Kota Paris biasanya terkesan sebagai latar kisah romantis — meskipun demikian, hal itu tidak berlaku di pagi hari 30 Mei 1832. Di sebuah lapangan, seorang pemuda 20 tahun ditemukan terkapar, bersimbah darah, dengan luka tembak di bagian perut. Entah apa yang melatarinya. Oleh warga yang menemukannya, pemuda tersebut kemudian dibawa ke rumah sakit.
Sayangnya malang tak dapat ditolak. Hanya selang satu hari, si pemuda kemudian meninggal. Pada tanggal 31 Mei ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak banyak yang menyadari bahwa, di hari itu, Prancis kehilangan seorang putra terbaik.
Pemuda itu, yang tidak dihargai sepantarannya, adalah seorang cerdas cendekia. Aktivis politik radikal, pembela Revolusi Prancis, dan matematikawan kelas tinggi. Sosok jenius yang neurotik, romantis tapi keras kepala, dan idealis sampai akhir — pemuda itu bernama Évariste Galois.
![Evariste Galois]()
Évariste Galois (1811-1832)
(via Wikipedia)
Beberapa orang mungkin asing dengan namanya. Siapa itu Galois, dan mengapa ia disebut jenius? Mengenai hal ini ada ceritanya lagi, dan akan kita singgung nanti. Untuk sementara cukuplah dikatakan bahwa dia membuka cakrawala baru di dunia matematika, yaitu, melalui temuan besarnya: Teori Galois.
Siapa itu Galois? Sejarah Keluarga
Évariste Galois (baca: Evarist Galwa) dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1811 di Bourg-la-Reine, sebuah daerah pinggiran selatan kota Paris. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Nicolas-Gabriel Galois, memiliki kepahaman filsafat dan studi klasik; di kemudian hari sempat terpilih menjadi walikota. Adapun ibunya — Adelaide-Marie — berasal dari keluarga praktisi ilmu hukum. Melengkapi keluarga ini adalah saudara laki-laki bernama Alfred, serta saudara perempuan Nathalie-Theodore. Meskipun demikian tidak banyak yang diceritakan tentang mereka.
Adalah hal yang menarik bahwa, biarpun orangtuanya terpelajar, Évariste tidak didaftarkan sekolah sampai umur 12. Adelaide-Marie lebih suka mendidik anaknya secara langsung di rumah, dan dialah yang mengajari Évariste kurikulum pendidikan dasar. Mulai dari baca-tulis, sastra klasik, filsafat, hingga aritmatika. Sebagai tambahan adalah pendidikan agama Kristen yang mereka anut.
Boleh dibilang bahwa kultur terpelajar ini membentuk kecenderungan Évariste pada dunia ilmu. Dan memang dia mempunyai bakat, terutama di bidang matematika. Ia dikabarkan telah membaca — dan mampu memahami — karya matematikawan terkenal Legendre dan Lagrange di usia 15. Hal yang menarik, sebab di keluarganya tak ada yang mendalami matematika. (Sebagaimana sudah disebut, ayah dan ibunya dari kalangan ilmu sosial)
Didikan keluarga ini kemudian membuat Évariste jadi menyerap pendirian orangtuanya, termasuk di antaranya soal politik. Sang ayah, Nicolas-Gabriel, adalah seorang liberal yang vokal. Pun demikian dengan sang ibu — biarpun tidak memiliki jabatan politik seperti suaminya. Perlahan tapi pasti, jiwa politik Évariste tergugah mendukung Pencerahan. Di kemudian hari dia akan menjadi aktivis politik di bidang ini.
Pendidikan, Sekolah, dan Politik: Lycée Louis-le-Grand
Memasuki usia 12, Évariste (selanjutnya kita sebut “Galois”) mendaftar masuk sekolah asrama bergengsi Lycée Louis-le-Grand. Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1563, dan telah menghasilkan alumni mentereng: sebagai contoh Voltaire dan Victor Hugo. Pun begitu, semua gengsi itu ibarat fatamorgana — pada akhirnya semua luruh dan lenyap di mata Galois. Di satu sisi ia mendapat pendidikan, akan tetapi di sisi lain, dia juga kelimpahan situasi kacau-balau yang penuh intrik.
![Lycee Louis-le-Grand]()
Bangunan Lycée Louis-le-Grand di masa kini
(via Wikipedia)
Semester pertama Galois berlangsung pada tahun 1823. Pada masa itu Revolusi Prancis sudah lewat beberapa tahun, akan tetapi, bumbu perpecahan masih terasa di seluruh negeri. Begitu juga di Lycée Louis-le-Grand. Sebagai institusi yang menampung murid berbagai daerah, perdebatan dan perkelahian menjadi hal umum. Tidaklah aneh bahwa, menanggapi kecenderungan ini, pihak sekolah menerapkan disiplin yang spartan.
Belum lagi satu semester sudah terjadi kekacauan. Sekelompok murid yang berhaluan liberal mengadakan protes, menolak tradisi menghormati Raja Louis XVIII. Sebagai akibatnya 117 orang murid dikeluarkan. Galois sendiri, biarpun tidak ikut serta, menyaksikan hal itu sebagai ketidakadilan. Bisa ditebak: pada akhirnya ia menjadi pendukung militan Republik Prancis.
Adapun dari segi pendidikan, Galois tidak mengalami masalah. Dua tahun pertama ia lewati dengan lancar. Nilai-nilainya cukup bagus, kecuali bahwa ia harus mengulang mata pelajaran Retorika. Meskipun demikian, memasuki tahun ketiga, hampir semuanya jeblok — dia terlalu fokus pada matematika dan mengabaikan yang lain.
Guru wali muridnya sendiri, M. Vernier, berkomentar:
“[Semester ini] Kualitas kerja tidak konsisten, kemajuan kurang memuaskan. Kepribadian tertutup.”
Sebagaimana telah disinggung di atas, di usia 15 ia tenggelam membaca karya Lagrange dan Legendre. Hal ini — ditambah juga isu keluarga — membuat pendidikannya jadi terbengkalai. Boleh dibilang bahwa Galois menjalani sisa pendidikannya di Louis-le-Grand dengan setengah hati.
“No Great Genius Without Touch of Madness”
Tahun terakhir Galois di Louis-le-Grand boleh dibilang berupa mixed bag of result. Di satu sisi ia mulai mendalami matematika tingkat lanjut, bahkan hingga mengirim tulisan ke jurnal akademik (soal ini akan dibahas nanti). Meskipun begitu keberhasilan itu harus dibayar mahal. Seiring meningkatnya ketegangan politik di Prancis, keluarga Galois yang liberal mulai mendapat tekanan. Sebuah awal dari rangkaian peristiwa yang — dalam waktu singkat — akan memicu keambrukan mental Galois. Mengenai hal ini akan kita uraikan satu-per-satu.
Sebagaimana telah disebut di awal, ayah Galois adalah seorang walikota liberal. Ia terang-terangan menentang monarki, sentimen yang juga diamini sang putra. Kepopulerannya sebagai walikota Bourg-la-Reine ditunjang oleh kecerdasan bermain kata dan puisi; hal yang disenangi orang-orang sebagai hobi.
Sayangnya malang tak dapat ditolak. Melalui sebuah konspirasi, pendeta gereja lokal memalsukan tanda tangan Walikota; menyebarkan surat palsu bernada fitnah. Peristiwa ini menimbulkan skandal besar. Dipermalukan dan dituduh secara tidak adil, Nicolas-Gabriel akhirnya mundur dari jabatan. Ia memboyong keluarganya pindah, akan tetapi, sisa hidupnya tidak damai. Nicolas-Gabriel akhirnya bunuh diri pada tahun 1829.
Kepergian sang ayah menimbulkan dampak hebat pada psikologi Galois. Apabila kegemaran dengan matematika telah mendorongnya jadi singular dan tertutup, maka tewasnya Nicolas-Gabriel membuatnya jadi getir dan sinis. Di sinilah awalnya Galois menjadi sosok keras yang paranoid. Dalam dua tahun selanjutnya, ia akan dihinggapi neurosis, yang kemudian akan dilampiaskan dalam berbagai demonstrasi antipemerintah.
***
Guncangan batin Galois tidak berhenti sampai di situ. Belum lagi sang ayah dikuburkan, masalah baru muncul. Entah bagaimana, warga Bourg-la-Reine berhasil mengungkap fitnah yang dilakukan terhadap walikota. Fitnah yang berhubungan dengan politik. Pemakaman Nicolas-Gabriel tidak khidmat — suasana dipenuhi atmosfer perpecahan.
Mendadak pemakaman yang harusnya syahdu meletus jadi kerusuhan. Pendeta lokal yang dicurigai kaki tangan monarki dilempari batu dan cacian; menambah garam di atas luka yang belum kering. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Galois; menyaksikan semua itu sebagai putra orang yang hendak dikuburkan.
***
Adapun pukulan terakhir, dan paling keras, terjadi satu bulan pasca kematian Nicolas-Gabriel. Galois memutuskan ikut ujian masuk perguruan tinggi. Di tahun sebelumnya ia sudah mendaftar École Polytechnique, akan tetapi ia gagal karena kurang persiapan. Tahun ini adalah kesempatan terakhir: seseorang hanya boleh mendaftar dua kali. Apabila tahun ini juga gagal maka Galois harus mencari kampus lain.
Tak susah membayangkan bahwa Galois menjalani ujian dalam kondisi kacau. Belum lama ayahnya bunuh diri, lalu pemakaman berujung rusuh, dan kini dia harus ujian. Tidak mengherankan bahwa dia akhirnya gagal.
Akan tetapi Galois — barangkali karena mentalnya yang mulai terganggu — meledak marah. Sebuah versi sejarah mengatakan bahwa ia menganggap pengujinya terlalu bodoh, tidak mampu memahami kejeniusan dirinya; versi lain mengatakan bahwa ia sampai melempar penghapus papan tulis karena frustrasi. (lihat juga: Rothman, 1982)
Kegetiran Galois kelak akan semakin menjadi-jadi. Memasuki perguruan tinggi sekunder yang kalah bergengsi, ia akan menjadi seorang agitator militan. Pun begitu Galois tidak melupakan passion di bidang matematika — justru karya terbaiknya akan muncul di periode ini.
Publikasi Matematika Galois
Ditolak masuk kampus pilihan utama, Galois akhirnya terdampar di pilihan kedua, École Normale. Peristiwa ini terjadi di awal tahun 1830. Ironisnya, justru di kampus ini jiwa matematika Galois berkembang.
Setengah tahun sebelumnya, Galois telah mencoba mengirim manuskrip kepada Akademi Sains Prancis. Ini adalah formulasi awal dari Teori Galois — teori yang menjelaskan tentang solusi polinomial orde-5. Guru matematika Galois sendiri, Louis-Paul-Emile Richard, mengantarkannya pada matematikawan Cauchy.
Anehnya, entah karena apa, Cauchy tidak pernah mempresentasikan manuskrip tersebut di Akademi. Ada kemungkinan manuskrip itu hilang atau terselip. Meskipun demikian, sebuah versi mengatakan bahwa Cauchy memuji karya Galois, dan ingin agar karya tersebut disempurnakan demi nominasi Grand Prix des Sciences Mathematiques. Apapun yang terjadi, yang jelas manuskrip ini akhirnya terlupa dan terabaikan.
Melihat karyanya seolah tak diperhatikan, Galois memutuskan untuk merevisi dan mengirim langsung ikut Grand Prix. Sayangnya lagi-lagi ia tak beruntung. Manuskrip diberi ke matematikawan Fourier untuk dinilai, akan tetapi Fourier meninggal sebulan kemudian. Entah bagaimana di antara peninggalannya tak terdapat manuskrip Galois. Lagi-lagi, karya Galois terlupakan.
Di luar itu sendiri, sepanjang tahun 1830 Galois menuliskan tiga buah paper — dimuat dalam jurnal Ferrusac Bulletin — terkait teori angka dan persamaan. Masing-masingnya dengan judul terjemahan Inggris, “An analysis of a memoir on the algebraic resolution of equations”, “Notes on the resolution of numerical equations”, dan “On the theory of numbers.”
***
Adapun memasuki tahun 1831, Galois diminta untuk menulis ulang karya yang diberikan kepada Cauchy dan Fourier. Untuk kali ini, matematikawan Poisson yang melakukan penilaian, tetapi pada akhirnya ia pun menolak Galois — bukan karena salah, melainkan karena penjelasannya terlalu abstrak. Rekomendasinya adalah agar paper itu ditulis ulang/disempurnakan.
Mendengar ini Galois menulis revisi dan mengirim ulang. Akan tetapi dua bulan berlalu tanpa tanggapan balik. Galois, yang nampaknya semakin neurotik, menulis surat secara sarkastis:
“Saya akan sangat senang seandainya Anda bisa meminta Tuan Lacroix dan Poisson untuk mengumumkan: apakah mereka juga telah kehilangan manuskrip saya [seperti Fourier], atau mereka memang berencana mengumumkannya di Akademi.”
Sayangnya, lagi-lagi tak ada tanggapan. Untuk sementara waktu Teori Galois — karya besarnya — masih harus terkubur. Hal ini jelas tidak menyenangkan. Terlebih bagi Galois yang belum lama terguncang jiwanya.
***
Berbagai pengalaman buruk di atas, ditambah kecenderungan Galois yang makin paranoid, turut membentuk rasa sentimen terhadap otoritas. Hal ini akan semakin kentara dalam perjuangan politik di tahun terakhir hidupnya.
Hidup yang Kacau: Antara Revolusi, Penjara, dan Cinta
Sebelum membahas tahun terakhir Galois, ada baiknya kita mundur dulu sedikit, ke masa awal penerimaannya di École Normale. Periode ini bersinggungan dengan era produktivitas matematika Galois.
Sebagaimana telah disebutkan, Galois memiliki rasa sentimen terhadap otoritas. Contoh luapannya terjadi di sekolah Galois sendiri, École Normale — selama satu tahun dia bersilang pendapat dengan direktur Guigniault.
Guigniault, seorang konservatif, adalah dosen yang melarang mahasiswanya berpolitik. Galois, sebaliknya: jiwa aktivis yang dimilikinya sangat kuat. Tak pelak ia dan Guigniault sering berdebat. Puncaknya terjadi ketika Guigniault menerbitkan surat terbuka menyerang seorang guru berhaluan liberal. Galois, menanggapi perang pena, menulis dengan pedas:
“Segala ia perbuat menunjukkan pikiran yang sempit dan konservatisme yang berurat-berakar.”
Belum lagi lama di École, tetapi Galois sudah berani menantang. Guigniault tidak lagi menoleransi. Galois akhirnya dikeluarkan dari sekolah — dan untuk selanjutnya, harus berjuang menghidupi diri sendiri.
***
Masa-masa selanjutnya, sekaligus merupakan tahun terakhir hidup Galois, boleh dibilang yang paling kelam. Dia dipecat dari sekolah dan tak punya pekerjaan. Frustrasi akan penolakan kalangan ilmiah, ia tak lagi menghasilkan karya matematika. Galois kini mencari pelarian lewat aktivitas radikal dan minuman keras.
Tercatat bahwa Galois dua kali ditahan polisi karena berdemo. Yang pertama, ketika dalam sebuah acara perayaan, dia bersulang untuk Raja Louis-Philippe sambil menadahkan pisau. Hal ini dianggap sebagai ekspresi ancaman. Adapun yang kedua, ketika ia dengan nekat mengenakan seragam artileri dan berkeliling kota membawa senjata: setidaknya dua pistol, satu bedil, dan sebuah belati.
Jikalau tadinya ada orang meragukan militansi Galois — maka, lewat dua peristiwa di atas, kesan itu pupus sudah. Ia kini telah menjadi radikal yang seradikalnya. Tidak heran bahwa pada akhirnya ia divonis penjara enam bulan.
Ironisnya kemalangan Galois tidak berhenti sampai di situ. Menjelang dihukum penjara pun kabar buruk masih menimpanya. Revisi paper yang diserahkan pada Poisson dan Lacroix, yang berbulan-bulan tidak ada kabar, akhirnya resmi ditolak. Peristiwa ini merupakan pukulan besar akan harapan Galois mendapat pengakuan ilmiah.
***
Akan tetapi Galois tidak lama harus meringkuk di penjara. Awal tahun 1832, wabah kolera menyerang Prancis, dan Paris termasuk yang paling parah terkena. Adalah kebiasaan saat itu bahwa, apabila tahanan politik sakit, dibolehkan tahanan rumah di tempat penyembuhan. Galois mendapat keistimewaan ini — untuk selanjutnya ia akan tinggal di bangunan berjuluk Sieur Faultrier (“rumah kesehatan”).
Barangkali boleh dibilang bahwa ini sebuah peningkatan. Sebelum dipindah ke Sieur Faultrier, saudara perempuan Galois Nathalie-Theodore menuliskan kesan:
“Saya khawatir akan kesehatannya. [Évariste] begitu kelelahan . . . kepribadian yang kelam membuat dia tampak tua dari seharusnya. Matanya hampa seperti orang berumur 50 tahun.”
Dan memang kepindahan itu memberi nilai positif. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Galois menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada matematika atau idealisme Revolusi. Dia jatuh cinta pada putri seorang dokter di Sieur Faultier — seorang gadis bernama Stephanie Potterin du Mottel.
Sayangnya, sebagaimana banyak hal lain di kehidupan Galois: cinta ini pun mengalami penolakan. Stephanie yang awalnya berteman baik dengan Galois perlahan menarik diri. Entah apa alasannya — barangkali disumbang oleh temperamen Galois. Bagaimanapun akhirnya hubungan itu kandas.
Galois, menyesali hal ini, menulis pada sahabatnya Chevalier:
“Bagaimana mungkin saya bisa menenangkan diri, sementara saya telah menghabiskan — dalam sebulan — sumber kebahagiaan terbaik seorang pria. Sementara saya tersuruk tanpa kebahagiaan dan harapan…”
Akhir Sang Jenius: Duel dan Surat Legendaris
Selepas hubungannya dengan Stephanie, Galois semakin tenggelam dalam politik. Dari dalam tahanan ia berkoordinasi dan mendiskusikan ide-ide progresif. Meskipun begitu, bulan Mei telah tiba, dan masa hukuman telah habis. Galois kembali menjadi orang bebas.
Tiba-tiba saja, tanpa latar belakang jelas, Galois menulis surat pada teman-temannya: bahwa ia telah ditantang untuk berduel menggunakan pistol.
Dua orang patriot telah menantangnya, tulis Galois, lantas melanjutkan: “sebuah tantangan yang tak bisa saya tolak . . . bahwa ini di luar keinginan saya, dan saya tidak punya jalan lain.”
Terdapat beberapa teori terkait latar belakang duel Galois. Satu versi meyakini Galois dijebak oleh rezim pemerintah; versi lain mengatakan duel itu terkait masalah wanita. Versi lain lagi menyatakan bahwa Galois hendak dijadikan martir politik: sebagai aktivis radikal, kematiannya akan berguna menggelorakan simpati. Mengenai hal ini para sejarahwan tidak sepakat, dan kemungkinan, tidak akan pernah sepakat. (lihat juga: Rothman, 1982)
Terlepas dari penyebabnya, satu hal sudah jelas: di pagi hari 30 Mei 1832, Évariste Galois pergi ke lapangan terbuka untuk duel pistol. Menarik untuk dicatat bahwa dia begitu pesimis — begitu yakin akan mati dalam duel tersebut. Yang mana, hal ini memicu sebuah tindakan legendaris:
Galois, menyadari bahwa akhir hidupnya sudah dekat, menuliskan semua teori matematikanya dalam satu malam — berbentuk surat — dan menitipkan pada sahabatnya Chevalier.
“Sampaikan pada Jacobi atau Gauss, agar memberikan pendapat terkait teorema ini… bukan tentang benar atau salah, melainkan apakah teorema ini berguna. Mudah-mudahan kelak ada orang tertarik mengurai kekacauan ini [terkait angka dan bilangan].”
Surat tersebut sekaligus mengandung catatan tentang riset terbaru Galois, yang tidak terdapat dalam publikasi sebelumnya. Kelak lembar-lembar itu akan diperiksa matematikawan Liouville dan diterbitkan dalam Journal de Mathématiques Pures et Appliquées — sebelas tahun setelah kematian penulisnya.
Sebagaimana kita tahu, Galois akhirnya meninggal. Akan tetapi kerja kerasnya berbuah manis: warisan intelektualnya kemudian diakui, dan dapat bertahan hingga kini. Menarik membayangkan bahwa Galois pergi berduel dengan perasaan bittersweet, bahwa dia tahu kebenaran yang belum ada orang lain tahu, sementara tak ada harapan dia selamat — akan tetapi, itu cerita lain untuk saat ini.
Penutup: Sang Matematikawan Kontradiktif
Penulis Mario Livio, yang karyanya banyak saya rujuk membuat tulisan ini, punya deskripsi menarik tentang Galois — barangkali salah satu sosok paling menarik di jagat matematika. Kutipan dalam bahasa aslinya sebagai berikut:
“What can you say about a twenty-year-old boy who died? That he was a romantic, and a genius, that he loved mathematics. And he succumbed to misunderstanding and self-destruction.”
Bahwa Galois sosok jenius, hal itu sulit disangkal. Di usia duapuluh tahun ia membuka cakrawala baru di bidang matematika. Sumbangannya bernilai signifikan di bidang teori grup dan simetri — di samping sentuhan sana-sini terkait teori angka. Hanya saja, karena satu dan lain hal, ia tidak dapat bersumbangsih lebih lama. Akhirnya usia juga yang membatasinya.
Akan tetapi, yang membuat Galois menarik bukan semata karena dia jenius — justru sebaliknya. Yang membuat Galois istimewa adalah berbagai kontradiksi inheren dalam dirinya. Seorang matematikawan yang berpolitik; romantis yang galak; jenius yang hampir gila didera penderitaan. Hampir sepanjang hidupnya dia ditolak karena “nggak pernah nyambung” — sebab memang begitu banyak sisi yang dimiliki. Semua itu berkontribusi membentuk pribadi “Galois” yang unik.
Barangkali satu hal yang perlu ditekankan adalah: betapapun Galois itu cerdas, bukan berarti dia tidak bodoh. Benar bahwa dia mampu menghasilkan kontribusi ilmiah yang besar. Akan tetapi dia juga mempunyai sisi ketololan tersendiri: dengan sengaja memancing dipecat dari sekolah; hidup luntang-lantung menyalahgunakan alkohol; langganan keluar-masuk penjara. Ditambah lagi bahwa ia sepertinya menderita gangguan jiwa: selepas kematian ayahnya, Galois adalah seorang getir, pengumpat, dan paranoid.
Sebagaimana kenalan Galois, matematikawati Sophie Germain, berkomentar:
“Dia tidak punya uang, begitu pula ibunya tidak begitu kaya. Sesudah kembali ke rumah dia melanjutkan kebiasaan mengumpat dan meradang . . . Orang bilang dia akan menjadi gila, dan saya kuatir itu benar adanya.”
Mungkin ada benarnya kata Seneca, filsuf Yunani dari aliran Stoik. “There is no great genius without a touch of madness…”
——
Referensi:
Kleiner, I. (2007). A History of Abstract Algebra. Boston, MA: Birkhauser
Livio, M. (2005). The Equation That Couldn’t Be Solved: How Mathematical Genius Discovered The Language of Symmetry. New York: Schuster & Schuster
Ronan, M. (2006). Symmetry and The Monster: One of the greatest quests in mathematics. London: Oxford University Press
Rothman, T. (1982). Genius and biographers: the fictionalization of Evariste Galois, American Mathematics Monthly 89, 84-106