnya tentu saja planet Saturnus yang sudah kita uraikan. Alih-alih garis lurus menuju kesempurnaan, ‘jalan’ penemuannya silang-sengkarut. Ada yang salah lihat; ada yang salah duga; beberapa tokohnya bahkan saling meminjam ide.

Berangkat dari hasil pengamatan (yang kualitasnya bervariasi), berbagai hipotesis saling berkompetisi. Masing-masing berusaha menjelaskan penyebab di balik layar — dalam istilah bahasa Inggrisnya, to save the phenomenon. Tentu saja mekanismenya tergantung yang merumuskan.

Mulai dari semburan gas, Saturnus berbentuk lonjong, hingga Saturnus mempunyai korona pernah dipertimbangkan. Kemudian muncul solusi elegan (milik Huygens) yang sudah disinggung.

Di sinilah kita melihat bahwa ilmuwan hebat itu — sejatinya — tidak cuma harus pintar, tapi juga kreatif. Diberikan data pengamatan A, B, dan C. Bagaimana cara menjelaskannya?

Filsuf Prancis Voltaire pernah menyebut bahwa benak Archimedes lebih kreatif daripada Homer, penyair Yunani Kuno yang menulis Iliad. Itu karena Archimedes menjelajah dunia ‘lain’. Mulai dari cara menghitung volume bola; menemukan prinsip tuas; membuat sekrup ulir. Setiap “Eureka!” Archimedes adalah momen pencapaian kreatif. Ini dia aspek dunia ilmu yang sering terlewat. :D

Pada akhirnya, sains adalah upaya manusia dan mencerminkan sifat manusia. Bisa salah, bisa meleset, tapi bisa juga sangat benar dan monumental.

Human, all too human, snatching slow arrow of beauty….

 

 
——

Pustaka:

 
Gould, S.J. (2011). The Sharp-Eyed Lynx, Outfoxed by Nature. Dalam The Lying Stones of Marrakech: Penultimate Reflections in Natural History (hlm 27-51). Cambridge, MA: Harvard University Press

Heilbron, J.L. (2010). Galileo. New York: Oxford University Press

Hockey, T., Trimble V., Williams, T.R. (Eds.). (2007). Biographical Encyclopedia of Astronomers. New York: Springer

van Helden, A. (1974a). “Annulo Cingitur”: The Solution to the Problem of Saturn. Journal for the History of Astronomy 5, 155-174

van Helden, A. (1974b). Saturn and His Anses. Journal for the History of Astronomy 5, 105-121

van Helden, A. (2004, Oktober 27). Huygens’ Ring, Cassini’s Division & Saturn’s Children. Dipresentasikan dalam Dibner Library Lecture, Smithsonian Institution, Washington DC.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 60