Quantcast
Channel: ZENOSPHERE
Viewing all 60 articles
Browse latest View live

Sunday Book Review: “The Writing Revolution”, by A.E. Gnanadesikan (2009)

$
0
0

A.E. Gnanadesikan - The Writing Revolution (cover)

        • Judul: The Writing Revolution: Cuneiform to the Internet
        • Penulis: Amalia E. Gnanadesikan
        • Penerbit: Wiley-Blackwell
        • Tebal: xx + 310 halaman
        • Tahun: 2009

Barangkali kalau boleh dibilang, hampir semua cerita, sejarah, dan ilmu pengetahuan kita direkam berbentuk buku. Mulai dari epik Yunani Kuno, drama Shakespeare, sampai Principia Mathematica Isaac Newton, semua dirangkum berbentuk buku. Masalahnya tinggal apakah orang bisa membaca (atau menulis) ilmu-ilmu yang berguna tersebut. Kemampuan membaca dan menulis ibaratnya kunci menuju pengetahuan yang beragam.

Nah, buku yang hendak saya review kali ini membahas topik yang disebut terakhir. Disadari atau tidak, sebenarnya kemampuan baca-tulis adalah hal yang amat signifikan. Sebagai contoh, dengan menguasai aksara orang dapat merekam perjalanan hidup, administrasi, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu wajar jika orang bertanya: “Bagaimana sih ceritanya peradaban manusia berkembang, hingga bisa menemukan ilmu membaca dan menulis?” ;)

Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh penulis A.E. Gnanadesikan — seorang ahli bahasa lulusan Universitas Massachusetts Amherst. Lewat buku ini beliau seolah mengajak pembacanya bertualang di bidang arkeologi; menelusuri perkembangan aksara dari zaman kuno hingga era modern.

 
Seperti apa ceritanya?

 
Berbicara tentang tulisan, tentu pertama kali harus ditanyakan: mengapa orang menulis? Menurut Ibu Gnanadesikan, hal ini terjadi karena orang merasa perlu mencatat berbagai hal yang dirasa penting. Sebagai contoh catatan perdagangan, nama penguasa yang aktif, dan lain sebagainya. Kasar-kasarnya: melalui tulisan orang jadi belajar untuk mengabadikan peristiwa dan ide.

Bisa ditebak, kebutuhan untuk mencatat itu kemudian menstimulasi munculnya huruf/aksara yang paling awal. Biarpun bentuknya sederhana tetapi cukup bisa mewakili kebutuhan mencatat. Sebagai contoh huruf paku Sumeria. Biarpun sekadar torehan tanah liat tetapi bisa mewakili ide-ide yang kompleks. :)

tablet huruf paku susa, mesopotamia

Konon isinya tentang administrasi. Benarkah?

(via Wikimedia Commons)

Munculnya huruf paku di Sumeria itu kemudian menginspirasi munculnya huruf Hieroglif di kebudayaan Mesir Kuno. Adapun di tempat-tempat yang jauh, masyarakatnya memunculkan aksara versi mereka sendiri — sebagai contoh piktogram Cina Kuno, Sanskrit, dan Hangul versi Korea.

Adapun aksara-aksara kuno itu kemudian jadi saling mempengaruhi dan berevolusi. Piktogram Cina Kuno, misalnya, berkembang jadi Hanzi (huruf Cina modern). Begitu juga dengan huruf Latin yang kita kenal sekarang — merupakan hasil evolusi dari salah satu varian huruf Yunani.

Nah, bagaimana huruf-huruf kuno itu berkembang, berinteraksi, dan saling mempengaruhi, hal itu jadi salah satu tema utama yang dibahas dalam buku. Bukan saja ditinjau dari bentuknya, melainkan juga dari cara baca dan waktu kemunculannya. Ternyata huruf-huruf itu tidak statis! :o Tentunya di sini timbul sebuah pertanyaan, mungkinkah huruf Latin yang kita kenal nantinya akan berevolusi? Tapi itu cerita lain untuk saat ini. ;)

 
Invention, Reverse Engineering, and More
 

Menariknya, biarpun di atas dicontohkan tentang huruf-huruf hasil evolusi, Ibu Gnanadesikan juga menjelaskan tentang sistem yang dibuat sendiri. Dibuat sendiri dalam artian aksara itu dirancang secara khusus untuk dipakai di masyarakat.

Sekurangnya dalam sejarah terdapat tiga sosok yang sukses merancang aksara yang dipakai secara luas. Tiga sosok tersebut adalah:

Dengan demikian bukan saja bahasa tulis itu berkembang secara natural, melainkan juga bisa dibuat dan dikodifikasikan secara manual. Benar-benar menarik! :)

Adapun di sisi lain, aksara dibuat sendiri bukan berarti dia tidak mendapat pengaruh dari yang sudah ada. Sebagai contoh: aksara Cherokee banyak mengambil dari huruf Latin, biarpun cara bacanya berbeda. Sementara itu Hangul merupakan script alternatif untuk menggantikan pembacaan yang tadinya menggunakan huruf Cina (Hanja).

 
Kesimpulan
 

Sebuah buku yang menggugah; menceritakan tentang seluk-beluk aksara dan pernak-perniknya. Bukan saja menjelaskan sejarah perkembangannya, melainkan juga cara baca, evolusi, dan aspek linguistik yang dikandung. Gaya penyampaian yang runtut dan populer jadi nilai plus untuk buku yang satu ini.

Rekomendasi: A must have bagi yang tertarik mempelajari budaya, bahasa, dan pernak-perniknya.

Personal Verdict:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full



Bassai Dai

$
0
0

Waktu masih SMA dulu, saya sempat beberapa waktu ikut latihan karate (tidak begitu jauh; cuma setahun dan sampai sabuk hijau). Meskipun cuma sebentar, tetapi latihannya cukup berkesan — sedemikian hingga saya jadi suka iseng jalan-jalan di YouTube dan search video karate. Sekalian menyegarkan ingatan, begitu. :P

Nah, salah satu jenis video karate yang saya suka nonton adalah kata. Atau dalam istilah awamnya: rangkaian gerakan yang harus dihafalkan dan diperagakan oleh seorang karateka. Adapun kerumitan kata dikelompokkan berdasarkan tingkat; semakin tinggi level pelajaran maka akan semakin sulit dan kompleks.

Saya sendiri, berhubung sampai akhir berstatus relatif kroco, cuma pernah belajar sampai kata IV. Akan tetapi berhubung latihannya tidak dipisah, jadinya sering nonton para senior latihan. Dan dari situ jadi tahu sebuah kata yang — entah kenapa — selalu bikin kagum tiap kali saya melihatnya. Sebagaimana bisa ditebak namanya persis seperti yang dijadikan judul posting: Bassai Dai (披塞大).

Kalau boleh dibilang gerakannya sangat mengedepankan power dan flow. Saya kurang tahu dengan bagaimana di cabang bela diri lain, sih. Kalau ada pembaca yang tahu sebagai perbandingan, monggo berbagi link/videonya di tempat komentar. ^^v

Hirokazu Kanazawa (Dan 10) – Bassai Dai

versi Antonio Diaz (WKF Champion 2010)

Norio Kawasaki – Bassai Dai

 

——

Ps:

Tulisan ringan untuk mengisi posting, soalnya mood menulis belum balik sepenuhnya. :P


Sunday Music File: Tangerine Dream, “Melrose” (1990)

$
0
0

Tangerine Dream - Melrose (album cover)

                • Album: Melrose
                • Musisi: Tangerine Dream
                • Label: Private Music
                • Tahun: 1990

Kalau boleh jujur, saya orangnya cukup tertarik pada musik instrumental. Alat musiknya sendiri terserah saja — tradisional boleh, klasik boleh; synthesizer juga tak apa. Yang penting eksekusinya bagus saja sih. Akibatnya sendiri cukup jelas: koleksi yang saya punya di harddisk jadi gado-gado nyeleneh. Piano klasik Glenn Gould ada; musik etnik The Chieftains juga ada. Pokoknya semacam itulah. ^^;

Nah, sejalan dengan itu, album yang hendak dibahas kali ini juga memiliki gaya instrumental. Dirilis dengan judul Melrose, album ini merupakan produk musisi Tangerine Dream pada dekade 1990-an.

Barangkali ada beberapa pembaca yang kurang akrab dengan nama musisi yang disebut. Oleh karena itu, ada baiknya dibahas sekilas sebagai pengantar.

Tangerine Dream adalah sebuah grup musik electronica asal Jerman yang mulai berkarir di tahun 1967. Boleh dibilang bahwa mereka termasuk musisi elektronika paling awal; mempopulerkan penggunaan synthesizer di dunia musik. Gaya musik mereka sendiri cukup unik — memasukkan gaya orkestra (dengan suara berlapis-lapis) dalam synthesizer. Bersama dengan Jean Michel Jarre dan Vangelis, Tangerine Dream dianggap sebagai pionir gaya bermusik jenis ini.

Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, musik Tangerine Dream mulai berevolusi. Sedemikian hingga di dekade 1990-an musiknya tidak lagi orkestra elektronik macam Jarre — melainkan lebih dekat ke ambient-downtempo. Musik yang umumnya dipakai sebagai latar atau sarana relaksasi; jadinya agak mirip dengan Cafe Del Mar.

Bisa ditebak, semangat ‘musik relaksasi’ itu kemudian terasa dalam album Melrose. Album yang dirilis tahun 1990 ini cenderung smooth dengan bumbu beat yang manis di sana-sini. Sebagai contoh track yang berjudul Electric Lion.

Tangerine Dream – Electric Lion

Di sisi lain, ada juga track yang agak lebih upbeat dan bersemangat, biarpun masih dekat ke lounge music. Dua contoh di antaranya Melrose dan Rolling Down Cahuenga.

Tangerine Dream – Melrose

Tangerine Dream – Rolling Down Cahuenga

Sementara itu contoh yang minimalis terdapat di track terakhir di album ini, Cool at Heart. Boleh dibilang sangat cocok untuk memalaskan diri diam sambil melamun. :P *halah*

Tangerine Dream – Cool at Heart

Adapun secara pribadi, saya menilai keseluruhan album ini cenderung seimbang antara upbeat dan downtempo. Meskipun begitu, intinya tetap: style yang dihadirkan tak jauh-jauh dari lounge music atau new age.

 
Tracklist:

  1. Melrose (5:44)
  2. Three Bikes in the Sky (5:58)
  3. Dolls in the Shadow (5:10)
  4. Yucatan (5:16)
  5. Electric Lion (8:13)
  6. Rolling Down Cahuenga (6:43)
  7. Art of Vision (5:30)
  8. Desert Train (10:17)
  9. Cool at Heart (6:09)

 
Rekomendasi:

Buat yang suka mendengarkan lounge music atau new age.


“Mengintip” Hakikat Lewat Nasrudin Hoja

$
0
0
    Catatan: Referensi untuk kisah Nasrudin tersedia di bagian akhir tulisan

 

Sepanjang sejarah dunia, ada banyak tokoh yang diceritakan sebagai “tukang bercanda” — atau kalau boleh dibilang, “tidak pernah serius”. Mengenai hal ini ada banyak contohnya. Misalnya, di Jerman terdapat Till Eulenspiegel. Kalau di Arab yang terkenal Abu Nawas, sementara di budaya Yahudi Hershel Ostropol. Orang-orang semacam ini digambarkan hobi mengusili masyarakat sekitar. Saking hobinya, sedemikian hingga mencapai status legendaris… oleh karena itu tidak heran jika di masa kini pun banyak kisah diceritakan tentang mereka.

Nah, salah satu sosok “tukang bercanda” yang masuk dalam sejarah itu adalah Nasrudin Hoja. Beliau digambarkan sebagai guru Sufi yang hidup di Turki pada abad 13 Masehi. :D

nasruddin hodja

Nasruddin Hoja digambarkan sedang menunggang keledai

(via Wikipedia)

Mengenai Nasrudin sendiri ceritanya agak unik. Syahdan, sebagai seorang sufi, masyarakat memandang dirinya punya kepahaman agama. Meskipun begitu, ini tidak berarti dia benar-benar dihormati masyarakat. Justru sebaliknya: Nasrudin adalah orang yang amat sering dikerjai — dan balik mengerjai — lingkungan sekitarnya. Baik itu secara verbal maupun fisik. Pada akhirnya hal itu membuat Nasrudin dapat reputasi sebagai “orang yang tak pernah serius”.

Akan tetapi, apakah Nasrudin itu orangnya sekadar usil? Jawabannya… tidak juga. :mrgreen: Galibnya seorang guru, keusilan yang dilakukan Nasrudin sering mengandung pesan tersirat. Banyak di antara humornya nyerempet metafisika dan hakikat yang digeluti kaum Sufi. Boleh dibilang bahwa kisah Nasrudin sebenarnya mempunyai muatan filosofis yang dalam.

Sebagai contoh, tidak semua hal itu seperti yang “tampak di luarnya” — topik ini berulangkali ditekankan oleh humor Nasrudin. Lebih jauh lagi: bahwasanya persepsi itu rancu, dan bahasa sering tidak cukup untuk menjelaskan kenyataan! :shock:

Nah loh, bingung kan? :lol: Seperti apa ceritanya, akan segera kita lihat di bawah ini. Here goes…

 
Sang Hoja dan Hakikat

 
Sebagaimana sudah disebut, salah satu concern yang dibahas dalam cerita Nasrudin adalah tentang persepsi. Bahwasanya orang sering terpaku pada “sisi luar” suatu benda. Sementara esensinya, hal yang harusnya jadi fokus, justru tidak tersentuh. Mengenai hal ini biasanya diparodikan lewat kelakuan sang guru.

Salah satu kisah Nasrudin menjelaskan ketika ia bertemu tetangga di pasar.

“Mullah, Anda tampak memar-memar! Ada apa, apa yang terjadi?”

“Istriku sedang marah tadi malam. Semua pakaian dan isi lemari dilempar!”

“Tapi itu kan cuma pakaian?”

“Masalahnya aku sedang memakai bajuku…”

Di sini kita melihat bagaimana Nasrudin mencampurkan antara “baju” dan “orang yang memakai”. Sekilas logikanya benar: (1) bahwa semua baju dilempar, (2) termasuk semua baju milik Nasrudin, dan (3) bahwa yang dipakai Nasrudin malam itu adalah baju miliknya. Oleh karena itu: Nasrudin pun ikut dilempar! :mrgreen:

Akan tetapi bagi orang keseharian, sepertinya ada yang aneh. Kalau baju dilempar, kenapa dia yang terluka, atau sebagainya. Padahal sebenarnya tidak. Dengan satu atau lain cara, humor Nasrudin menunjukkan suatu bug yang terdapat dalam cara berpikir kita.

What is Nasrudin’s cloth without Nasrudin? Nah, ini pertanyaan yang susah untuk dijawab. ;)

***

Contoh lain tentang keluguan Nasrudin yang profound juga terdapat dalam kisah berikut. Ceritanya terjadi di malam hari, ketika Nasrudin menjelang tidur.

Mullah Nasrudin, mendengar suara berisik dalam rumah, memutuskan untuk mengintip. Dilihatnya seorang pencuri sedang memasukkan barang-barang ke dalam kantong, hampir semua sudah disikat.

Tak berapa lama si pencuri memutuskan kabur. Nasrudin mengikuti berjingkat-jingkat di belakangnya.

Sampai beberapa kilometer masih mengikuti… akhirnya si pencuri sadar kehadiran Nasrudin.

“Hei! Kenapa kamu mengikutiku!”

Mullah, dengan tampang terkejut: “Lho, kita kan sedang pindah rumah!”

Tentunya di sini timbul pertanyaan: kenapa Nasrudin menjawab seperti di atas?

Untuk mudahnya, coba kita bayangkan seperti berikut. Di dalam rumah ada dua orang pria, yang satu pemilik rumah. Sesudah selesai membuntel barang, mereka berdua pergi jalan kaki. Kira-kira, situasi apa yang sedang berlangsung?

Bagi orang yang tidak tahu apa-apa, tentu saja jawabannya intuitif: Mereka sedang pindah rumah! Lihat saja tuan rumah mengawasi di belakang, tidak marah. Lalu mereka jalan berdua sesudahnya. Jadi tidak mungkin itu tindak kriminal. Kan begitu? :mrgreen:

Sejatinya, ketika menjawab “kita sedang pindah rumah”, Nasrudin sedang menyiratkan bahwa tampaknya memang seperti itu. Manusia menilai sesuatu sering mengacu pada luarnya. Tampaknya seperti ini, tampaknya seperti itu. Sementara peristiwa aslinya… boleh jadi amat berbeda.

Di sini Nasrudin menunjukkan bahwa citra yang tampak itu superfisial. Apabila citranya dimanipulasi, maka melesetlah kesimpulannya. Hakikat sesuatu hal belum tentu sama dengan kelihatannya — ini dia hal yang penting. :)

Mirip cerita sebelumnya, humor Nasrudin di sini menunjukkan adanya bug dalam pemikiran kita sehari-hari. Ternyata memahami hakikat itu rumit! :mrgreen:

 
Sang Hoja dan Kesempurnaan
 

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Nasrudin adalah sosok yang menyerang superfisialitas. Orang sering terpaku pada ide akan sesuatu hal — alih-alih pada hal yang sedang dibicarakan. Pada akhirnya mereka jadi terjebak dengan deskripsi. Melulu bermain kata, persepsi, dan ide. Sementara pokok bahasan aslinya justru terlupa.

Sebagai contoh misalnya tentang kesempurnaan. Kita punya banyak ide bagaimana agar dunia itu “sempurna”. Akan tetapi, apakah pendapat itu valid? Seringnya sih kesempurnaan versi kita itu sifatnya superfisial. :P

Mengenai hal ini tidak luput dari sindiran Nasrudin.

Mullah Nasrudin sedang beristirahat di bawah pohon ceri, mengamati alam sekitar.

“Aku tahu Allah Maha Sempurna,” gumam Nasrudin. “Tetapi kenapa kok pohon ceri begini besar buahnya kecil? Sementara tanaman labu buahnya besar, tapi pohonnya kecil.”

Tenggelam dalam pikiran, Mullah tertidur di bawah pohon. Tiba-tiba saja ada buah ceri jatuh — langsung menimpa kepala sang Mullah!

“Allah Maha Besar!” teriak Nasrudin, terbangun sambil gagap. “Bayangkan seandainya buah labu jatuh dari pohon, menimpa kepalaku! Pasti aku sudah tewas!”

Lewat kisah di atas, kita melihat bahwa Nasrudin mengupas gagasan “kesempurnaan” yang dangkal. Apakah “kesempurnaan” itu? Tidak lain sekadar pikir-pikiran manusia. Bahwa sesuatu itu harusnya begini-atau-begitu. Sementara di sisi lain, dunia terus berjalan, dan siap membalikkan asumsi-asumsi.

Masalahnya akal manusia itu terbatas — banyak hal yang sering terlewat dari perhitungan. Oleh karena itu, sungguh naif kalau kita merasa bisa menyempurnakan dunia. Bagaimana bisa menyempurnakan dunia kalau pandangan kita saja tak sempurna? :-?

Cerita lain memiliki tema yang mirip, tetapi situasinya dibalik:

Suatu sore Mullah Nasrudin sedang mengobrol dengan sang istri.

“Hari ke hari, aku makin kagum pada penciptaan alam. Semua selaras untuk kesejahteraan manusia.”

“Contohnya?”

“Aku bersyukur unta tidak punya sayap.”

“Apa untungnya itu bagi kita?”

“Coba pikirkan! Kan bisa saja mereka mendarat di atap rumah, lalu tak peduli dengan kerusakan yang mereka timbulkan.”

Apabila cerita sebelumnya mengetengahkan komplain akan what is, maka yang kali ini mengetengahkan kepuasan. Alam ini sudah perfect, demikian simpul Nasrudin. Dan itu cukup — coba saja bayangkan kalau unta punya sayap! :mrgreen:

Akan tetapi, benarkah demikian? Kalau dipikir lagi, sebenarnya tidak juga. :P Taruhlah seandainya benar ada unta bersayap. Kan justru bisa memudahkan perjalanan? Barangkali dari Turki, Nasrudin bisa pergi haji naik unta terbang. Bisa juga unta bersayap itu dipakai untuk menyebarkan zakat. Atau barangkali untuk bantu bela negara. Jadi ada potensi yang terlihat di situ. Walaupun memang bakal repot sekali kalau mesti mengurusi unta terbang — bagaimana pula membersihkan kotorannya? :|

Akan tetapi, masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah kalau kita berusaha mengotak-ngotakkan alam semesta menurut persepsi kita. Sebagaimana telah disebut sebelumnya: alam semesta selalu siap membalikkan asumsi-asumsi. Kesalahan kita adalah kalau kita terlalu terpaku pada asumsi. Sedemikian hingga jadi lupa bahwa yang dunia dibicarakan itu… ya tidak peduli. Jalan terus. Indifferent.

Dan memang terjebak dalam asumsi itu berbahaya. Mengenai hal ini Mullah Nasrudin punya cerita lagi yang bisa direnungkan. ;)

Dalam suatu majelis, seorang jamaah bertanya ke Mullah Nasrudin.

“Mullah, apa itu nasib?”

“Nasib itu asumsi-asumsi.”

“Maksudnya?”

“Begini,” Nasrudin menatap si jamaah dengan serius. “Kalau kamu berasumsi suatu kejadian baik akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib buruk’. Kalau kamu berasumsi kejadian buruk akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib baik’.

“Kamu berasumsi hal-hal X dan Y akan terjadi, tapi kamu tidak tahu masa depan — kalau kamu salah tebak, maka kamu menyebutnya ‘nasib’.”

Jadi, yah, begitulah… :lol:

 
Penutup: Sang Guru Sufi Nyeleneh
 

Bahwa Nasrudin itu sosok yang unik, barangkali susah untuk disangkal. Benar bahwa ia adalah seorang guru. Meskipun begitu, kalau orang mengikuti sepak-terjangnya, barangkali akan ragu: Dalam kebodohannya ia menyembunyikan kepintaran; dalam kepintaran ia menunjukkan kebodohan. Boleh dibilang bahwa Nasrudin merupakan perwujudan sosok wise fool.

Beberapa pembaca mungkin agak terganggu membaca deskripsi di atas. Bagaimanapun memang penuh dengan oksimoron. Ini bukan karena saya ingin membuat Anda bingung — masalahnya, amat susah untuk mendeskripsikan Nasrudin tanpa berbelit. Sebab memang yang dibicarakan oleh beliau sifatnya di luar logika.

Itu bukan berarti Nasrudin itu anti-logika, tentu. Sebagaimana sudah kita uraikan, kisah Nasrudin itu logis. Hanya saja logika di situ lebih berperan sebagai pengantar. Intinya sendiri bukan pada deskripsi — melainkan pada hakikat. What is between the line? What is beyond context? Itu dia masalah yang pentingnya. ;)

Terkadang, lewat anekdot yang naif, bisa muncul insight filosofis mendalam. Atau bisa juga sebaliknya: anekdot yang cerdas sekalipun bisa saja dipersepsi sebagai kebodohan. Di sinilah peran Nasrudin Hoja, sebagai seorang guru, selalu aktif membantu kita.

Jangan heran kalau suatu saat nanti seolah ada lampu menyala dalam benak, lalu mendadak kita terheran-heran sendiri: Wait, what the hell was I doing! It’s not paradox; it’s not even dichotomy! Yang semacam ini susah untuk dijelaskan. Harus dialami sendiri supaya bisa mengerti! :mrgreen:

And, with that signoff note…

“That, of course, is the great secret of the successful fool — that he is no fool at all.”

~ Isaac Asimov
(dalam “Asimov’s Guide to Shakespeare”, Volume II)

 

 
——

Referensi Kisah Nasrudin:

    (buku)

  • Borrow, George. 1884. The Turkish Jester. Ipswich: W. Webber
    (tersedia di Project Gutenberg)
  • Owadally, M.Y. (terj.). 2003. Parodi Sufi: Nasruddin Hodja, Surat Ke Baghdad. Bandung: Nuansa
  • Shah, Idries (terj.). 2000. Humor Sufi 1-3. Jakarta: Pustaka Firdaus

Ötzi and The March of Medicinal Science

$
0
0

Suatu hari di tahun 1991, dua orang pendaki gunung asal Jerman menemukan sosok manusia terperangkap dalam es. Peristiwanya terjadi ketika mereka sedang mendaki dekat perbatasan Italia-Austria, dan langsung dilaporkan pada otoritas setempat. Peristiwa ini tidak biasa, meskipun begitu, sebenarnya tidak aneh. Gunung yang mereka daki tersebut termasuk rangkaian Pegunungan Alpen. Sebagai salah satu yang tertinggi di Eropa, pegunungan ini sering memakan korban.

Dengan latar belakang demikian, petugas polisi dan medis mencurigai sosok tersebut sebagai pendaki kecelakaan. Skenario umumnya: pendaki yang kurang ahli mengalami terpeleset, lalu jatuh ke dalam gletser dan meninggal. Meskipun begitu analisis ini cuma separuh benar. Ketika temuan tersebut diperiksa mereka sampai pada kesimpulan mencengangkan: sosok tersebut adalah mayat pendaki berusia 5300 tahun. Boleh dibilang bahwa selama ribuan tahun jasadnya terawetkan dalam lapisan es.

Oleh petugas yang memeriksanya, jasad manusia purba ini kemudian dinamai sebagai “Ötzi“.

Oetzi the Iceman

Ötzi, yang kadang-kadang disebut juga “The Iceman”

(via Wikipedia)

Bahwa terdapat manusia purba yang jasadnya awet sampai sekarang, itu saja sudah luar biasa. Akan tetapi ada lagi yang lebih menarik: barang-barang yang dibawa oleh Ötzi menunjukkan cara hidupnya. Terdapat berbagai perlengkapan seperti kapak sederhana dan pisau. Yang juga menarik adalah bahwa Ötzi (kemungkinan) telah memiliki pengetahuan obat-obatan sederhana — memanfaatkan jamur dan arang.[1][2]

Mengapa si manusia purba harus berobat dengan jamur dan arang? Nah, ini ada ceritanya lagi. Dan boleh dibilang sangat menarik — jadi akan kita uraikan di bagian khusus tersendiri. :)

 
The Iceman’s Medicinal Kit
 

Sebagaimana telah disinggung di atas, Ötzi si manusia purba diduga punya pengetahuan medis — biarpun sangat minim dan kasar. Ia dikatakan membawa kantong berisi jamur dan arang. Pertanyaannya adalah: untuk apa?

Jawaban untuk ini diberikan oleh ilmuwan Luigi Capasso, dalam artikel jurnal kedokteran The Lancet.[3] Berdasarkan pemeriksaan saluran pencernaan Ötzi, ditemukan kehadiran parasit cacing Nematoda, mengakibatkan gangguan sakit perut. Spesies jamur yang dibawa Ötzi (Piptoporus betulinus) memiliki sifat antibiotik dan bersifat purgatif — kasar-kasarnya semacam obat pencahar. Hal ini mensugestikan bahwa Ötzi memanfaatkan jamur tersebut sebagai pertolongan pertama.

Oetzi's mushroom

Roncean jamur yang dibawa Ötzi.

(via South Tyrol Museum of Archaeology)

Mengenai arang sendiri, ceritanya agak mirip. Selama berabad-abad arang dimitoskan sebagai suplemen pembantu pencernaan. Yang menarik adalah bahwa, ketika lambung dan usus Ötzi diperiksa, di dalamnya terdapat elemen arang![1] :shock: Mungkinkah si manusia purba sadar dan hendak mengobati sakit perutnya? Mengenai hal ini mungkin akan tetap jadi misteri.

Satu lagi yang tak kalah menarik, biarpun tidak sekokoh dua sebelumnya, terkait dengan berbagai tato/marka tubuh di badan Ötzi. Peletakan berbagai tato ini kemudian dianalisis oleh tujuh peneliti dari Universitas Graz. Hasil yang didapat: berbagai tato yang terdapat di badan Ötzi letaknya bersinggungan dengan titik-titik syaraf dan akupunktur.[4] Sama dengan temuan Capasso tentang jamur, penelitian ini diterbitkan dalam jurnal The Lancet.

***

Bisa ditebak, hadirnya petunjuk bahwa ilmu pengobatan sudah ada di zaman Ötzi memberikan insight segar tentang sejarah manusia. Di satu sisi tekniknya amat kasar dan sederhana. Akan tetapi di sisi lain, juga menunjukkan salah satu titik awal perkembangan sains kita. :)

 
Estafet
 

Pastinya, kalau dibandingkan dengan zaman sekarang, “ilmu pengobatan” yang dimiliki Ötzi amat jauh dari mumpuni. Malah kalau boleh jujur: terlalu sederhana dan pas-pasan. Akan tetapi, justru itu menunjukkan seberapa jauh kita sudah melangkah. Seiring kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi bertambah. Pada akhirnya hal itu berbuntut ke dunia medis.

Ada banyak hal yang sudah terjadi sesudah Ötzi meninggal. Misalnya, pada era Yunani Kuno. Pada era ini muncul sosok dokter seperti Hipokrates. Hipokrates, lewat pemikirannya meletakkan dasar ilmu kedokteran. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa penyakit manusia bersumber dari alam dan dapat disembuhkan secara logis. Lebih jauh lagi, Hipokrates menetapkan prinsip dasar mengatur kesehatan: apabila orang hendak sehat, maka ia harus menjaga kualitas makanan, minuman, dan gaya hidup.[5]

Kemudian, tak berapa lama setelah peradaban Yunani Kuno digusur Romawi, muncul lagi sosok dokter jenius bernama Galen. Galen dikatakan sebagai penyembuh yang memiliki kepahaman lengkap: mulai dari anatomi, fisiologi, sampai sistem syaraf dipelajari olehnya. Karena itu, tidak heran ia dianggap sebagai dokter terbaik di seluruh Romawi. Begitu kuat ajaran dan pengaruhnya sehingga ia mendapat gelar “Paus Ilmu Kesehatan Eropa”.[5]

Adapun setelah Romawi runtuh, ajaran Hipokrates dan Galen tidak lantas menghilang — melainkan disimpan dan dipelajari oleh peradaban Islam Abbasiyah. Melalui warisan tersebutlah, ilmu kedokteran Islam — yang diujungtombaki oleh Ibnu Sina dan Ar-Razi — dapat maju dan berkembang. Kecemerlangan medis zaman ini dicerminkan oleh karya besar Ibnu Sina, Qanun fi Al-Tib. Buku yang luar biasa, sebab hingga abad ke-16 masih dipakai sebagai teks kedokteran Universitas Eropa.[5]

Galen, Hippocrates, Avicenna

Plakat Eropa yang mewakili tiga generasi dokter. Kiri ke kanan: Galen, Ibnu Sina, Hipokrates

(courtesy of TUMS)

Proses transmisi ilmu kedokteran tersebut begitu luar biasa; melampaui tiga generasi kerajaan. Jarak waktunya terentang dua ribu tahun: dari Yunani Kuno, kemudian Romawi, dan akhirnya Islam. Masing-masing mempunyai sosok dokter yang berpengaruh besar. Apabila orang hendak meringkas sejarah kedokteran, maka tidak mungkin bisa tanpa menyebut nama tiga serangkai: Hipokrates, Galen, dan Ibnu Sina. Sebab memang sumbangsih mereka tak terbantahkan.

 
Menuju Zaman Modern
 

Memasuki era Renaissance Eropa, para sarjana mulai menerjemahkan (dan mempelajari ulang) karya kedokteran yang diarsipkan kebudayaan Islam. Salah satunya adalah kitab Ibnu Sina yang terkenal, Qanun fi At-Tib. Melalui catatan Arab itulah, pelajar Eropa mendapatkan kembali insight kedokteran Yunani dan Romawi. Sebagai bonusnya adalah nilai-nilai orisinil yang dikembangkan para dokter Muslim.

Kembalinya ilmu kedokteran ke pangkuan Eropa sekaligus memicu terjadinya Revolusi Ilmiah; membuka jalan menuju zaman modern yang kita kenal. Langkah pertama dimulai oleh Andreas Vesalius, dokter Eropa pertama yang melakukan bedah mayat (hal ini sebelumnya dilarang otoritas agama). Hasilnya kemudian dituangkan dalam buku De Humanis Corporis Fabrica.[6]

vesalius fabrica

Cuplikan karya Vesalius; digambar tahun 1543

(courtesy of NIH)

Kemajuan ilmu fisika, terutama optik, ikut berperan mendorong majunya ilmu kedokteran. Melalui mikroskop generasi awal, ilmuwan seperti Hooke dan Leeuwenhoek mulai mengamati sel dan bakteri. Peristiwa ini sekaligus memicu berkembangnya teori kedokteran tentang kuman — yakni, bahwa penyakit disebabkan oleh organisme mikro kasatmata.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa para pahlawan kedokteran di abad berikutnya adalah yang menangani bibit penyakit. Di sekolah dulu kita belajar tentang Louis Pasteur, dokter yang membuktikan penyakit disebabkan mikroorganisme. Lewat penelitian lebih lanjut, Pasteur merumuskan teknik vaksinasi melawan rabies dan anthrax.

Bapak Edward Jenner, ilmuwan asal Inggris, menemukan bahwa penyakit cacar bisa dicegah lewat vaksinasi. Kemudian memasuki abad 20, Alexander Fleming menemukan antibiotik. Benar-benar kemajuan yang pesat! :) Bolehlah kalau dibilang bahwa, memasuki era modern, teknik pengobatan yang kita miliki sudah maju begitu jauh. Bukan lagi tergantung pada jamur dan obat alami, melainkan lewat sintesis ilmiah di laboratorium.[2][5]

***

Tentunya, kalau hendak diteruskan, kemajuan ilmu kedokteran tidak berhenti sampai di situ. Masih banyak lagi terobosan yang lain. Mulai dari alat diagnosis berat seperti Rontgen, MRI; lalu pengobatan berbasis nuklir seperti Radioterapi. Bahkan hal sederhana seperti sanitasi pun punya dampak besar — begitu banyak penyakit bisa tercegah lewat hal ‘sepele’ seperti air bersih dan sabun.[7]

Dulu penyakit TBC tak bisa disembuhkan; sekarang sudah ada tablet dan vaksinnya. Dulu penyakit kolera, sifilis, lepra begitu mengerikan — tetapi sekarang sudah bisa ditangani. Semakin maju ilmu kesehatan, semakin banyak penyakit yang kita tundukkan. Dan kita beruntung dapat menikmati kemajuannya. ;)

 
Penutup: Our Own Charcoal and Mushrooms
 

Akhir Juni lalu, saya menjalani opname di rumah sakit. Mengenai penyakitnya sendiri tidak usah dibicarakan di sini, meskipun begitu, cukuplah kalau dibilang bahwa penyembuhannya makan waktu berbulan-bulan. Dan dapat bonus juga: sempat ‘berkenalan’ dengan alat tes canggih seperti MRI dan EMG. :P

tabung MRI

Ini alat langka, tidak semua orang pernah masuk situ!

(via Vassar College)

Bagusnya, keadaan saya saat ini sudah jauh membaik. Obatnya sudah hampir habis, dan jadwal ketemu dokternya tinggal satu kali lagi. Meskipun begitu pengalaman di rumah sakit itu menimbulkan suatu kesan tersendiri.

Seandainya penyakit saya dialami oleh orang yang hidup di abad 17, bagaimana jadinya? Tanpa listrik, apalagi MRI. Dan lebih jauh lagi tidak ada obat modern yang menyembuhkan. Bukan saja penyakitnya tak bisa disembuhkan — untuk mendiagnosisnya saja mustahil! :o

Pada akhirnya, fakta bahwa kita hidup di zaman yang (relatif) merdeka dari gangguan penyakit adalah hal yang harus disyukuri. Di masa kini kita mempunyai alat-alat canggih yang membantu kehidupan, termasuk di antaranya bidang kesehatan. Yang mana, hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan.

Apabila Ötzi si manusia es terpaksa bergantung pada jamur dan arang, maka kita di masa kini punya pilihan jauh lebih luas. Kita punya rumah sakit; kita punya obat dan vaksin; kita punya alat canggih seperti Rontgen dan CT Scan. Lewat perjalanan ribuan tahun, kita telah belajar untuk menaikkan taraf hidup, bersama-sama menghadapi rintangan — perlahan-lahan, kita menjadi masyarakat yang tangguh dan resourceful.

Meminjam kalimatnya xkcd,

xkcd - sickness

——

Referensi:

 
[1] ^ Dickson, J.H., et. al. The omnivorous Tyrolean Iceman: colon contents (meat, cereals, pollen, moss and whipworm) and stable isotope analyses. Phil.Trans. R. Soc. Lond. B (2000) 355, 1843-1849

[2] ^ Facklam, M., Facklam, H. & Grady, S. (2004). Modern Medicines: The Discovery and Developments of Modern Drugs. New York: Facts on File

[3] ^ Capasso, L. (1998). 5300 years ago, the Ice Man used natural laxatives and antibiotics. Lancet, 352, 1864

[4] ^ Dorfer M., Moser, M., et. al. A medical report from the stone age?. Lancet, 354, 1023–25

[5] ^ Magner, L. (2005). A History of Medicine (2nd ed.). Boca Raton, FL: Taylor & Francis

[6] ^ Vesalius, A. (1543). De Humani Corporis Fabrica. Basel: Joannis Oporini

[7] ^ Esrey, S.A., Potash, J.B. et. al. (1991). Effects of improved water supply and sanitation on ascariasis, diarrhoea, acunculiasis, hookworm infection, schistosomiasis, and trachoma. Bulletin of the WHO, 69 (5): 609-621


Galois, Matematikawan di Tengah Revolusi

$
0
0

Kota Paris biasanya terkesan sebagai latar kisah romantis — meskipun demikian, hal itu tidak berlaku di pagi hari 30 Mei 1832. Di sebuah lapangan, seorang pemuda 20 tahun ditemukan terkapar, bersimbah darah, dengan luka tembak di bagian perut. Entah apa yang melatarinya. Oleh warga yang menemukannya, pemuda tersebut kemudian dibawa ke rumah sakit.

Sayangnya malang tak dapat ditolak. Hanya selang satu hari, si pemuda kemudian meninggal. Pada tanggal 31 Mei ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak banyak yang menyadari bahwa, di hari itu, Prancis kehilangan seorang putra terbaik.

Pemuda itu, yang tidak dihargai sepantarannya, adalah seorang cerdas cendekia. Aktivis politik radikal, pembela Revolusi Prancis, dan matematikawan kelas tinggi. Sosok jenius yang neurotik, romantis tapi keras kepala, dan idealis sampai akhir — pemuda itu bernama Évariste Galois.

Evariste Galois

Évariste Galois (1811-1832)

(via Wikipedia)

Beberapa orang mungkin asing dengan namanya. Siapa itu Galois, dan mengapa ia disebut jenius? Mengenai hal ini ada ceritanya lagi, dan akan kita singgung nanti. Untuk sementara cukuplah dikatakan bahwa dia membuka cakrawala baru di dunia matematika, yaitu, melalui temuan besarnya: Teori Galois.


 
Siapa itu Galois? Sejarah Keluarga
 

Évariste Galois (baca: Evarist Galwa) dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1811 di Bourg-la-Reine, sebuah daerah pinggiran selatan kota Paris. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Nicolas-Gabriel Galois, memiliki kepahaman filsafat dan studi klasik; di kemudian hari sempat terpilih menjadi walikota. Adapun ibunya — Adelaide-Marie — berasal dari keluarga praktisi ilmu hukum. Melengkapi keluarga ini adalah saudara laki-laki bernama Alfred, serta saudara perempuan Nathalie-Theodore. Meskipun demikian tidak banyak yang diceritakan tentang mereka.

Adalah hal yang menarik bahwa, biarpun orangtuanya terpelajar, Évariste tidak didaftarkan sekolah sampai umur 12. Adelaide-Marie lebih suka mendidik anaknya secara langsung di rumah, dan dialah yang mengajari Évariste kurikulum pendidikan dasar. Mulai dari baca-tulis, sastra klasik, filsafat, hingga aritmatika. Sebagai tambahan adalah pendidikan agama Kristen yang mereka anut.

Boleh dibilang bahwa kultur terpelajar ini membentuk kecenderungan Évariste pada dunia ilmu. Dan memang dia mempunyai bakat, terutama di bidang matematika. Ia dikabarkan telah membaca — dan mampu memahami — karya matematikawan terkenal Legendre dan Lagrange di usia 15. Hal yang menarik, sebab di keluarganya tak ada yang mendalami matematika. (Sebagaimana sudah disebut, ayah dan ibunya dari kalangan ilmu sosial)

Didikan keluarga ini kemudian membuat Évariste jadi menyerap pendirian orangtuanya, termasuk di antaranya soal politik. Sang ayah, Nicolas-Gabriel, adalah seorang liberal yang vokal. Pun demikian dengan sang ibu — biarpun tidak memiliki jabatan politik seperti suaminya. Perlahan tapi pasti, jiwa politik Évariste tergugah mendukung Pencerahan. Di kemudian hari dia akan menjadi aktivis politik di bidang ini.

 
Pendidikan, Sekolah, dan Politik: Lycée Louis-le-Grand
 

Memasuki usia 12, Évariste (selanjutnya kita sebut “Galois”) mendaftar masuk sekolah asrama bergengsi Lycée Louis-le-Grand. Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1563, dan telah menghasilkan alumni mentereng: sebagai contoh Voltaire dan Victor Hugo. Pun begitu, semua gengsi itu ibarat fatamorgana — pada akhirnya semua luruh dan lenyap di mata Galois. Di satu sisi ia mendapat pendidikan, akan tetapi di sisi lain, dia juga kelimpahan situasi kacau-balau yang penuh intrik.

Lycee Louis-le-Grand

Bangunan Lycée Louis-le-Grand di masa kini

(via Wikipedia)

Semester pertama Galois berlangsung pada tahun 1823. Pada masa itu Revolusi Prancis sudah lewat beberapa tahun, akan tetapi, bumbu perpecahan masih terasa di seluruh negeri. Begitu juga di Lycée Louis-le-Grand. Sebagai institusi yang menampung murid berbagai daerah, perdebatan dan perkelahian menjadi hal umum. Tidaklah aneh bahwa, menanggapi kecenderungan ini, pihak sekolah menerapkan disiplin yang spartan.

Belum lagi satu semester sudah terjadi kekacauan. Sekelompok murid yang berhaluan liberal mengadakan protes, menolak tradisi menghormati Raja Louis XVIII. Sebagai akibatnya 117 orang murid dikeluarkan. Galois sendiri, biarpun tidak ikut serta, menyaksikan hal itu sebagai ketidakadilan. Bisa ditebak: pada akhirnya ia menjadi pendukung militan Republik Prancis.

Adapun dari segi pendidikan, Galois tidak mengalami masalah. Dua tahun pertama ia lewati dengan lancar. Nilai-nilainya cukup bagus, kecuali bahwa ia harus mengulang mata pelajaran Retorika. Meskipun demikian, memasuki tahun ketiga, hampir semuanya jeblok — dia terlalu fokus pada matematika dan mengabaikan yang lain.

Guru wali muridnya sendiri, M. Vernier, berkomentar:

“[Semester ini] Kualitas kerja tidak konsisten, kemajuan kurang memuaskan. Kepribadian tertutup.”

Sebagaimana telah disinggung di atas, di usia 15 ia tenggelam membaca karya Lagrange dan Legendre. Hal ini — ditambah juga isu keluarga — membuat pendidikannya jadi terbengkalai. Boleh dibilang bahwa Galois menjalani sisa pendidikannya di Louis-le-Grand dengan setengah hati.

 
“No Great Genius Without Touch of Madness”
 

Tahun terakhir Galois di Louis-le-Grand boleh dibilang berupa mixed bag of result. Di satu sisi ia mulai mendalami matematika tingkat lanjut, bahkan hingga mengirim tulisan ke jurnal akademik (soal ini akan dibahas nanti). Meskipun begitu keberhasilan itu harus dibayar mahal. Seiring meningkatnya ketegangan politik di Prancis, keluarga Galois yang liberal mulai mendapat tekanan. Sebuah awal dari rangkaian peristiwa yang — dalam waktu singkat — akan memicu keambrukan mental Galois. Mengenai hal ini akan kita uraikan satu-per-satu.

Sebagaimana telah disebut di awal, ayah Galois adalah seorang walikota liberal. Ia terang-terangan menentang monarki, sentimen yang juga diamini sang putra. Kepopulerannya sebagai walikota Bourg-la-Reine ditunjang oleh kecerdasan bermain kata dan puisi; hal yang disenangi orang-orang sebagai hobi.

Sayangnya malang tak dapat ditolak. Melalui sebuah konspirasi, pendeta gereja lokal memalsukan tanda tangan Walikota; menyebarkan surat palsu bernada fitnah. Peristiwa ini menimbulkan skandal besar. Dipermalukan dan dituduh secara tidak adil, Nicolas-Gabriel akhirnya mundur dari jabatan. Ia memboyong keluarganya pindah, akan tetapi, sisa hidupnya tidak damai. Nicolas-Gabriel akhirnya bunuh diri pada tahun 1829.

Kepergian sang ayah menimbulkan dampak hebat pada psikologi Galois. Apabila kegemaran dengan matematika telah mendorongnya jadi singular dan tertutup, maka tewasnya Nicolas-Gabriel membuatnya jadi getir dan sinis. Di sinilah awalnya Galois menjadi sosok keras yang paranoid. Dalam dua tahun selanjutnya, ia akan dihinggapi neurosis, yang kemudian akan dilampiaskan dalam berbagai demonstrasi antipemerintah.

***

Guncangan batin Galois tidak berhenti sampai di situ. Belum lagi sang ayah dikuburkan, masalah baru muncul. Entah bagaimana, warga Bourg-la-Reine berhasil mengungkap fitnah yang dilakukan terhadap walikota. Fitnah yang berhubungan dengan politik. Pemakaman Nicolas-Gabriel tidak khidmat — suasana dipenuhi atmosfer perpecahan.

Mendadak pemakaman yang harusnya syahdu meletus jadi kerusuhan. Pendeta lokal yang dicurigai kaki tangan monarki dilempari batu dan cacian; menambah garam di atas luka yang belum kering. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Galois; menyaksikan semua itu sebagai putra orang yang hendak dikuburkan.

***

Adapun pukulan terakhir, dan paling keras, terjadi satu bulan pasca kematian Nicolas-Gabriel. Galois memutuskan ikut ujian masuk perguruan tinggi. Di tahun sebelumnya ia sudah mendaftar École Polytechnique, akan tetapi ia gagal karena kurang persiapan. Tahun ini adalah kesempatan terakhir: seseorang hanya boleh mendaftar dua kali. Apabila tahun ini juga gagal maka Galois harus mencari kampus lain.

Tak susah membayangkan bahwa Galois menjalani ujian dalam kondisi kacau. Belum lama ayahnya bunuh diri, lalu pemakaman berujung rusuh, dan kini dia harus ujian. Tidak mengherankan bahwa dia akhirnya gagal.

Akan tetapi Galois — barangkali karena mentalnya yang mulai terganggu — meledak marah. Sebuah versi sejarah mengatakan bahwa ia menganggap pengujinya terlalu bodoh, tidak mampu memahami kejeniusan dirinya; versi lain mengatakan bahwa ia sampai melempar penghapus papan tulis karena frustrasi. (lihat juga: Rothman, 1982)

Kegetiran Galois kelak akan semakin menjadi-jadi. Memasuki perguruan tinggi sekunder yang kalah bergengsi, ia akan menjadi seorang agitator militan. Pun begitu Galois tidak melupakan passion di bidang matematika — justru karya terbaiknya akan muncul di periode ini.

 
Publikasi Matematika Galois
 

Ditolak masuk kampus pilihan utama, Galois akhirnya terdampar di pilihan kedua, École Normale. Peristiwa ini terjadi di awal tahun 1830. Ironisnya, justru di kampus ini jiwa matematika Galois berkembang.

Setengah tahun sebelumnya, Galois telah mencoba mengirim manuskrip kepada Akademi Sains Prancis. Ini adalah formulasi awal dari Teori Galois — teori yang menjelaskan tentang solusi polinomial orde-5. Guru matematika Galois sendiri, Louis-Paul-Emile Richard, mengantarkannya pada matematikawan Cauchy.

Anehnya, entah karena apa, Cauchy tidak pernah mempresentasikan manuskrip tersebut di Akademi. Ada kemungkinan manuskrip itu hilang atau terselip. Meskipun demikian, sebuah versi mengatakan bahwa Cauchy memuji karya Galois, dan ingin agar karya tersebut disempurnakan demi nominasi Grand Prix des Sciences Mathematiques. Apapun yang terjadi, yang jelas manuskrip ini akhirnya terlupa dan terabaikan.

Melihat karyanya seolah tak diperhatikan, Galois memutuskan untuk merevisi dan mengirim langsung ikut Grand Prix. Sayangnya lagi-lagi ia tak beruntung. Manuskrip diberi ke matematikawan Fourier untuk dinilai, akan tetapi Fourier meninggal sebulan kemudian. Entah bagaimana di antara peninggalannya tak terdapat manuskrip Galois. Lagi-lagi, karya Galois terlupakan.

Di luar itu sendiri, sepanjang tahun 1830 Galois menuliskan tiga buah paper — dimuat dalam jurnal Ferrusac Bulletin — terkait teori angka dan persamaan. Masing-masingnya dengan judul terjemahan Inggris, “An analysis of a memoir on the algebraic resolution of equations”, “Notes on the resolution of numerical equations”, dan “On the theory of numbers.”

***

Adapun memasuki tahun 1831, Galois diminta untuk menulis ulang karya yang diberikan kepada Cauchy dan Fourier. Untuk kali ini, matematikawan Poisson yang melakukan penilaian, tetapi pada akhirnya ia pun menolak Galois — bukan karena salah, melainkan karena penjelasannya terlalu abstrak. Rekomendasinya adalah agar paper itu ditulis ulang/disempurnakan.

Mendengar ini Galois menulis revisi dan mengirim ulang. Akan tetapi dua bulan berlalu tanpa tanggapan balik. Galois, yang nampaknya semakin neurotik, menulis surat secara sarkastis:

“Saya akan sangat senang seandainya Anda bisa meminta Tuan Lacroix dan Poisson untuk mengumumkan: apakah mereka juga telah kehilangan manuskrip saya [seperti Fourier], atau mereka memang berencana mengumumkannya di Akademi.”

Sayangnya, lagi-lagi tak ada tanggapan. Untuk sementara waktu Teori Galois — karya besarnya — masih harus terkubur. Hal ini jelas tidak menyenangkan. Terlebih bagi Galois yang belum lama terguncang jiwanya.

***

Berbagai pengalaman buruk di atas, ditambah kecenderungan Galois yang makin paranoid, turut membentuk rasa sentimen terhadap otoritas. Hal ini akan semakin kentara dalam perjuangan politik di tahun terakhir hidupnya.

 
Hidup yang Kacau: Antara Revolusi, Penjara, dan Cinta
 

Sebelum membahas tahun terakhir Galois, ada baiknya kita mundur dulu sedikit, ke masa awal penerimaannya di École Normale. Periode ini bersinggungan dengan era produktivitas matematika Galois.

Sebagaimana telah disebutkan, Galois memiliki rasa sentimen terhadap otoritas. Contoh luapannya terjadi di sekolah Galois sendiri, École Normale — selama satu tahun dia bersilang pendapat dengan direktur Guigniault.

Guigniault, seorang konservatif, adalah dosen yang melarang mahasiswanya berpolitik. Galois, sebaliknya: jiwa aktivis yang dimilikinya sangat kuat. Tak pelak ia dan Guigniault sering berdebat. Puncaknya terjadi ketika Guigniault menerbitkan surat terbuka menyerang seorang guru berhaluan liberal. Galois, menanggapi perang pena, menulis dengan pedas:

“Segala ia perbuat menunjukkan pikiran yang sempit dan konservatisme yang berurat-berakar.”

Belum lagi lama di École, tetapi Galois sudah berani menantang. Guigniault tidak lagi menoleransi. Galois akhirnya dikeluarkan dari sekolah — dan untuk selanjutnya, harus berjuang menghidupi diri sendiri.

***

Masa-masa selanjutnya, sekaligus merupakan tahun terakhir hidup Galois, boleh dibilang yang paling kelam. Dia dipecat dari sekolah dan tak punya pekerjaan. Frustrasi akan penolakan kalangan ilmiah, ia tak lagi menghasilkan karya matematika. Galois kini mencari pelarian lewat aktivitas radikal dan minuman keras.

Tercatat bahwa Galois dua kali ditahan polisi karena berdemo. Yang pertama, ketika dalam sebuah acara perayaan, dia bersulang untuk Raja Louis-Philippe sambil menadahkan pisau. Hal ini dianggap sebagai ekspresi ancaman. Adapun yang kedua, ketika ia dengan nekat mengenakan seragam artileri dan berkeliling kota membawa senjata: setidaknya dua pistol, satu bedil, dan sebuah belati.

Jikalau tadinya ada orang meragukan militansi Galois — maka, lewat dua peristiwa di atas, kesan itu pupus sudah. Ia kini telah menjadi radikal yang seradikalnya. Tidak heran bahwa pada akhirnya ia divonis penjara enam bulan.

Ironisnya kemalangan Galois tidak berhenti sampai di situ. Menjelang dihukum penjara pun kabar buruk masih menimpanya. Revisi paper yang diserahkan pada Poisson dan Lacroix, yang berbulan-bulan tidak ada kabar, akhirnya resmi ditolak. Peristiwa ini merupakan pukulan besar akan harapan Galois mendapat pengakuan ilmiah.

***

Akan tetapi Galois tidak lama harus meringkuk di penjara. Awal tahun 1832, wabah kolera menyerang Prancis, dan Paris termasuk yang paling parah terkena. Adalah kebiasaan saat itu bahwa, apabila tahanan politik sakit, dibolehkan tahanan rumah di tempat penyembuhan. Galois mendapat keistimewaan ini — untuk selanjutnya ia akan tinggal di bangunan berjuluk Sieur Faultrier (“rumah kesehatan”).

Barangkali boleh dibilang bahwa ini sebuah peningkatan. Sebelum dipindah ke Sieur Faultrier, saudara perempuan Galois Nathalie-Theodore menuliskan kesan:

“Saya khawatir akan kesehatannya. [Évariste] begitu kelelahan . . . kepribadian yang kelam membuat dia tampak tua dari seharusnya. Matanya hampa seperti orang berumur 50 tahun.”

Dan memang kepindahan itu memberi nilai positif. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Galois menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada matematika atau idealisme Revolusi. Dia jatuh cinta pada putri seorang dokter di Sieur Faultier — seorang gadis bernama Stephanie Potterin du Mottel.

Sayangnya, sebagaimana banyak hal lain di kehidupan Galois: cinta ini pun mengalami penolakan. Stephanie yang awalnya berteman baik dengan Galois perlahan menarik diri. Entah apa alasannya — barangkali disumbang oleh temperamen Galois. Bagaimanapun akhirnya hubungan itu kandas.

Galois, menyesali hal ini, menulis pada sahabatnya Chevalier:

“Bagaimana mungkin saya bisa menenangkan diri, sementara saya telah menghabiskan — dalam sebulan — sumber kebahagiaan terbaik seorang pria. Sementara saya tersuruk tanpa kebahagiaan dan harapan…”

 
Akhir Sang Jenius: Duel dan Surat Legendaris
 

Selepas hubungannya dengan Stephanie, Galois semakin tenggelam dalam politik. Dari dalam tahanan ia berkoordinasi dan mendiskusikan ide-ide progresif. Meskipun begitu, bulan Mei telah tiba, dan masa hukuman telah habis. Galois kembali menjadi orang bebas.

Tiba-tiba saja, tanpa latar belakang jelas, Galois menulis surat pada teman-temannya: bahwa ia telah ditantang untuk berduel menggunakan pistol.

Dua orang patriot telah menantangnya, tulis Galois, lantas melanjutkan: “sebuah tantangan yang tak bisa saya tolak . . . bahwa ini di luar keinginan saya, dan saya tidak punya jalan lain.”

Terdapat beberapa teori terkait latar belakang duel Galois. Satu versi meyakini Galois dijebak oleh rezim pemerintah; versi lain mengatakan duel itu terkait masalah wanita. Versi lain lagi menyatakan bahwa Galois hendak dijadikan martir politik: sebagai aktivis radikal, kematiannya akan berguna menggelorakan simpati. Mengenai hal ini para sejarahwan tidak sepakat, dan kemungkinan, tidak akan pernah sepakat. (lihat juga: Rothman, 1982)

Terlepas dari penyebabnya, satu hal sudah jelas: di pagi hari 30 Mei 1832, Évariste Galois pergi ke lapangan terbuka untuk duel pistol. Menarik untuk dicatat bahwa dia begitu pesimis — begitu yakin akan mati dalam duel tersebut. Yang mana, hal ini memicu sebuah tindakan legendaris:

Galois, menyadari bahwa akhir hidupnya sudah dekat, menuliskan semua teori matematikanya dalam satu malam — berbentuk surat — dan menitipkan pada sahabatnya Chevalier.

“Sampaikan pada Jacobi atau Gauss, agar memberikan pendapat terkait teorema ini… bukan tentang benar atau salah, melainkan apakah teorema ini berguna. Mudah-mudahan kelak ada orang tertarik mengurai kekacauan ini [terkait angka dan bilangan].”

Surat tersebut sekaligus mengandung catatan tentang riset terbaru Galois, yang tidak terdapat dalam publikasi sebelumnya. Kelak lembar-lembar itu akan diperiksa matematikawan Liouville dan diterbitkan dalam Journal de Mathématiques Pures et Appliquées — sebelas tahun setelah kematian penulisnya.

Sebagaimana kita tahu, Galois akhirnya meninggal. Akan tetapi kerja kerasnya berbuah manis: warisan intelektualnya kemudian diakui, dan dapat bertahan hingga kini. Menarik membayangkan bahwa Galois pergi berduel dengan perasaan bittersweet, bahwa dia tahu kebenaran yang belum ada orang lain tahu, sementara tak ada harapan dia selamat — akan tetapi, itu cerita lain untuk saat ini.

 
Penutup: Sang Matematikawan Kontradiktif
 

Penulis Mario Livio, yang karyanya banyak saya rujuk membuat tulisan ini, punya deskripsi menarik tentang Galois — barangkali salah satu sosok paling menarik di jagat matematika. Kutipan dalam bahasa aslinya sebagai berikut:

“What can you say about a twenty-year-old boy who died? That he was a romantic, and a genius, that he loved mathematics. And he succumbed to misunderstanding and self-destruction.”

Bahwa Galois sosok jenius, hal itu sulit disangkal. Di usia duapuluh tahun ia membuka cakrawala baru di bidang matematika. Sumbangannya bernilai signifikan di bidang teori grup dan simetri — di samping sentuhan sana-sini terkait teori angka. Hanya saja, karena satu dan lain hal, ia tidak dapat bersumbangsih lebih lama. Akhirnya usia juga yang membatasinya.

Akan tetapi, yang membuat Galois menarik bukan semata karena dia jenius — justru sebaliknya. Yang membuat Galois istimewa adalah berbagai kontradiksi inheren dalam dirinya. Seorang matematikawan yang berpolitik; romantis yang galak; jenius yang hampir gila didera penderitaan. Hampir sepanjang hidupnya dia ditolak karena “nggak pernah nyambung” — sebab memang begitu banyak sisi yang dimiliki. Semua itu berkontribusi membentuk pribadi “Galois” yang unik.

Barangkali satu hal yang perlu ditekankan adalah: betapapun Galois itu cerdas, bukan berarti dia tidak bodoh. Benar bahwa dia mampu menghasilkan kontribusi ilmiah yang besar. Akan tetapi dia juga mempunyai sisi ketololan tersendiri: dengan sengaja memancing dipecat dari sekolah; hidup luntang-lantung menyalahgunakan alkohol; langganan keluar-masuk penjara. Ditambah lagi bahwa ia sepertinya menderita gangguan jiwa: selepas kematian ayahnya, Galois adalah seorang getir, pengumpat, dan paranoid.

Sebagaimana kenalan Galois, matematikawati Sophie Germain, berkomentar:

“Dia tidak punya uang, begitu pula ibunya tidak begitu kaya. Sesudah kembali ke rumah dia melanjutkan kebiasaan mengumpat dan meradang . . . Orang bilang dia akan menjadi gila, dan saya kuatir itu benar adanya.”

Mungkin ada benarnya kata Seneca, filsuf Yunani dari aliran Stoik. “There is no great genius without a touch of madness…”

 

 
——

Referensi:

 
Kleiner, I. (2007). A History of Abstract Algebra. Boston, MA: Birkhauser

Livio, M. (2005). The Equation That Couldn’t Be Solved: How Mathematical Genius Discovered The Language of Symmetry. New York: Schuster & Schuster

Ronan, M. (2006). Symmetry and The Monster: One of the greatest quests in mathematics. London: Oxford University Press

Rothman, T. (1982). Genius and biographers: the fictionalization of Evariste Galois, American Mathematics Monthly 89, 84-106


The Wibbly-wobbly Tapestry of Being Human

$
0
0

— Tulisan bersifat umum untuk menandai kembali ngeblog

 
Ada sebuah buku yang, kalau saya boleh jujur, berperan sangat besar membentuk diri saya yang sekarang. Bukunya sendiri terbitan tahun 1983, jadi secara umur, masih lebih tua daripada saya. Membayangkannya saja membuat saya rikuh — jadi merasa kecil di tengah perjalanan waktu, begitu. But I digress.

Anyway, yang saya maksud di sini adalah sebuah pengantar filsafat, yang sampulnya bisa Anda lihat di bawah ini.

manusia-multi-dimensional-cover

“Manusia Multi Dimensional”, kumpulan esai terbitan Unika Atmajaya

Boleh dibilang bahwa ini buku filsafat pertama yang saya baca proper, dari awal sampai akhir, dan bertindak sebagai gerbang masuk saya ke sana. Dalam sekejap saya menyadari bahwa filsafat itu tidak mesti mbulet dan penuh jargon, melainkan bisa dijelaskan secara sederhana dan menarik. Kalau saja semua buku filsafat seperti ini! Barangkali saya akan tertarik ‘berkenalan’ lebih awal.

Melalui buku ini saya belajar bagaimana perjalanan Albert Camus memaknai hidup. Kemudian tinjauan Susanne Langer tentang manusia yang mempersepsi simbol dan seni; juga sejarah Karl Popper menyempurnakan metodologi ilmiah. Boleh dibilang bahwa, biarpun sekadar introduksi, buku ini berdampak besar membentuk cara berpikir saya.

Pun demikian, buku ini menjadi amat spesial bagi saya, bukan semata karena memperkenalkan ilmu filsafat — melainkan karena mengajari sebuah ide. Ide yang tertulis dengan jelas di sampulnya. “Manusia Multi Dimensional.” Manusia itu tidak pernah satu dimensi. Dia terbagi jadi bagian-bagian yang saling melengkapi.

Mengenai hal ini jelas terpapar dalam setiap babnya. Bahwa manusia adalah makhluk ilmiah (Karl Popper), tetapi di sisi lain, juga tak bisa lepas dari seni dan simbolisme (Susanne Langer). Bahwa manusia dibentuk oleh dunia dan sejarahnya (Ortega y Gasset), tetapi juga “dipipihkan” oleh modernitas (Marcuse). Pada akhirnya ialah bahwa manusia selalu berusaha memaknai hidup. Baik secara spiritual (Eliade, Jaspers) maupun rasional (Nietzsche dan Camus).

Boleh dibilang bahwa, di titik tersebut, saya menyadari betapa kompleksnya sebuah situasi “menjadi manusia”. Manusia tidak mungkin cuma punya satu sisi: apakah itu ilmiah saja, atau kesenian saja, atau malah filsafat saja! Ada banyak dimensi yang turut berperan. Pada akhirnya semua saling berinteraksi, membentuk berbagai macam pribadi. Barangkali ada benarnya sebuah kutipan, “tidak ada dua orang yang sama”. Sebab memang variabelnya cukup banyak.

“You are a member of a social world on a planet containing about 7 billion people. This social world is filled with paradox, mystery, suspense, and outright absurdity.” Demikian kata buku pengantar psikologi yang saya baca. Saya pikir, itu ada benarnya! :P

 
Lebih Lanjut: Warisan Beragam Sisi
 

Kita tinggal di planet Bumi. Mengenai hal ini, semua sudah tahu. Yang jarang disadari adalah betapa semua hal yang timbul di atasnya saling berkait dan berkelindan. Termasuk di antaranya adalah perkara multi-dimensi yang sedang kita bahas.

Di zaman Yunani Kuno, misalnya, ilmu matematika tumbuh berkait dengan mistisisme religius. Pythagoras meyakini alam semesta berjalan harmonis, yang mana harmonisme itu terpancar lewat bilangan rasional. Mempelajari matematika ibaratnya berusaha menyatu dengan ‘jalan pikiran’ alam. Semua yang ada di alam dapat dijelaskan lewat skala rasional — sebagai contoh 2:1, 4:3, dan seterusnya. (Belakangan keyakinan ini terbukti salah)

Kemudian terdapat juga sosok Zeno dari Elea. Melalui berbagai paradoks dia mengetengahkan persoalan matematika yang berbumbu filsafat. Di kemudian hari Rene Descartes menghubungkan matematika dengan filsafat dan teologi. Lalu mungkin saya juga harus menyebut para ahli geometri era Renaissance. Bermodalkan kemampuan matematika yang mumpuni, mereka menciptakan karya seni dan arsitektur hebat yang bertahan sampai sekarang. Uniknya karya mereka banyak bertema keagamaan — hal yang lagi-lagi menunjukkan perhubungan antara matematika dan kultur.

Il Duomo di kota Firenze, Italia. Circle, circle, little square…

(via Wikipedia)

Tentu, contoh-contoh persilangan sains, kultur, dan filsafat tidak cuma terjadi di Eropa. Hampir seluruh bagian dunia punya contoh yang mewakili. Bangsa Maya, misalnya, memiliki kemampuan olah akustik luar biasa untuk keperluan penyembahan. Arsitektur Islam mempunyai corak geometri quasicrystal, sebab oleh agama dilarang menggambar makhluk hidup. Di Jepang terdapat sangaku — seni ornamen di mana lingkaran dan segitiga mengacu pada aturan matematik. Benar-benar luar biasa! :)

Sampai di sini saya yakin Anda menangkap maksud saya. Planet Bumi, yang kita tinggali di atasnya, sangat penuh warisan multi-dimensi seperti di atas. Filsafat bertemu matematika; matematika bertemu kebudayaan; karya seni dipengaruhi agama… Semua itu menunjukkan bahwa dalam perjalanannya manusia tidak pernah satu dimensi. Selalu ada berbagai aspek — dan mana lagi petunjuk yang lebih baik selain lewat sejarah? :mrgreen:

Pada akhirnya semua saling berkait, bersilang, dan berinteraksi. Saya pikir, agak kurang tepat kalau orang lebih suka punya satu sisi saja. Apakah itu sekadar sisi ilmiah, filsafat, atau melulu bicara seni — sebab, ya, kenyataannya “menjadi manusia” itu adalah hal yang kompleks. Because from a non-linear, non-subjective viewpoint, it’s more like wibbly-wobbly, timey-wimey tapestry of… everything.

allons-y (via doctorwhospain)

Allons-y!

(via doctorwhospain)

 
Mengapa Tertarik Mempelajari?

 
Saya adalah orang yang kuliahnya di bidang teknik (biarpun teknik yang banyak fisikanya, tapi itu cerita lain). Mengenai hal ini, sebagian pembaca sudah tahu. Pun demikian saya hendak bercerita sedikit tentang latar belakang ini.

Biarpun by and large edukasi saya insinyur, saya punya kecenderungan menyukai sains in general. Jadi ada kalanya saya nimbrung debat evolusi atau membicarakan bias psikologi. Hal-hal ini tak ada hubungannya dengan teknik maupun fisika. Meskipun demikian banyak hal menarik yang saya pelajari darinya.

Misalnya, waktu seorang mbak di twitter bertanya, kenapa sih saya tertarik psikologi? Jawabannya sendiri sederhana. Bagi saya psikologi itu adalah jalan untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain. Sedikit-banyak belajar memetakan ketakutan dan takhayul. Memahami celah kesalahan berpikir, lalu dari situ memperbaikinya. Hitung-hitung juga belajar jadi pendengar curhat yang efisien — tapi itu sebaiknya tak dibahas di sini! :P

Dengan cara yang sama, baca-baca cabang ilmu lain juga menarik — biarpun jelas saya takkan pernah jadi ahlinya. Lewat evolusi saya mendapat gambaran asal mula keragaman makhluk hidup di bumi. Bagaimana prosesnya, dan betapa setiap makanan yang kita makan pun dikembangkan memanfaatkan evolusi. Persilangan ayam ras, padi varietas unggul, dan tomat yang ada di pasar: for once, I can understand how it works! Dan itu adalah perasaan yang luar biasa.

There are really more things in heaven and earth than are thought of in our wildest dreams. Dan saya beruntung punya waktu, kesempatan, dan resource untuk menikmatinya.

Zaman sekarang di internet, orang bisa membaca e-book dan jurnal baik ilegal maupun legal untuk belajar. Materi kuliah seperti slide dan lecture note, bisa diunduh; jurnal open access berkualitas seperti PLoS juga ada. Arsip Royal Society bisa dibaca gratis untuk umum, dan lain sebagainya. Saya sendiri kadang beruntung ketemu mirror artikel berbayar JSTOR dan Elsevier, tapi soal ini baiknya tak dibicarakan…

 
Penutup: Sebuah Catatan Perjalanan
 

Sekitar tahun 2007, blogosphere WordPress Indonesia sempat heboh oleh debat evolusi-kreasionisme. Pada waktu itu Harun Yahya mengajukan permohonan legal agar WordPress diblok di seluruh Turki. Sebabnya beliau merasa banyak blog melakukan pencemaran nama baik, sedemikian hingga WordPress harus bertanggung jawab.

Hal ini memicu kontroversi. Sebab, di samping membungkam kebebasan berbicara, Harun Yahya punya reputasi menekan ilmuwan dan akademisi pro-evolusi dengan cara serupa. Otomatis timbul pertanyaan: apa mungkin beliau sedang berbuat serupa pada blogger WordPress?

Dalam waktu sebentar suasana panas merembet. Beberapa hari seorang rekan menulis latar belakang Harun Yahya, komentar blognya diserbu troll anti-evolusi. Bahwa Harun Yahya itu benar, penulis blognya tidak tahu apa-apa, dan seterusnya. Mengenai kelanjutannya sendiri cukup panjang — meskipun begitu, cukuplah dikatakan bahwa sejumlah posting akhirnya mendapat ratusan komen.

rqc-hy

Remember, remember, August of 2007

Ada banyak klaim yang dilempar pada waktu itu. Kalau Anda akrab dengan debat evolusi-kreasi, pasti bisa menebak. Mulai dari mengatakan “evolusi sudah runtuh”, “mengapa masih ada monyet”, dan seterusnya. Hal yang ironis. Sebab, jika orang hendak menelusuri, akan tahu bahwa keberatan itu aslinya palsu. Dibuat-buat oleh Harun Yahya dan rekannya sesama kreasionis.

Sebagaimana sudah disebutkan, saya bukan seorang pakar. Saya hanya seorang yang ‘hobi’ belajar, mencari tahu ini-dan-itu. Semua yang saya tuliskan, baik di sini maupun di blog lama ibaratnya sebuah catatan perjalanan. Saya bukan seorang guru, dan kelihatannya, takkan pernah jadi guru. Akan tetapi, apabila ada satu hal yang saya pelajari selama lima tahun terakhir: itu adalah bahwa banyak orang Indonesia bisa mengambil manfaat dari catatan yang saya buat.

Dimulai dari ribut-ribut perkara evolusi di atas, lima tahun berselang, kesan yang ditimbulkannya masih sama. Ada hal-hal yang lebih baik jika saya tulis dan bagikan. Betapapun mungkin saya malas atau berat — hal yang sering terjadi — lebih baik jika saya menuliskannya. To report me and my cause aright, to the unsatisfied.

Berapa banyak yang akan tertarik baca, saya tidak tahu. Mungkin penghuni internet lebih suka berdebat soal sepakbola dan politik; soal wasit dengan dua kartu merah dan gol offside, atau mantan walikota yang sekarang jadi gubernur. But it’s okay. I just want to share, and hopefully you can enjoy it too.

Bahwa pada akhirnya orang mungkin berkata, “kamu bukan ahlinya, tahu apa kamu” dan seterusnya, itu pun tidak mengapa. Saya di sini hanya berperan membagi beserta referensinya. Tidak semua orang suka berkeliaran membaca isi jurnal, mengunduh buku elektronik dan membacanya sampai habis. Tidak semua orang suka mengunduh majalah ilmiah dan berkeliaran di domain research blogging. Saya kebetulan beruntung suka dan bisa melakukannya. So here it is! My blog, where you can read about my journey.

Mudah-mudahan Anda menikmatinya sebagaimana saya juga menikmati mempelajarinya.

Dan dengan demikian, saya pun resmi kembali ngeblog. Hore! Untuk pembaca lama, selamat datang kembali. Dan untuk pembaca baru (kalau ada): welcome aboard! :D


Tentang Alkimia dan Bapak Jabir

$
0
0

Semenanjung Arabia, abad kedelapan Masehi, adalah tempat dan waktu yang menarik, terutama di bidang sejarah ilmu. Pada masa ini peradaban Romawi Kuno mulai lemah dan runtuh; kekuasaannya tinggal bersisa di wilayah Timur. Sementara di Asia Barat Islam sedang tumbuh pesat. Boleh dibilang bahwa ini masa transisi negara adidaya. Secara politik dan sejarah ini saja sudah menarik. Meskipun demikian, untuk tulisan kali ini, kita akan lebih fokus pada dampaknya yang terkait ilmiah.

Sebagaimana masih berlaku hingga saat ini, tidak ada negara adidaya yang maju tanpa didukung ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga berlaku pada Kerajaan Romawi. Selama berabad-abad Romawi telah menampung berbagai ilmu pengetahuan Yunani dan Mesir Kuno. Oleh karena itu mereka mempunyai kemajuan teknik yang mumpuni. Mulai dari arsitektur, pembuatan saluran air, hingga larutan semen dan gelas kaca sudah mereka kuasai. Hal itu kemudian tercermin dalam berbagai peninggalan arkeologi. (Taylor, 1957)

botol kaca romawi, courtesy metmuseum

Contoh kemajuan teknologi Romawi: Botol kaca, dari abad ketiga Masehi

(courtesy Metropolitan Museum of Art)

Pun demikian, Kerajaan Romawi sudah berdiri selama berabad-abad. Adalah natural bahwa kemudian tiba saatnya mengalami kemunduran. Romawi Barat sudah cukup amburadul menjelang abad keenam. Romawi Timur — yang umum disebut Byzantium — melestarikan peninggalan Barat tersebut sebisanya. Akan tetapi memang kebangkitan Islam begitu cepat di Asia Barat, sedemikian hingga mereka jadi tokoh utama sejarah. Byzantium sendiri akhirnya terpaksa jadi peran pembantu.

Seiring berkembangnya kekuatan politik, kaum Muslim tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Justru di bidang ini mereka sangat aktif. Lewat usaha para sarjana berbagai literatur Romawi dicatat dan diterjemahkan. Mulai dari filsafat, ilmu alam, hingga medis dan kimia disalin dalam papirus bahasa Arab. Perlahan tapi pasti ilmu pengetahuan Romawi mulai masuk ke dunia Islam.

Adapun di antara para sarjana tersebut adalah Pangeran Khalid Ibnu Yazid. Khalid bukanlah ilmuwan profesional, akan tetapi, dia punya hobi mempelajari kimia. Oleh karena itu secara khusus dia mendukung penerjemahan literatur kimia Romawi. Dukungan dari bangsawan inilah yang, di abad selanjutnya, memuluskan kelahiran bidang ilmu yang disebut “alkimia”.

 
Alkimia: Sejarah dan Kelahirannya
 

Jika Anda suka nonton film, atau pernah baca novel yang bawa-bawa sosok alkemis, pasti pernah mendengar dua hal berikut: “bisa mengubah logam jadi emas”, dan “bisa membuat larutan hidup abadi”. Tesis yang sangat populer ini tidak lain buah pikiran orang-orang Yunani Kuno. Selama berabad-abad banyak pemikir tertarik mewujudkannya. Termasuk di antaranya, para ilmuwan Arab.

Hal ini tidak mengherankan. Sebab, sebagaimana sudah disebut: literatur ilmiah Arab sejatinya campur-baur warisan Mesir, Yunani, dan Romawi. Di satu sisi pengetahuan Arab dipengaruhi India dan Persia. Akan tetapi di sisi lain, masuknya pemikiran Mediterania benar-benar jadi angin segar bidang filsafat dan teknologi. Sedemikian hingga pandangan ilmiah Islam banyak diadaptasi dari sana. (Holmyard, 1931, hlm. 44-49)

Dalam suasana intelektual itulah, muncul sosok revolusioner bernama Jabir Ibnu Hayyan. Kelahiran Persia yang belakangan menetap di Kufah, Jabir adalah seorang multiwaskita. Dalam hidupnya dia mempelajari astronomi dan geografi, meskipun begitu, minat terbesarnya adalah bidang kimia.

Jabir Ibn Hayyan, alkemis Arab

Jabir Ibnu Hayyan, sebagaimana digambarkan dalam manuskrip abad pertengahan

(via Wikipedia)

Layak untuk dicatat bahwa Jabir orang pertama yang mendalami alkimia secara sistematis, biarpun masih tak lepas dari mitos. Jamaknya ilmuwan Arab segenerasinya, Jabir percaya pada doktrin transmutasi (membuat emas dari logam). Demikian juga dia berpendapat bahwa eliksir hidup abadi itu ada — hanya belum ketemu saja resepnya. Meskipun begitu dia mempunyai pendekatan gaya baru.

Alih-alih mengacu takhayul mistik-religius, sebagaimana kaum Hermetik pra-Islam, Jabir lebih fokus mencatat pekerjaan di laboratorium. Boleh dibilang dia abai pada elemen spiritual dan “penyempurnaan-diri” buatan Yunani dan Mesir. Bagi Jabir yang terpenting adalah eksperimen: bagaimana mencampur, memisahkan, dan meleburkan materi. Perkara mistik-religius harus dikesampingkan. (Winter, 1933; Holmyard, 1931, hlm. 56)

Dalam kalimat Jabir sendiri,

The first essential in chemistry is that thou shouldest perform practical work and conduct experiments, for he who performs not practical work nor makes experiments will never attain to the least degree of mastery. But thou, O my son, do thou experiment so that thou mayest acquire knowledge.

Scientists delight not in abundance of material they rejoice only in the excellence of their experimental methods.

 
(Holmyard, 1931, hlm. 60)

Walhasil, tidak berlebihan jika Jabir dianggap pelopor ilmu kimia paling awal. Lebih jauh lagi: dia adalah alkemis empiris-rasional pertama. Jabir-lah yang bertanggung jawab membuat “Alkimia” jadi disiplin ilmu serius. Bukan lagi racik-meracik yang melibatkan mistik spiritual, melainkan murni percobaan.

Pembaca modern mungkin mengernyit melihat Jabir — seorang ilmuwan hebat — mempercayai mitos transmutasi dan eliksir hidup abadi. Meskipun begitu kita harus ingat bahwa Jabir adalah produk generasi sezamannya. Betapapun motif utamanya menciptakan emas dari logam, akan tetapi jiwanya adalah jiwa ilmuwan. Lebih lagi dalam pencariannya ia mengutamakan semangat ilmiah dan percobaan.

Menariknya adalah, biarpun motifnya questionable, tetapi metode dan penemuan Jabir sangat relevan dengan kita di zaman modern. Bahkan kalau boleh dibilang: jika tidak ada Jabir, maka takkan ada ilmu kimia yang kita kenal. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Buah Karya Jabir: Dari Eksperimen sampai Mineral
 

Para sejarawan umumnya sepakat bahwa Jabir berperan besar membuat “buku aturan” ilmu alkimia. Salah satu yang krusial adalah metode eksperimen. Mulai dari penyulingan, penyaringan, hingga kristalisasi tidak luput dicatat dan diuraikan. Demikian juga dengan kalsinasi dan sublimasi. Jabir adalah ilmuwan yang tekun dan berorientasi-praktek — dalam hal ini, dia tak berbeda dari ahli kimia zaman sekarang.

Meskipun begitu, apakah berbagai metode di atas temuan Jabir, agak kurang jelas. Dia sendiri tak pernah mengklaim penemuan. Akan tetapi Jabir tetap spesial karena dia yang pertama menguraikan semuanya. Catatannya amat detail dan runtut. Hingga berabad-abad kemudian, buku teksnya masih jadi rujukan di Arab dan Eropa.

Geber's Lab Equipments

Ilustrasi: Berbagai peralatan eksperimen di era Jabir

(via Wikipedia)

Yang lebih terang adalah penemuan Jabir terkait mineral. Mengenai hal ini tidak ada keraguan. Jabir dikreditkan sebagai orang pertama yang mengisolasi unsur arsenik, belerang, dan raksa. Lebih lagi Jabir adalah seorang perajin: lewat kepahaman ilmiah dia menciptakan produk-produk praktis seperti pewarna pakaian, tinta fluoresens, pelapis antikarat, dan minyak vernis. (Knight, 2001; Holmyard 1931, hlm. 59)

Begitu hebatnya pengaruh Jabir, sedemikian hingga di abad ke-13 Masehi terdapat penulis alkimia yang menjiplak namanya (ini salah satu trik supaya buku banyak dicetak dan dibaca). Karena identitasnya tak jelas di masa kini penulisnya disebut Pseudo-Jabir. Beliau tidak berhubungan dengan pokok bahasan kita, meskipun begitu, tak ada salahnya jika disinggung barang sedikit.

Pseudo-Jabir memiliki empat buah buku alkimia yang — secara aneh — cuma ada versi Latin, tetapi tidak ada naskah Arabnya. Oleh karena itu para ahli menduga nama “Jabir” di situ adalah pemalsuan. Meskipun begitu Pseudo-Jabir memiliki kepahaman alkimia mumpuni. Manuskripnya menjelaskan tentang asam-asaman seperti asam sulfat, asam nitrat, dan aqua regia. Pengetahuan ini jelas menunjukkan otak yang brilian. Amatlah misterius bahwa, alih-alih membanggakan diri, si penulis malah mengatributkan pada Jabir. (Murray, 2001)

Apa alasannya dia berbuat begitu, kita tidak tahu. Akan tetapi itu menunjukkan betapa luhurnya nama dan status Jabir di dunia alkimia, sedemikian hingga karya besar pun masih diatributkan padanya.

 
Penutup: Usaha Sains yang Layak Dihargai
 

Sebagaimana sudah dibahas, Jabir adalah alkemis yang berangkat dari tradisi Yunani Kuno. Mengenai hal ini sudah jelas. Ketika Romawi melemah, para sarjana Muslim giat melakukan penerjemahan, akan tetapi sains Romawi sendiri aslinya warisan Yunani dan Mesir. Akibatnya bisa ditebak: iklim intelektual Islam ikut terpengaruh. Bukan hal yang aneh bahwa, pada akhirnya, banyak ilmuwan Muslim menyerap pemikiran Yunani.

Termasuk yang kena pengaruh itu adalah ilmu alkimia. Bahkan sosok empiris-rasional seperti Jabir Ibnu Hayyan pun ikut terpaku pada doktrin purba. Mulai dari mengubah logam jadi emas, ramuan panjang umur, hingga (yang belum disebut) alam semesta terdiri atas empat elemen. Di masa kini kita cenderung menganggap remeh. Akan tetapi, sebagaimana sudah saya tuliskan: betapapun hebatnya para ilmuwan, mereka tetaplah produk zaman mereka hidup. Sangat tidak adil menilai mereka dari perspektif modern. Yang bisa dinilai, barangkali, hanyalah seberapa jauh mereka membawa kemajuan dibanding sekitarnya.

Dalam hal ini Jabir harus dihargai sebagai sosok progresif. Biarpun hidup di dunia yang takhayulan, akan tetapi mampu merumuskan cara pandang ilmiah. Mencoba memperhatikan lewat kacamata eksperimen. Merumuskan teknik-teknik kimiawi yang hingga kini masih relevan, di samping juga menemukan unsur-unsur arsenik, sulfur, dan raksa. Ini, kalau saya boleh menilai, adalah pencapaian yang tidak kecil.

Tentu, kita harus mengakui bahwa motif eksperimen Jabir — dan alkemis pada umumnya — sangat mengawang dan tidak ilmiah. Kasar-kasarnya: masa iya sih pernah ada batu bertuah dan larutan hidup abadi? Akan tetapi yang menarik bukan itu. Menariknya adalah, biarpun landasannya tidak jelas, akan tetapi pemikirannya sistematis. Lebih lagi alkimia memiliki manfaat praktis keseharian, di samping juga menginspirasi sains modern. Benar-benar luar biasa!

Barangkali cukup mengena kalau dirangkum meminjam kalimat Shakespeare: “Though it be madness, yet there is method in it.” Ajaib bukan? :mrgreen:

Alkimia mungkin terasa kacau-balau dan bertabur mitos, akan tetapi, dia mewakili era penting perjalanan sains kita. Dan itu adalah hal yang layak dihargai. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Inggris, Francis Bacon:

“And yet surely to alchemy this right is due, that it may be compared to the husbandman whereof Æsop makes the fable; that, when he died, told his sons that he had left unto them gold buried underground in his vineyard; and they digged over all the ground, and gold they found none; but by reason of their stirring and digging the mould about the roots of their vines, they had a great vintage the year following: so assuredly the search and stir to make gold hath brought to light a great number of good and fruitful inventions and experiments, as well for the disclosing of nature as for the use of man’s life.”

 

——

 
Referensi:

 
^ Bacon, F. (1605/1893). The Advancement of Learning, IV.11. Coventry: Cassell & Co.

^ Holmyard, E.J. (1931). The Makers of Chemistry. Oxford: Clarendon Press

^ Knight, J. (2001). Jabir Ibnu Hayyan (Geber). dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 297). Farmington Hills, MI: Gale Group

^ Murray, S.R. (2001). The Alchemy of Mineral Acids. dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 281-283). Farmington Hills, MI: Gale Group

^ Taylor, S.F. (1957). A History of Industrial Chemistry. London: William Heinemann, Ltd.

^ Winter, G.E. (1933). Alchemy and The Alchemists. Bull Med Libr Assoc. January; 21(3): 79–88



Di Tengah Samudra Bintang

$
0
0

Pada tahun 1584, seorang pastor pengembara bernama Giordano Bruno mengumumkan sebuah ide spektakuler, kalau tidak boleh dibilang amat-sangat radikal. Baru empat dekade lewat sejak Nicolaus Copernicus menerbitkan gagasan bumi bergerak mengelilingi matahari, menimbulkan gonjang-ganjing intelektual di seluruh Eropa. Meskipun demikian Bruno melangkah lebih jauh: meneruskan pendapat bahwa Planet Bumi tidak istimewa, melainkan sekadar satelit mengelilingi matahari, Bruno menyatakan bahwa terdapat milyaran bintang mirip-matahari di alam semesta, dan masing-masing mempunyai planet yang mengitarinya.

Ide itu dipaparkan dalam buku berbahasa Italia, De l’infinito universo et mondi, dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi On the Infinite Universe and Worlds.

Thus is the excellence of God magnified and the greatness of his kingdom made manifest; he is glorified not in one, but in countless suns; not in a single earth, a single world, but in a thousand thousand, I say in an infinity of worlds.

 
(Waller, 1950; cetak tebal ditambahkan)

Sebagaimana bisa dilihat gagasan Bruno amat melampaui zaman. Belum lama Copernicus menyatakan matahari sebagai pusat, kemudian muncul pendapat bahwa tatasurya ada banyak. Tak bisa tidak, sepak-terjang Bruno menimbulkan kecurigaan dari Gereja Katolik.

Siapa itu Bruno, dan mengapa ia begitu berani?

Giordano Bruno - statue

Giordano Bruno (1548-1600)

(gambar diolah dari Wikipedia)

 
Sekilas Pendahuluan: Astronomi di Era Renaisans
 

Pada tahun 1543, di tahun yang sama dengan kematiannya, Nicolaus Copernicus menyetujui penerbitan buku De Revolutionibus Orbium Coelestium. Buku ini tidak lain penjelasan akan teori heliosentris buatannya. Karya yang spesial, sebab menyediakan alternatif kosmologi selain yang diakui Gereja. Apabila pendapat umum menyatakan matahari bergerak mengelilingi bumi, maka Copernicus menyatakan: justru Bumi yang bergerak, sementara matahari diam di pusat.

Penemuan Copernicus berangkat dari ajaran ilmuwan Yunani, Aristarchus dari Samos. Lewat matematika dan perhitungan, Copernicus mengemas kosmologi gaya baru. Di kemudian hari dia akan dikenang sebagai pelopor ilmu astronomi modern.

Meskipun begitu, tidak banyak yang tahu bahwa Copernicus sebenarnya sudah selesai menulis De Revolutionibus sejak dekade 1530. Dua temannya, Rheticus dan Andreas Osiander, bertahun-tahun mendorong agar buku itu diterbitkan. Copernicus sendiri awalnya enggan — barangkali karena dia sendiri tak suka berkonfrontasi. Pun demikian, sebelum meninggal, akhirnya Copernicus menyerah. Bulan Maret 1543, De Revolutionibus akhirnya naik cetak, diiringi kata pengantar Osiander. Bulan Mei 1543, Copernicus meninggal dunia. Rangkaian peristiwa ini menandai dimulainya era baru bidang astronomi.

Copernicus Painting - Jan Matejko

Copernicus digambarkan dalam lukisan abad ke-19

(via Wikimedia Commons)

Terbitnya De Revolutionibus di Eropa kemudian menginspirasi generasi astronom pasca-Copernicus. Tiga sosok terkenal di antaranya Tycho Brahe, pengamat bintang asal Denmark; Johannes Kepler, yang mewarisi data-data penelitian Tycho; terakhir adalah Galileo Galilei.

Termasuk di antara yang membaca De Revolutionibus adalah pastor Dominikan bernama Giordano Bruno, yang sudah diperkenalkan di awal. Bruno sendiri bukan seorang astronom, lebih lagi, dia antipati pada matematika. Sebagai pemikir Bruno lebih suka pendekatan konsep. Hal ini membuat dia lebih terkenal sebagai filsuf.

Menariknya, biarpun Bruno hidup sepantaran dengan Kepler dan Galileo, tetapi pamornya kalah jauh dibanding mereka. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Bruno Melanjutkan Copernicus
 

Sebagaimana sudah disebut, Bruno adalah seorang pastor. Secara natural pikirannya banyak dicurahkan ke teologi. Membaca karya Copernicus membuat dia terpikir dampaknya di bidang agama.

Copernicus telah “menggusur” posisi Bumi, dari yang tadinya pusat semesta, jadi sekadar pengiring matahari. Bagaimana jadinya jika — seandainya — matahari pun bukan pusat semesta, melainkan hanya anggota biasa? Pertanyaan ini menggelayut di benak Bruno.

Penting untuk dicatat bahwa Bruno mendapat ide di atas dari filsuf terdahulu, yaitu Lucretius dan Nicolaus Cusanus. Dalam hal ini ia mirip Copernicus: menyerap filsafat kuno untuk ide progresif. Meskipun begitu Bruno punya tambahan orisinil.

Sebagai seorang Kristen, Bruno menganggap ilmu astrologi merendahkan kebesaran Tuhan. Dia percaya bahwa alam semesta maha luas, akan tetapi faktanya, para astrolog hanya fokus pada Bumi dan tujuh benda langit. Dia bersimpati pada Copernicus yang melawan teori geosentris. Meskipun begitu, Bruno merasa tak cukup sampai di situ.

Di mata Bruno, alam semesta mestinya mencerminkan kebesaran Tuhan yang tak-hingga. Pikiran manusia mustahil menjangkaunya. Oleh karena itu: salah besar jika ada pandangan tentang “pusat” dan “batas” angkasa. Dalam hal ini teori heliosentris cuma sedikit lebih baik daripada geosentris.

It is then unnecessary to investigate whether there be beyond the heaven Space, Void or Time. For there is a single general space, a single vast immensity which we may freely call Void; in it are innumerable globes like this one on which we live and grow. This space we declare to be infinite, since neither reason, convenience, possibility, sense-perception nor nature assign to it a limit. In it are an infinity of worlds of the same kind as our own.

 
(Waller, 1950; cetak tebal ditambahkan)

Kutipan di atas, bersama dengan yang kita baca di bagian pembuka, amat gamblang menjelaskan filsafat Bruno. Bukan saja Bumi tidak unik di tata surya — tata surya pun tidak unik di alam semesta! :shock:

Sayangnya, meskipun punya gagasan luar biasa, Bruno tidak menulis secara keilmuan. Sebagaimana sudah disebut dia bukan astronom, oleh karena itu, tidak ada semacam scientific rigor. Ditambah lagi bahwa Bruno lebih suka berfilsafat daripada matematika. Barangkali ini juga sebabnya dia — di kemudian hari — jadi kurang terkenal dibanding tokoh sezamannya.

Sementara Tycho, Kepler, dan Galileo bergelut dengan perhitungan matematik, Bruno lebih memilih mengembangkan filsafat dan teologi. Memang dia sendiri akhirnya jadi terkenal sebagai filsuf. Pun demikian, ketenaran itu harus dibayar dengan harga mahal.

***

Selama bertahun-tahun Bruno mengembara menghindari kejaran Gereja. Sayangnya, di tahun 1592, dia akhirnya ditangkap Inkuisisi. Bisa ditebak mereka tak suka dengan ide-idenya. Jika Copernicus saja membuat Gereja jengkel, bagaimana pula mereka memandang Bruno? Kebid’ahan Bruno ibaratnya menabur garam di luka yang masih basah.

Ada banyak dakwaan yang dialamatkan ke Bruno. Mulai dari kegiatan sihir, penyebaran doktrin sesat, hingga menolak kebenaran Trinitas. Yang juga memberatkan adalah filsafatnya yang sudah kita lihat: bahwasanya alam semesta tak-hingga, dan matahari serta bumi tidak istimewa. Barangkali bukan kejutan bahwa Gereja akhirnya menjatuhkan vonis mati.

Mengikuti hasil vonis, Bruno akhirnya dibakar di kota Roma pada bulan Februari 1600. Meskipun begitu ide-idenya tetap lestari hingga sekarang.

 
Di Tengah Samudra Bintang (dan Planet, dan Lain Sebagainya)
 

Bahwa perjalanan hidup Bruno cukup tragis, hal itu tak bisa disangkal. Problemnya adalah dia punya keyakinan yang nyeleneh untuk ukuran zamannya. Bukan resep bagus untuk hidup makmur dan bahagia — lebih lagi di saat kekuatan religius-dogmatik begitu besar. Meskipun demikian, tulisan Bruno memberi penyadaran akan posisi manusia di alam semesta.

We are but mote in universe’s eye.

(via NASA APOD)

Empat ratus tahun sudah berlalu. Di masa kini, orang pada umumnya sudah tahu bahwa matahari adalah bintang. Melalui reaksi nuklir matahari menghasilkan energi, lalu energi itu diradiasikan ke berbagai penjuru. Hasilnya adalah panas dan cahaya yang — dalam perjalanannya — memberi kehidupan di planet Bumi. Kalau tidak ada matahari maka planet bumi akan kosong belaka. Ibaratnya sekadar batu dingin yang mengambang di angkasa.

Menariknya adalah, Bumi bukan cuma satu-satunya planet yang mengitari matahari. Di sekolah dasar kita sudah belajar tentang nama-nama planet di tata surya: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus. Pembaca yang seumur saya barangkali masih ingat Pluto sebagai planet. Hanya saja, karena satu dan lain hal, akhirnya “turun pangkat” dari sebutan itu.

Di luar sembilan di atas masih ada benda serupa-planet yang mengelilingi matahari. Haumea, yang namanya dari mitologi Hawaii; Makemake dari mitos Kepulauan Fiji; terakhir adalah Eris yang memakai nama Eropa. Bersama dengan Pluto mereka mengitari matahari di ujung tatasurya. Perlu dicatat bahwa biarpun mirip planet tetapi ukuran mereka lebih kecil, oleh karena itu disebut sebagai “planet katai” (dwarf planet).

Tata surya, planet dan planet katai

Keluarga besar: Urutan orbit planet dan planet katai. (Jarak tidak sesuai skala)

(via Wikipedia)

Sebagaimana bisa dilihat tata surya kita mengandung banyak benda pengiring. Dari gambar di atas saja ada sudah sampai belasan. Apabila kita mau serius, menghitung semua benda non-planet, maka jumlahnya akan jauh lebih besar: bayangkan Anda harus mencatat semua bulan, komet, dan asteroid besar maupun kecil. Dijamin enggak bakal sanggup. :mrgreen:

Tata surya kita, yang mengacu matahari sebagai pusatnya, amat penuh dengan benda langit. Dan itu baru melibatkan satu buah bintang. Saya ingin Anda berkonsentrasi memikirkannya. Planet, planet katai, satelit, komet, asteroid. Think of everything.

Sekarang bayangkan ada berapa banyak bintang di angkasa…

Video ini akan membuat Anda merasa sangat kecil

 
Penutup: It’s A Big, Big Universe
 

Bapak Carl Sagan, penulis sains berkebangsaan Amerika, punya gambaran menarik tentang ilmu astronomi dan sejarahnya. Pendapat ini dituangkan dalam buku karya beliau — berjudul Pale Blue Dot — yang diterbitkan pada tahun 1994. Kalau hendak dirangkum dalam bahasa Indonesia, intinya kira-kira sebagai berikut.

Zaman dulu orang berkata: seandainya Bumi bukan pusat semesta, melainkan cuma mengelilingi matahari, tidak apa-apa. Minimal matahari masih jadi pusat.
…Para ilmuwan kemudian menemukan bahwa matahari cuma satu bintang di galaksi Bima Sakti.

Kemudian orang berkata: seandainya matahari bukan pusat semesta, melainkan cuma bagian dari Bima Sakti, tidak apa-apa. Minimal Bima Sakti itu satu-satunya galaksi.
…Para ilmuwan kemudian menemukan bahwa ada banyak galaksi-galaksi lain.

Kemudian orang berkata: seandainya Bima Sakti cuma salah satu galaksi, tidak apa-apa. Minimal dia di tengah alam semesta.
…Para ilmuwan kemudian menemukan bahwa tidak mungkin bisa menentukan pusat alam semesta.

Kemudian orang berkata: seandainya Bima Sakti memang tak di tengah, tidak apa-apa. Minimal cuma di sini yang ada planetnya. Sejauh ini benar. Pun demikian, bilang begitu ibaratnya pelarian. Apabila kelak ilmuwan menemukan planet di galaksi lain, klaim ini juga akan runtuh.

Sagan menamai rangkaian peristiwa di atas sebagai “Series of Great Demotions”. Dari zaman ke zaman, kemajuan sains memaksa orang untuk berpikir akan posisinya di alam semesta. Ibaratnya kita “dipaksa” untuk tidak sombong.

Ketika pengetahuan masih rendah merasa dirinya spesial. Semua-semua berpusat pada diri dan kepentingannya. Akan tetapi, seiring jalannya waktu, perlahan-lahan terungkap bahwa kesombongan itu semu. Bukan saja planet bumi tidak spesial — bahkan matahari dan Bima Sakti pun tidak spesial! :shock:

The more you expand the horizon, the more you realize how very small you are. Ini, kalau saya boleh menilai, adalah sebuah kebijaksanaan yang harus dimaknai. Bahwasanya kita begitu kecil di tengah semesta yang amat, sangat, benar-benar besarrrrrr.

Yang mana, kemudian membawa kita kembali pada Copernicus dan Giordano Bruno. Dua orang yang kontroversial karena gagasannya dianggap merendahkan kehormatan. Meskipun demikian, seiring perjalanan waktu, kemudian terbukti bahwa mereka itulah yang benar. Memang sulit kalau tercampur dengan perasaan, apalagi kebanggaan diri. Hanya orang yang benar-benar rendah hati yang bisa melihat fakta dan mengakui kebenarannya — biarpun mungkin rasanya pahit.

“Vanity, definitely my favorite sin.” Begitu kata Al Pacino — yang berperan jadi Setan — di salah satu film. Saya pikir itu ada benarnya! :lol:

 

——

Daftar Pustaka:

 
Pannekoek, A. (1961). A History of Astronomy. Ontario: General Publishing Company

Sagan, C. (1994). Pale Blue Dot: A Vision of Human Future in Space. New York: Ballantine Books

Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). (2001). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 3, 1450 to 1699 (hlm. 318-321). Farmington Hills, MI: Gale Group

Seeds, M.A. & Backman, D.E. (2011). Foundations of Astronomy, 11th ed. Boston, MA: Brooks/Cole

Waller, D. (1950). Bruno: His Life and Thoughts, With Annotated Translation of His Work
On the Infinite Universe and Worlds.
New York: Henry Schuman


Pustaka Murah-Meriah di Tahun Baru

$
0
0

Sebagaimana bisa dibaca di halaman About, saya adalah pendukung Free Culture Movement. Maksudnya bukan budaya bebas-aturan, tentu, melainkan budaya kebebasan informasi. Bahwasanya informasi itu — apalagi yang bersifat krusial seperti pendidikan — harusnya tidak dikekap-kekap, apalagi dipakai mengambil untung. Orang sering bilang bahwa untuk mencerdaskan bangsa, yang pertama dibutuhkan adalah buku. Tapi bagaimana caranya jika buku teks saja harganya selangit. But I digress. :P

Oleh karena itu, mengawali tahun 2013 ini, ada baiknya kalau saya berbagi resource pustaka gratis (dan legal!) yang saya tahu. Bukan cuma public domain, melainkan juga materi modern yang dibebaskan oleh pembuatnya. Baik itu fiksi, nonfiksi, buku teks, hingga materi lecture notes.

Sebagian menyediakan format PDF/EPUB, meskipun begitu, banyak juga yang murni HTML. Mengenai hal ini ada tips tersendiri. Jika Anda punya aplikasi Open Office/Libre Office, buka halaman ebook HTML versi komplit (contoh), copy-paste dari browser ke Office, dan klik File | Export as PDF. Penampakan akhirnya kurang lebih seperti di bawah ini.

Seperti apa perpustakaannya, here goes.

 
Standard Issue
 

Project Gutenberg
Gudang buku paling terkenal. Menyediakan (antara lain) format HTML, PDF dan EPUB.

Internet Archive
Versi lebih lengkap dari Gutenberg, di samping teks juga menyediakan musik dan video.
Catatan: e-book di sini umumnya berukuran besar

 
Yang agak kurang terkenal… (tapi tetap bagus)
 

Bartleby | Classic Reader
Konten public domain segala rupa. Dua-duanya hanya menyediakan HTML

PSU Electronic Classics
Gudang PDF berdasarkan pengarang. Komprehensif.

Ebooks @ Univ. Adelaide
Favorit saya. Fiksi dan nonfiksi, dari zaman Yunani Kuno sampai modern. Nice formatting.

Planet PDF
Perpustakaan mini, khusus fiksi klasik public domain.

 
Materi Kebudayaan Kuno
 

Perseus Digital Library
Arsip peradaban dunia Barat. Sedia teks Romawi dan Renaisans.

Internet Sacred Texts Archive
Berbagai teks agama dan mitologi di planet Bumi — dari Eropa sampai Polinesia. It doesn’t get much better than this.

Theoi E-Texts Library
Khusus tentang mitologi Yunani & Romawi.

 
Buku Teks Akademik
 

Textbook Revolution
Penyedia buku teks multidisiplin, dilengkapi fasilitas search.

The Assayer
Agregator buku teks dan lecture notes. Paling banyak tentang sains, matematika, dan IT.

Open Culture Free Textbooks
Perpustakaan mini, cuma 160 item. Buku teks gratis dari ekonomi sampai fisika.

 
Lain-lain

 
MIT OpenCourseWare
Materi pelengkap akademik. Beberapa lecture notes-nya mantap. :P

How to Be A Good Physicist
Physics StackExchange Open Textbook List

Dua list referensi yang mantap untuk belajar fisika. Did I mention free?

***

Selamat menikmati, semoga berkenan, dan kalau punya tambahan, silakan dibagi di tempat komentar. :D


Pygmalion dan Galatea

$
0
0

Dalam literatur mitologi Yunani-Romawi, terdapat sebuah buku berjudul Metamorphoses. Buku ini ditulis oleh pujangga bernama Ovid. Sebagaimana tersirat dari judulnya, isinya tentang tokoh-tokoh yang mengalami metamorfosis — dengan kata lain, berubah secara fisik. Perubahannya sendiri bermacam-macam. Ada manusia berubah jadi batu, dewa menyamar jadi hewan, dan lain sebagainya.

Nah, yang hendak dibahas di tulisan ini adalah salah satu cerita di dalamnya, dengan tokoh seorang lelaki muda. Dia dikatakan bernama Pygmalion dan berprofesi sebagai pemahat.

Pygmalion diceritakan sebagai sosok yang — pada awalnya — tidak peduli pada wanita. Fokus utama dalam hidupnya adalah berkarya seni: apapun yang dia buat harus memiliki mutu yang tinggi. Oleh karena itu dia berkembang jadi seniman yang ahli. Patung-patung buatannya selalu tampak hidup dan menyerupai manusia.

Pygmalion knew these women all too well;
Even if he closed his eyes, his instincts told him
He’d better sleep alone. He took to art,
Ingenious as he was, and made a creature
More beautiful than any girl on earth,
A miracle of ivory in a statue

 
(Ovid, “Metamorphoses” ; terj. Horace Gregory, 1958)

Ironisnya, biarpun dia seniman yang cuek, karya besar Pygmalion justru berbentuk seorang wanita. Barangkali memang dia sial, sebab patung wanita buatannya itu jadinya amat cantik. Begitu cantiknya sedemikian hingga Pygmalion mulai berubah pikiran.

More beautiful than any girl on earth,
A miracle of ivory in a statue,
So charming that it made him fall in love.

 
(Ovid, “Metamorphoses” ; terj. Horace Gregory, 1958)

Sekian lama bekerja dan menatap patung, tanpa sadar Pygmalion jatuh cinta. Memang itu cuma patung, akan tetapi, penampilannya sangat hidup. Hati Pygmalion tergugah melihat kecantikannya.

Seniman yang membentuk karya seni berbalik dibentuk oleh karyanya. Hati Pygmalion yang dingin menghangat. Dia kini terbakar oleh asmara.

pygmalion & galatea by j-b regnault

Pygmalion mengagumi patung hasil pahatannya.

(Lukisan karya Jean-Baptiste Regnault, 1786)

(image credit: Wikimedia Commons)

Mengenai patungnya sendiri Ovid tak memberi nama. Meskipun begitu penulis di kemudian hari menyebutnya “Galatea”.

Bisa ditebak, Galatea akhirnya mengisi kehidupan Pygmalion. Perlahan-lahan Pygmalion terobsesi. Mengamati kecantikannya saja tidak cukup: Pygmalion ingin lebih. Dia lalu mendandani Galatea dengan baju dan perhiasan indah.

He whispered at her–look, he brought her toys,
Small gifts that girls delight to wear, to gaze at,
Pet birds and shells and semi-precious stones,
White lilies, flowers of a thousand colours,
And amber tears wept by Heliades.

 
(Ovid, “Metamorphoses” ; terj. Horace Gregory, 1958)

Akan tetapi Galatea tetaplah sebuah patung. Dia tidak dapat bereaksi. Betapapun Pygmalion menghujani dengan perhatian, itu ibaratnya berbicara pada sebuah tembok: hanya berdampak bagi dirinya sendiri. Cuma dia saja yang senang. Sementara dunia di sekitarnya tidak peduli.

Obsesi Pygmalion seolah menunjukkan sisi tragis. Meskipun begitu cerita ini belum selesai.

* * *

Selama beberapa waktu Pygmalion mengagumi Galatea. Dalam hatinya dia menyebut Galatea sebagai “pengantin” dan “istri”. Namun bagaimanapun Pygmalion seperti orang haus meminum air laut: semakin dia melampiaskan, semakin kerinduannya bertambah. Memang salahnya mencintai sosok yang terlalu cantik, yang tidak ada di bumi, yang cuma bisa hadir dalam bentuk patung.

Selisih antara harapan dengan kenyataan membuat Pygmalion galau. Kegalauan itu akhirnya mendorong dia untuk berdoa di altar Venus, Dewi Cinta dan Keindahan.

Pada awalnya Pygmalion gagap — merasa malu dengan kehendaknya. Akan tetapi akhirnya dia mampu mengucapkan.

‘Give me the girl I made.’ He stammered,
Then went on: ‘But someone like–‘

He cleared his throat, then said, ‘Give me a lady
Who is as lovely as my work of art.’

 
(Ovid, “Metamorphoses” ; terj. Horace Gregory, 1958)

Namun Venus adalah Dewi yang tahu isi hati penyembahnya. Biarpun Pygmalion hanya meminta “gadis yang secantik karyanya”, Venus paham dan akan memberikan lebih.

Ketika Pygmalion tiba di rumah,

Then he ran home to see, to touch again
The ivory image that his hands contrived,
And kissed the sleeping lips, now soft, now warm,
Then touched her breasts and cupped them in his hands;
They were as though ivory had turned to wax
And wax to life, yielding, yet quick with breath.

 
(Ovid, “Metamorphoses” ; terj. Horace Gregory, 1958)

Venus telah meniupkan roh pada Galatea. Patung gading yang keras dan dingin kini bertransformasi menjadi hidup. Bukan lagi sekadar tampak hidup — melainkan benar-benar bernafas dan berdenyut. Doa Pygmalion terkabul sepenuhnya.

pygmalion & galatea by j-l gerome

Pygmalion menemukan bahwa Galatea kini hidup dan bernafas

(Lukisan karya Jean-Leon Gerome, 1890)

(image credit: Metropolitan Museum of Art)

Singkat cerita, Pygmalion dan Galatea kemudian menikah dan berketurunan. Pada akhirnya semua berakhir bahagia, cinta mengalahkan segalanya, hidup berjalan lancar, tidak ditemukan pelanggaran, dan status wajar tanpa pengecualian™.

(Kalimat terakhir tak usah diseriusi)

 
Tentang Beku
 

Mas Fertob, rekan blogger dari zaman dulu sekali, punya frase unik tentang idealisme yang terlalu tinggi. Istilahnya diturunkan dari kutipan almarhum dosen beliau, dan dapat dirangkum sebagai berikut: bahwasanya orang yang terlalu idealis itu “beku dalam dunianya sendiri”.

Maksudnya adalah bahwa idealisme itu tak ada yang bisa diterapkan 100% di bumi. Sedikit-sedikit pasti ada kompromi. Oleh karena itu orang yang tak bisa berkompromi akan teralienasi: dalam benaknya harus begini, tetapi dunia begitu. Karena masing-masing tak hendak menyesuaikan akhirnya tidak terjadi apa-apa.

Hubungannya dengan Pygmalion, tentu, karena dia termasuk orang seperti itu. Dia adalah sosok yang beku dalam dunianya sendiri.

Pygmalion dalam karya Ovid digambarkan sebagai pria yang memandang rendah wanita. Dalam sebuah terjemahan public domain,

Pygmalion saw women waste their lives
in wretched shame, and critical of faults
which nature had so deeply planted through
their female hearts, he lived in preference,
for many years unmarried.

 
(Ovid, “Metamorphoses”, terj. Brookes More, 1922)

Dalam hal ini dia orang yang a priori terhadap kualitas wanita. Hal itu membuat dia menyepi dan berkonsentrasi dalam membuat patung.

Akan tetapi takdir berkata lain. Justru patung yang dia buat begitu cantik, begitu sesuai dengan bayangan idealnya. Sedemikian hingga Pygmalion jadi jatuh cinta teramat-dalam.

Masalahnya Pygmalion tahu bahwa mencintai patung bukan hal yang tepat. Dia sendiri gagap ketika hendak berdoa pada Venus. Akan tetapi dia tak punya pilihan lain. Gadis lain di dunia tak ada yang cocok dengannya. Cuma Galatea yang cocok — tak lain karena Galatea sosok yang dibuat Pygmalion sendiri.

Pada akhirnya Pygmalion jadi sosok yang “beku dalam dunianya”. Sebagai laki-laki hasratnya ingin mencintai wanita, tetapi hasrat itu tak tersalurkan, tak lain karena dia ogah “turun standar” dari Galatea. Tidak aneh bahwa akhirnya dia menderita. Kehendak yang tinggi tidak dibarengi perwujudan di bumi.

Namun Pygmalion tetap beruntung. Dalam cerita ini Venus dikisahkan merasa iba, oleh karena itu, dia menolong Pygmalion. Masalahnya itu bukan solusi yang bagus — problem Pygmalion selesai bukan karena dia menyelesaikan, melainkan karena ada kekuatan menolongnya. Bagaimana jika tak ada Venus? Hampir pasti Pygmalion akan terus depresi karena cinta.

* * *

Pada akhirnya, biarpun happy ending, kisah Pygmalion dan Galatea dapat menjadi pengingat. Filsuf Yunani Plato meyakini bahwa, di ranah ide, terdapat hal-hal yang secara definisi sempurna. Akan tetapi ranah itu bukan di bumi: Dunia Forma tidak sama dengan dunia sehari-hari. Kesempurnaan ide itu takkan bisa turun ke dunia materi. Akan selalu ada pergesekan dan kompromi.

In a way, Pygmalion hampir mati beku dalam dunianya. Mudah-mudahan kita — atau saya — tidak semalang itu… ^^;;

 

——

Referensi:

 
(buku)

    Ovid. (1958). The Metamorphoses (H. Gregory, terj.). New York: New American Library.

(online, public domain)


Fun with Math: Berkenalan dengan Fraktal

$
0
0

Sambil memulai tulisan ini, mari kita gambar sebuah segitiga.

[fracdraw-1]

(Wikimedia Commons)

Lalu di setiap sisi segitiga itu, kita tambahkan bentuk segitiga yang sama. (Ukuran dibuat lebih kecil)

[fracdraw-2]

(Wikimedia Commons)

Proses ini terus kita ulangi. Di setiap sisi kita tambahkan segitiga lagi…

[fracdraw-3]

(Wikimedia Commons)

…dan lagi…

[fracdraw-4]

(Wikimedia Commons)

…dan lagi. Hasil akhirnya akan jadi seperti berikut:

[fracdraw-5]

(Wikimedia Commons)

Dari yang tadinya cuma segitiga, kini jadi bentuk yang kompleks. Bentuk ini seolah mirip bunga salju yang mendetail. Hebat bukan? :D

Nah, yang baru kita gambar di atas itu disebut sebagai fraktal. Fraktal adalah bentuk geometri yang dibangun lewat instruksi sederhana tapi berulang. Semakin banyak perulangan maka semakin detail gambar yang dihasilkan.

Adapun di dunia matematika, “bunga salju” di atas dinamai “Bunga Salju Koch“. Akan tetapi Bunga Salju Koch bukan cuma satu-satunya. Ada banyak jenis fraktal lain yang bisa digambar.

Tentunya kemudian timbul pertanyaan. Kok bisa sih ada cara menggambar seperti itu? :mrgreen:

 
Sebenarnya, Apa itu Fraktal?
 

Secara matematika, definisi fraktal agak rumit, dan kurang cocok untuk pembaca umum. Oleh karena itu berikut ini saya rangkum dalam bahasa Indonesia.

Sebuah gambar dapat disebut fraktal jika memenuhi syarat:

 

    a) Identik untuk setiap level perbesaran (zoom)

 

Bahasa populernya, di-zoom berapa kali pun penampakannya akan mirip. Dalam bahasa matematika disebut self-similarity.

Contohnya lewat animasi berikut — biasa disebut Segitiga Sierpinski. Sebuah segitiga yang di dalamnya terdapat segitiga, lalu di dalamnya segitiga lagi… (dan seterusnya)

sierpinski triangle animated

Animasi zoom-in Segitiga Sierpinski

(image credit: Wikimedia Commons)

 

    b) Garis gambarnya tidak mulus (tidak terdiferensiasi)

 

Yang ini bisa dijelaskan lewat grafik. Misalnya contoh berikut.

fungsi Weierstrass

Fungsi Weierstrass

(image credit: Wikimedia Commons)

Dalam grafik di atas, dapat dilihat bahwa biarpun garis menyambung tetapi dia tidak mulus — selalu patah di sana-sini. Sifat yang sama dimiliki oleh fraktal. Sebagai contoh Bunga Salju Koch. Biarpun garisnya menyambung akan tetapi sambungannya tidak mulus.

(Dalam bahasa matematika disebut “kontinu tapi tak terdiferensiasi”)

 
Di sisi lain, ada juga fraktal yang garisnya tidak bersambung dan tidak mulus. Dengan kata lain garisnya putus-putus. Secara matematika disebut “tidak kontinu dan tidak terdiferensiasi”.

Fraktal putus-putus contohnya himpunan Cantor. Himpunan Cantor mempunyai aturan: gambar sebuah garis, bagi tiga, dan hilangkan tengahnya. Hasilnya jadi seperti berikut.

himpunan Cantor

Himpunan Cantor

(image credit: Wikimedia Commons)

 

    c) Mempunyai dimensi fraktal

 

Yang satu ini agak rumit, meskipun begitu, intinya kira-kira seperti berikut.

Pada umumnya kita tahu angka dimensi berupa bilangan bulat, yakni garis (1 Dimensi), bidang (2 Dimensi) dan ruang (3 Dimensi). Meskipun demikian dimensi fraktal memiliki keunikan: bilangannya bersifat pecahan. Sebagai contoh Bunga Salju Koch yang kita gambar, dimensi fraktalnya sebesar 1,2619 (jika dihitung dengan rumus).

Mengapa bisa begitu? Ini karena — kalau ditelusuri secara matematik — sebuah fraktal berada pada dimensi “perantara”. Bunga Salju Koch terdiri atas sebuah garis (1 Dimensi). Akan tetapi kalau detailnya di-zoom, terlihat bahwa garis-garis itu saling bertumpuk, menandakan bersilangan di bidang dua dimensi. Oleh karena itu Bunga Salju Koch mempunyai dimensi antara 1 dan 2, yakni 1,2619.

(penjelasan lebih detail dapat dilihat di: dimensi fraktal dan dimensi Hausdorff)

* * *

Kira-kira demikian penjelasan tentang fraktal. Tentunya amat menyederhanakan dan tidak teknis. Meskipun begitu harusnya cukup untuk menunjukkan, bahwa dari sebuah instruksi sederhana, bisa terbentuk pola yang rumit. Lebih jauh lagi: pola yang dihasilkan amat detail sehingga dapat diperbesar dan tetap tajam.

 
Fraktal di Lingkungan Alam
 

Uniknya, biarpun fraktal itu matematika murni, banyak peristiwa alam yang bersifat mirip fraktal. Contoh yang terkenal misalnya petir. Sebuah petir memiliki percabangan yang mendetail — sedemikian hingga tampak identik pada skala besar maupun kecil.

self-similar lightning

Petir tampak mirip (self-similar) pada skala besar maupun kecil.

(image adapted from: Wikimedia Commons)

Contoh lain yang mengena adalah urat daun. Perhatikan bahwa polanya mirip pada skala lebih kecil.

Fig leaf by i5a

Pola jaringan pembuluh pada daun ara (fig).

(photo credit: Flickr / i5a)

Ada juga spesies brokoli yang unik…

Romanesco broccoli

Katanya sih, ini brokoli asli Roma. (Benarkah?)

(photo credit: Flickr / Aurelien Guichard)

Adapun dalam skala besar, obyek geologi juga bersifat mirip fraktal. Misalnya foto berikut: menunjukkan garis pantai yang dipotret dari udara.

Greenland coast fractal (Wikimedia Commons)

Garis pantai Greenland dipotret dari udara.

(photo credit: Wikimedia Commons)

Luar biasa bukan? Biarpun berangkat dari matematika murni akan tetapi pola fraktal mempunyai perwujudan di alam. Memang matematika itu ilmu yang membicarakan tentang pola — baik itu pola bilangan, pola geometri, hingga yang rada njelimet seperti pola statistik. Akan tetapi itu cerita lain untuk saat ini. :)

 
Penutup: Kerumitan dari Kesederhanaan
 

Salah satu hal yang berkesan dari fraktal, kalau boleh dibilang, adalah prinsip “kerumitan dari kesederhanaan”. Pada mulanya ada sebuah instruksi yang kita pilih. Lalu instruksi itu kita jalankan berulang-ulang. Pada akhirnya semua perulangan itu berinteraksi satu sama lain, menghasilkan gambar yang detail — atau bahkan artistik.

Mengenai yang terakhir ada baiknya diberi contoh. Di bawah ini adalah karya seni fraktal yang dibuat seorang user Wikipedia.

Julian Fractal by Garden

Salah satu contoh fractal artwork

(image credit: Wikipedia / User:Garden)

Sekilas terlihat gambarnya bagus. Akan tetapi menariknya: instruksi pembuatannya cukup pendek. Hanya tiga baris mendefinisikan koefisien ini-itu, selanjutnya menentukan warna. Akhirnya didapat gambar yang cukup artistik.

Hanya dengan mengutak-atik instruksi, sebuah bentuk yang kompleks dapat dihasilkan. Simple yet impressive.

Bukan berarti fraktal itu sederhana, sih. Sebagaimana sudah disinggung, matematika yang terlibat di dalamnya sangat rumit. Akan tetapi itu urusannya para ahli — tidak berhubungan dengan tulisan ini. Jadi bolehlah kita lewatkan… :lol:

 

——

Referensi:

 
Addison, P.S. (1997). Fractals and Chaos, an Illustrated Course. London: IOP Publishing.

Mandelbrot, B.B. (1977). The Fractal Geometry in Nature. New York: W.H. Freeman & Co.


From Public Domain: “Stories from the Arabian Nights”, by Housman & Dulac (1907)

$
0
0

Hampir semua orang, baik di Indonesia maupun luar negeri, pernah mendengar tentang Kisah Seribu Satu Malam. Disebut seperti itu karena — konon — kisahnya diceritakan berantai selama 1001 malam.

Setiap hari menjelang subuh, Permaisuri Syahrazad akan membangunkan suaminya, Sultan Syahriar. Syahrazad lalu akan menuturkan berbagai cerita fantastis. Ada yang melibatkan jin, monster, penyihir… pokoknya, mengandung elemen ajaib. Meskipun demikian ada ketentuannya. Jika matahari sudah terbit maka Syahrazad akan berhenti dan melanjutkan cerita malam besoknya.

Mengapa begitu? Karena Syahrazad aslinya berusaha menyelamatkan nyawa. Syahriar diceritakan sebagai Sultan yang benci pada wanita; dia dikhianati oleh mantan istrinya yang berselingkuh dengan budak. Karena dibutakan dendam Syahriar memutuskan: setiap hari dia akan menikahi seorang gadis, lalu esok harinya, gadis itu akan dieksekusi. Begitu terus hingga Syahrazad — putri seorang Wazir — mengajukan diri jadi istri Sultan. Dia berencana mengalihkan perhatian Sultan selama mungkin sambil melindungi perempuan negerinya.

Nah, dengan latar belakang itulah, kisah Seribu Satu Malam dimulai. Syahrazad yang cerdas mengatur agar cerita berakhir menggantung setiap malam. Sultan yang tertarik kemudian menunda eksekusi Syahrazad selama satu hari. Lalu di malam berikutnya Syahrazad akan menutup cerita, memulai yang baru, dan membuatnya menggantung lagi. Demikian seterusnya hingga tercapai angka “Seribu Satu Malam”.

Alhasil, tidak aneh jika versi lengkap, total jenderal, jumlah-jamleh dari Kisah Seribu Satu Malam luar biasa tebal. Terjemahan Richard Burton misalnya terdiri atas 10 volume (!!). Akan tetapi yang akan kita review bukan versi lengkap — melainkan versi ringkas untuk pembaca umum.

arabian nights housman & dulac (cover)

  • Judul: Stories from the Arabian Nights
  • Penulis: Laurence Housman (penyunting), Edmund Dulac (ilustrasi)
  • Penerbit: Hodder and Stoughton, Ltd.
  • Tebal: 319 halaman
  • Tahun: 1907

 
(Abridged) Arabian Nights for Everyone
 

Berbicara tentang Arabian Nights, ada satu hal yang harus disebutkan sejak awal: perkara materi dewasa. Arabian Nights versi aslinya, yang tidak disensor, memiliki konten brutal dan seksual yang tinggi. Banyak adegan kekerasan dan percintaan digambarkan sangat detail.

Meskipun demikian, buku yang disunting oleh Laurence Housman ini memberi penyajian yang relatif aman. Seolah terlihat bahwa sasaran utamanya pembaca keluarga. Memang sih, ada detail pembunuhan sedikit-sedikit, tapi tak lebih parah dibandingkan konsumsi TV anak zaman sekarang. Bolehlah disebut sebagai PG-13 Arabian Nights. :P

Sebagai versi ringkas sendiri buku ini cukup efektif. Tokoh yang familiar seperti Sinbad, Aladdin, dan Ali Baba terdapat di dalamnya. Akan tetapi nilai lebihnya, menurut saya, justru pada cerita-cerita yang lebih obscure: sebagai contoh petualangan Putri Deryabar serta Penyihir dan Kuda Ajaib. Tentunya bukan berarti kisah yang terkenal itu jelek; ini selera pribadi saja. Sangat mungkin untuk diperdebatkan. :?:

 
Cerita dalam Cerita dalam Cerita…
 

Pun demikian, kelebihan Arabian Nights bukan cuma kisah yang fantastis. Ada satu faktor yang jarang diketahui orang tentangnya: metode bercerita.

Sebagaimana sudah disinggung di awal, Arabian Nights dimulai ketika Syahrazad bercerita kepada Sultan. Akan tetapi itu baru permulaan. Di dalam cerita Syahrazad kadang terdapat tokoh yang bercerita lagi, dan di dalam cerita itu, ada cerita lain lagi. Walhasil jadinya agak mirip fraktal: dari level atas, kita masuk dalam cerita, dan tahunya di dalamnya ada cerita baru lagi. :lol: Hebatnya berbagai cerita itu dapat terangkai jadi satu kesatuan.

Nah, teknik penceritaan itu tidak lupa diadaptasi oleh Laurence Housman. Biarpun hanya mencakup sebagian kecil Arabian Nights akan tetapi beliau dapat menyarikan dengan baik. Kisah A mengandung tokoh yang menarasi kisah B; tokoh utama kisah C bertemu raja dari kisah B, dan sebagainya. Berbagai macam kisah bertalian, tumpuk-bertumpuk, dan anehnya tetap nyambung dan logis. Cukuplah kalau dibilang bahwa hasil akhirnya mengesankan. (o_O)

 
Ilustrasi
 

Yang ini satu faktor yang sukses menambah kenikmatan membaca saya. Ilustrasinya mantap. :mrgreen:

Seluruh ilustrasi dalam buku ini digambar oleh Edmund Dulac, ilustrator Inggris yang sering menghias buku dongeng. Termasuk yang disentuhnya adalah kompilasi H.C. Andersen. Adapun dalam Stories from the Arabian Nights Dulac menghadirkan lukisan cat air bergaya Oriental… dari perspektif Eropa abad ke-19.

Bagi kita yang hidup di abad 21 mungkin terlihat aneh. Yet in a way, quite charming.

Scheherezade by Dulac

Syahrazad (ilustrasi frontispiece)

Dulac Arabian Nights

dari The Fisherman and The Genie (hlm. 113)

Dulac Arabian Nights

dari The Fisherman and The Genie (hlm. 119)

 
Kesimpulan & Download
 

Bacaan ringan, menyenangkan, dan bagusnya, gratis. Pengenalan yang bagus menuju dunia Arabian Nights.

Bukunya sendiri bersifat public domain, jadi pembaca yang berminat dapat mengunduh di link berikut. Meskipun begitu saya sarankan download format PDF atau DjVu — versi EPUB yang tersedia sangat buruk.


Mesin Kalor dari Alexandria

$
0
0

Di dunia sehari-sehari, kita terbiasa melihat mesin. Mulai dari mobil, motor, hingga yang berskala besar seperti pabrik. Namanya mesin tentu bisa bergerak dengan sendirinya. Ada yang menggunakan tenaga bensin, tenaga solar, hingga yang agak lawas seperti tenaga uap.

Nah, dalam dunia fisika, berbagai mesin di atas termasuk dalam keluarga mesin kalor. Mesin kalor adalah mesin yang bekerja dengan prinsip pemanasan dan pembakaran. Apabila mesinnya menyala, suhunya akan meningkat, lalu suhu yang tinggi itu dikonversi menjadi energi gerak.

Sebagai contoh mesin motor dua tak. Mesin ini bergerak dengan tenaga bensin. Sebuah kompartemen akan dipenuhi uap bensin, lalu uap itu dipantik menggunakan busi. Dalam sekejap timbul letupan: uap bensinnya terbakar, suhunya jadi meningkat, kemudian udara dalam mesin memuai dengan cepat. Pemuaian-mendadak ini menghasilkan energi berupa tekanan; tekanan itu lalu dipakai untuk menggerakkan mesin.

[animasi mesin 2-tak]

Animasi mesin dua tak. Di bagian atas busi memantik uap, memicu pergerakan mesin.

(image credit: Wikimedia Commons)

Nah, kira-kira demikian contoh penerapan mesin kalor. Mesin kalor adalah mesin yang mengubah energi panas menjadi gerak. Tidak peduli bahan bakarnya uap, bensin, atau solar — asalkan memakai pemanasan dan pemuaian, maka termasuk mesin kalor.

Biasanya, kalau kita mendengar istilah “mesin”, yang terbayang adalah kesan modern. Seolah-olah cuma ada di abad perindustrian. Meskipun demikian mesin kalor sebenarnya sudah sangat tua. Prinsipnya sudah diketahui jauh sebelum Revolusi Industri. Seberapa jauhnya? Well…

Sebagian pembaca mungkin akan terkejut, akan tetapi mesin kalor sudah ada di Yunani abad pertama Masehi. Atau dalam istilah sejarahnya, Periode Hellenistik.

Mengenai mesinnya sendiri cukup banyak dan bervariasi. Salah satu di antaranya, yang cukup fenomenal, adalah mesin uap sederhana buatan Heron dari Alexandria. Dapat dibilang bahwa peradaban Yunani zaman itu telah memahami dasar-dasar keteknikan.

[Heron of Alexandria]

Heron dari Alexandria (c. 10-80 M)

(image credit: Wikimedia Commons)

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, ada baiknya kita “berkenalan” dengan mesin-mesin kalor warisan Yunani. Semuanya terdapat dalam buku berjudul Pneumatics karya Heron dari Alexandria. Bukunya sendiri cukup menarik — boleh dibilang semacam panduan teknik mesin zaman kuno.

    (versi terjemahan online Pneumatics dapat dibaca di: sini)

Seperti apa mesin-mesinnya, akan segera kita lihat. :D Meskipun begitu kita sempatkan dulu membahas insinyur pembuatnya.

 
Siapa itu Heron? Ulasan Singkat
 

Heron dari Alexandria diperkirakan lahir dan hidup pada abad pertama Masehi. Tidak banyak yang diketahui tentang dirinya, kecuali bahwa dia pernah mengajar teknik di Museum Alexandria. Adapun di samping teknik Heron juga banyak menulis tentang matematika dan optik. Salah satu penemuan besarnya, yang tidak terkait mesin, adalah rumus segitiga Heron. Rumus ini dipakai untuk menghitung luas segitiga jika diketahui tiga buah sisinya.

Adapun karya besar Heron adalah buku yang terdiri atas dua volume, Pneumatics. Dalam buku ini Heron menjelaskan tentang teknik mesin paling awal. Dengan menggunakan tuas, pipa, katrol, serta api dan air, seseorang dapat menciptakan mesin praktis.

Heron sendiri lebih banyak bermain dengan tuas dan hidraulik. Mesin kalor boleh dibilang sekadar sampingan. Meskipun begitu justru di bidang ini dia sangat kreatif dan inventif.

Seperti apa mesin-mesin kalor buatan Heron, akan segera kita lihat di bawah ini.

 
Contoh dan Analisis: Berbagai Mesin Kalor Heron

 
a) Sistem Pintu Otomatis
 

Salah satu karya Heron yang paling mencolok, yang memanfaatkan energi termal, adalah sistem pintu otomatis. Sebuah pintu yang berat dihubungkan dengan rangkaian pipa dan perapian. Apabila perapian dinyalakan maka pintu akan membuka; sebaliknya jika perapian mati maka pintu akan menutup.

Diagramnya kira-kira seperti di bawah ini.

[Pintu otomatis Heron]

Sistem pintu otomatis Heron

(image credit: Pneumatics, Section 37, trans. B. Woodcroft)

Dalam sistem di atas, perapian dibuat berbentuk altar, terhubung ke tangki bulat di bawahnya. Tangki bulat ini akan diisi penuh dengan air. Tangki bulat lalu dihubungkan dengan ember lewat selang KLM.

Pada saat api menyala, udara di bawah altar akan memanas, mengakibatkan terjadinya pemuaian. Udara yang memuai akan memasuki tangki bulat. Tangki bulat sudah penuh berisi air, dia tidak dapat menampung lebih — maka udara akan mendorong air masuk ke pipa KLM. Di titik ini air dari tangki bulat akan mengisi ember.

Selanjutnya gaya berat ember akan mendorong tuas yang terhubung pada pintu. Secara perlahan pintu akan bergerak terbuka! (o_O)

Lalu bagaimana jika kita mau menutup pintu? Di sinilah kejeniusan Heron menunjukkan diri. Cukup dengan mematikan api. Apabila api mati, udara di bawah altar akan mengerut kembali. Dalam prosesnya menimbulkan perbedaan tekanan antara tangki bulat dan ember.

Tangki bulat, karena udaranya menghilang, kini menjadi vakum. Oleh karena itu dia akan mengisi ulang dengan mengosongkan ember lewat selang KLM.

Hasilnya adalah situasi di mana ember kosong, tangki bulat penuh lagi, dan pintu tertutup! :D

Dengan memanfaatkan sifat udara memuai-dan-menyusut, sebuah sistem buka-tutup dapat dibuat. Kalau tidak tahu prosesnya, barangkali terlihat ajaib. Akan tetapi sebenarnya itu dicapai menggunakan hukum fisika.

 
b) Boneka Penyiram Air
 

Yang ini skalanya lebih kecil, meskipun begitu, prinsip kerjanya sama: memanfaatkan sifat udara memuai dan menyusut. Dalam rancangan ini sebuah boneka akan menyiram air jika api dinyalakan. Tak beda dengan pintu otomatis, mesin ini juga menerapkan perapian berbentuk altar.

[Boneka Penyiram Air Heron]

Sistem boneka penyiram air

(image credit: Pneumatics, Section 11, trans. B. Woodcroft)

Dalam ilustrasi terlihat bahwa sebuah pipa (bertanda “L”) menghubungkan tangan boneka dengan bawah panggung. Area bawah itu lalu diisi air hingga penuh. Sementara di bawah perapian terdapat pipa yang menggembung di tengah.

Dalam sistem ini, apabila api menyala, udara di bawah altar akan memuai. Pemuaian itu menekan air di bawah boneka — sedemikian hingga air terdorong masuk pipa L.

Akan tetapi menaikkan air berarti melawan gravitasi. Tidak bisa hanya dengan dorongan kecil. Di sinilah pipa gembung, yang di bawah altar, berperan penting.

Berdasarkan Hukum Bernoulli, udara yang melewati penampang besar akan menambah kecepatan melewati penampang kecil. Oleh karena itu gaya dorong menjadi besar. Akibatnya air tertekan lebih kuat, naik melawan gravitasi bumi, dan keluar dari tangan boneka. :D

Adapun karena tangan boneka diletakkan di atas altar, maka cucuran airnya akan mematikan api. Air yang tersisa akan diteruskan pipa kembali ke bawah panggung. Akhirnya situasi kembali seperti semula.

 
c) Mesin Uap Putar (Aeolipile)
 

Sistem terakhir, sekaligus yang paling signifikan secara teknik, adalah mesin uap putar. Menjadi signifikan karena dua hal: (1) geraknya menggunakan tenaga uap, dan (2) hasil geraknya berupa torsi.

Dalam bahasa umum, torsi dapat diibaratkan “gaya putar benda”. Misalnya roda gigi, jika diberi gaya maka akan berputar. Putaran itu lalu menyalurkan energi ke seluruh mesin. Oleh karena itu penemuan mesin uap yang menghasilkan torsi amat signifikan. Ibaratnya “separuh nyawa” mesin sudah ada.

[Mesin uap Heron (dual)]

Mesin uap putar (aeolipile); dilihat dari samping dan depan

(image credits: Wikimedia Commons | Pneumatics, Section 50, trans. B. Woodcroft)

Dalam rancangan di atas, sebuah cawan tertutup diisi dengan air. Di permukaan terdapat pipa yang bersambung dengan bola. Sambungan ini dibuat licin sehingga bola dapat berputar. Sebagai penutup, kulit bola mempunyai pipa bengkok yang melepaskan udara.

Heron membayangkan bahwa di bawah cawan terdapat api. Seiring jalannya waktu air dalam cawan akan mendidih. Uap air lalu mendorong ke atas, mengisi ke dalam bola. Akan tetapi uap air tidak lama di dalam bola: karena lubangnya terbuka, uap akan keluar melalui pipa bengkok.

Nah, di sinilah pergerakan dimulai. Melalui pipa bengkok uap air akan menyembur, menimbulkan gaya tolak. Kedua sisi pipa bengkok akan bersinergi saling mendorong. Akibatnya jelas: bola akan berputar di porosnya. :D

Sayangnya mesin uap Heron punya kelemahan, geraknya cuma sebentar. Sebagaimana bisa dilihat dalam video di bawah: uap yang jadi sumber energi tidak ditampung, melainkan dibuang ke udara. Oleh karena itu dia cuma berfungsi selama airnya belum habis. :|

Amat disayangkan memang. Betul bahwa dia tenaga uap dan bisa berputar. Akan tetapi di luar itu, zero.

Video eksperimen Mesin Uap Heron

Desain di atas adalah mesin uap pertama yang tercatat sejarah. Di satu sisi dia tidak sempurna, akan tetapi di sisi lain, pembuatnya sudah menyadari potensi energi uap. Biarpun tidak efektif tapi prinsip kerjanya sudah benar.

Adapun mesin uap Heron akhirnya terlupakan hingga era Renaissance. Baru belakangan, sesudah beberapa generasi mesin uap yang tidak efisien, James Watt datang dan menyempurnakan. Penemuan Watt akhirnya mendorong terwujudnya Revolusi Industri.

Menarik dibayangkan, apa jadinya jika mesin uap Heron dikembangkan serius sejak awal. Bukan tak mungkin Revolusi Industri datang lebih cepat. Akan tetapi itu cerita lain untuk saat ini. :)

 
Penutup: Menghargai Kepintaran Orang Dulu
 

Ada satu hal yang menarik yang saya temui setiap kali membaca tentang sejarah ilmu pengetahuan. Kalau membaca judul di atas tentu pembaca bisa menebak. Hal itu adalah kekaguman pada jalan pikiran orang-orang dulu.

Disadari atau tidak, sehari-hari kita sering membayangkan sejarah sebagai “Sebelum Pencerahan” dan “Sesudah Pencerahan”. Seolah terdapat era khusus di mana kemajuan besar-besaran terjadi, mengantarkan ke zaman modern. Sementara dunia sebelum itu digambarkan miskin, buruk, gelap-gulita, dan tertinggal.

Seolah-olah terdapat titik yang pasti di mana orang dibawa dari kegelapan menuju zaman yang terang-benderang dan penuh ilmu pengetahuan.

Masalahnya pendapat itu tidak akurat. Dalam sejarah sering ada penemuan hebat di masa lalu, tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya terabaikan. Baru di masa depan orang menyadari bahwa mereka melewatkan “ide bagus”.

Contohnya tentu mesin-mesin Yunani di atas. Mendengar istilah “mesin kalor” dan “mesin uap”, seolah terasa modern, padahal sebenarnya… tidak juga. :mrgreen: Justru para ilmuwan Yunani sudah paham prinsipnya. Memang hanya secara intuitif, tidak ada landasan ilmu termodinamika, meskipun begitu mereka tetap mendapatkan ilmunya. Pengetahuan itu lalu diterapkan lewat mesin sederhana.

Begitu juga dengan ilmu alkimia. Biarpun pendekatannya ‘ajaib’ dan penuh mitos akan tetapi mampu bersumbangsih pada ilmu pengetahuan. Banyak metode eksperimen kimia modern yang berasal dari catatan para alkemis. Begitu juga terdapat senyawa-senyawa yang pertama kali ditemukan oleh mereka. (Selanjutnya bisa dibaca di tulisan yang di-link)

Di setiap zaman selalu ada orang-orang yang menelurkan hal baru. Baik itu pendapat baru, teknik baru, atau malah cara pandang baru. Adapun dalam beberapa kasus pembaruannya begitu drastis, sedemikian hingga mengubah arah sejarah.

Walhasil, dalam membaca sejarah ilmu, kita harus siap untuk “dikagetkan” masa lalu. Justru bagus jika kita — pembaca modern — jadi garuk-garuk kepala usai membacanya. Sebab itu berarti kita dapat pencerahan.

Bukan tak mungkin dalam prosesnya akan terlintas, “Ternyata orang dulu hebat juga ya?” Or something like that… :lol:

 

——

Referensi
 

Heron of Alexandria. (1851). The Pneumatics (terj. Bennet Woodcroft). London: Taylor Walton & Maberly.

Papadopoulos, E. (2007). Heron of Alexandria (c. 10–85 AD). dalam Ceccarelli, M. (ed.). Distinguished Figures in Mechanism and Machine Science: Their Contributions and Legacies, Part 1 (hlm. 217-245). Dordrecht: Springer.


Filsafat Stoik, Eudaimonia, dan Cara Menyikapi Hidup

$
0
0

Dalam dunia filsafat Yunani Kuno, terdapat sebuah mazhab pemikiran bernama Stoikisme. Mazhab ini termasuk yang paling berpengaruh dalam sejarah. Bersama dengan Platonisme dan mazhab Peripatetik, berbagai ajaran Stoik mewarnai dunia pemikiran Barat.

Filsafatnya sendiri mempunyai sejarah panjang. Mazhab Stoik pertama kali didirikan di abad ketiga SM, meskipun demikian, hingga abad kedua Masehi masih banyak filsuf yang menganutnya. Tidak kurang dari Marcus Aurelius — Kaisar legendaris Romawi — termasuk di dalamnya. Dapat dibilang bahwa selama 500 tahun pengajarannya tidak putus.

Filsuf Mazhab Stoik

Filsuf Stoik dari masa ke masa: Zeno dari Citium, Posidonius, Seneca, dan Marcus Aurelius

(image credits: Wikimedia Commons)

Namanya aliran filsafat tentu punya ajarannya sendiri. Demikian juga Kaum Stoik, pemikiran mereka tersebar di berbagai area. Akan tetapi yang paling terkenal dari mazhab Stoik bukanlah filsafat yang njelimet. Justru sebaliknya: warisan utama mereka adalah cara menjalani hidup.

Dalam bahasa Inggris modern, kita mengetahui kata sifat “stoic”. Artinya sikap keteguhan mental dalam situasi apapun. Seseorang yang stoic — menurut bahasa Inggris — dapat tabah dan berpikiran jernih dalam menghadapi persoalan.

Nah, begitu juga dengan para filsuf mazhab Stoik. Ajaran mereka menekankan pentingnya keteguhan mental. Baik itu di saat senang maupun sedih.

Seperti apa ceritanya, akan segera kita lihat. Akan tetapi saya harus cerita dulu tentang konsep kebaikan umum dalam Filsafat Yunani: Eudaimonia.

 
Pengenalan Filsafat: Eudaimonia
 

Dalam dunia filsafat Yunani, kata ini sangat sering disebut. Secara harfiah eudaimonia berarti “kebaikan jiwa”. Secara definisi, apabila orang mempunyai eudaimonia, maka hidupnya selalu patut dan bermakna.

Adapun kebaikan jiwa versi eudaimonia bukan cuma filosofis, melainkan juga fisik dan emosional. Sewaktu sekolah dulu kita sering mendengar “mens sana in corpore sano”, dalam badan sehat terdapat jiwa yang kuat. Prinsip itu juga berlaku pada eudaimonia. Kebaikan yang dikandungnya melibatkan jasmani dan rohani.

Oleh karena itu, wajar jika berbagai mazhab filsafat berlomba-lomba mewujudkan eudaimonia. Secara garis besar dapat dibuat list sebagai berikut.

Tentunya di sini timbul pertanyaan, bagaimana dengan mazhab Stoik?

Nah, mazhab Stoik mempunyai argumennya sendiri. Mereka menilai bahwa kebahagiaan sejati — eudaimonia — diraih apabila orang hidup selaras dengan alam. Secara alami manusia adalah makhluk sosial, maka ia harus bersosial. Demikian juga manusia mempunyai sifat membutuhkan makan dan minum, maka kebutuhan itu harus dipenuhi. Apabila hasrat alami manusia tidak dipenuhi maka tidak akan bahagia hidupnya. (baca: tidak akan mencapai eudaimonia)

Adapun kaum Stoik memandang alam (kosmos) sebagai sistem yang rasional, dalam arti mempunyai ‘aturan main’ yang logis (hukum alam). Manusia dalam pandangan Stoik adalah bagian dari alam. Oleh karena itu, jika manusia ingin hidup nyaman, dia harus mampu beradaptasi di dalamnya. (Meyer, 2008, hlm. 139)

Mengenai hal ini dapat diilustrasikan lewat kutipan Marcus Aurelius:

Everything harmonizes with me, which is harmonious to thee, O Universe. Nothing for me is too early nor too late, which is in due time for thee. Everything is fruit to me which thy seasons bring . . . from thee are all things, in thee are all things, to thee all things return.

 
(Marcus Aurelius, “Meditations” IV.23, terj. George Long)

Dengan demikian kita sudah mendapat landasan eudaimonia kaum Stoik. Selanjutnya kita akan melihat perspektif kaum Stoik dalam menjalani hidup.

 
Pandangan Stoik: Saat Menerima, Saat Mengubah
 

Sebagaimana sudah diuraikan, Mazhab Stoik percaya bahwa kebahagiaan tercapai jika orang hidup selaras dengan alam. Prinsip itu kemudian diperluas memasuki ranah sosial.

Kaum Stoik memandang bahwa — hingga taraf tertentu — jalannya kehidupan tidak bisa diatur. Seseorang tidak memilih dilahirkan di mana. Begitu pula dia tidak tahu besok bertemu siapa; apakah akan tertimpa musibah; atau lain sebagainya. Betul bahwa orang dapat berusaha dan berkehendak, akan tetapi kadang terdapat situasi yang tak bisa dilawan. (Irvine, hlm. 86-89)

Dalam kalimat Epictetus,

There are things which are within our power, and there are things which are beyond our power. Within our power are opinion, aim, desire, aversion, and, in one word, whatever affairs are our own. Beyond our power are body, property, reputation, office, and, in one word, whatever are not properly our own affairs.

 
(Epictetus, “Enchiridion”, terj. T.W. Higginson)

Masalahnya kadang hal-hal yang terjadi dalam hidup membuat kita menderita. Lalu bagaimana solusinya?

Di sinilah Kaum Stoik merumuskan pandangan: ada saatnya orang harus mengubah atau menerima. Apabila peristiwa buruk bisa diperbaiki, maka harus diperbaiki. Akan tetapi jika tidak dapat diperbaiki, orang harus belajar untuk menerima. Istilahnya harus legowo. Sebab mau bagaimana lagi? Faktanya tidak bisa diubah. Mau dibawa sedih juga percuma. :lol:

Seorang Stoik mempunyai masalah, maka dia coba selesaikan. Akan tetapi jika sudah mentok — dia tahu bahwa dia sudah berbuat sebaik mungkin. Tak ada yang perlu disesali. Peristiwa itu kemudian dianggap sebagai ketetapan semesta. (divine providence)

Adapun prinsip di atas terpancar jelas dalam jurnal pribadi Marcus Aurelius. Namanya juga Kaisar, beliau punya banyak musuh, baik politik ataupun perang. Meskipun begitu Aurelius selalu mengingatkan diri: segala peristiwa, termasuk jalan hidupnya, adalah bagian pergerakan kosmos. Tugasnya adalah memutuskan untuk menanggapi atau menerima. Apabila hendak menanggapi maka harus jelas caranya. (Marcus Aurelius, “Meditations”, VI.19-22)

Pembaca yang religius-monoteis kemungkinan menganalogikan dengan “kehendak Tuhan”. Di satu sisi memang ada cocoknya, tetapi harus dicatat bahwa kosmos di sini bersifat impersonal — berbeda dengan Tuhan yang dihubungi lewat doa. Dalam bahasa filsafat disebut sebagai semesta yang panteistik dan deterministik. (Meyer, 2008, hlm. 138-140)

 
Stoikisme dan Manajemen Emosi
 

Menariknya, biarpun pada prinsipnya Kaum Stoik dapat disebut ‘tawakal’, mereka sadar bahwa melaksanakannya tidak mudah. Oleh karena itu mereka merancang siasat kejiwaan tersendiri — boleh dibilang trik psikologi zaman kuno.

Filsafat Stoik mengakui bahwa emosi adalah hasrat alami manusia, oleh karena itu orang tidak dituntut untuk memusnahkannya. Meskipun demikian mereka mewanti-wanti satu hal: karena dorongannya kuat, emosi bisa membawa orang pada kehancuran. Orang yang tidak dapat mengontrol emosi ibaratnya hidup dalam bahaya. (Inwood & Donini, 1999)

Meskipun demikian, entah karena apa, di masa kini orang menganggap pribadi stoic sebagai total-rasional dan tidak berperasaan. Mengenai hal ini ada banyak contohnya, dan yang cukup terkenal misalnya…

Spock-Quinto

Karikatur Stoik versi Hollywood: dikagumi pria dan disukai wanita

(image credit: Wikipedia)

Bukan berarti salah sih. Ada benarnya, tapi ya cuma begitu saja. Kepribadian Stoik yang sebenarnya agak lebih kompleks. :P

Oleh karena itu, di bagian ini kita akan sedikit meluruskan kesalahpahaman. Betul bahwa Stoikisme mengutamakan ketenangan batin, akan tetapi bukan berarti semua emosi diberangus. Lebih tepat jika disebut “manajemen emosi”.

 
With that said, sekarang kita akan bahas psikologi Kaum Stoik.

Sebagaimana sudah disebut, doktrin Stoik mengutamakan keselarasan. Keselarasan itu mencakup dua aspek: (1) ketetapan semesta (nomos), dan (2) kematangan sikap mental (prohairesis). Seorang penganut Stoik berusaha memadukannya. Apabila berhasil maka dia akan mencapai kebahagiaan (eudaimonia).

Meskipun demikian, dalam proses melakukannya, ada kendala yang mesti diwaspadai. Kendala itu adalah rasa ingin yang berlebihan. Dalam bahasa Indonesia istilahnya kira-kira “hawa nafsu”.

Nafsu yang diumbar dapat membawa kerugian, akan tetapi masalahnya, semakin dilawan justru dia semakin kuat. Padahal belum tentu kita dapat — atau boleh — memenuhi nafsu tersebut.

Menurut Epictetus,

[If] you desire any of the things not within our own power, you must necessarily be disappointed; and you are not yet secure of those which are within our power, and so are legitimate objects of desire. Where it is practically necessary for you to pursue or avoid anything, do even this with discretion, and gentleness, and moderation.

 
(Epictetus, “Enchiridion”, terj. T.W. Higginson)

Oleh karena itu Kaum Stoik merumuskan sebuah doktrin. Seseorang dikatakan bebas apabila dia tidak diperbudak oleh keinginan. Orang yang bebas, menurut Filsafat Stoik, dapat melihat godaan sambil tetap berpikir jernih.

Sebagai contoh, ketika melihat makanan yang enak dia tidak serta-merta menjadi rakus. Demikian juga saat melihat istri orang dia tidak kontan ingin merebutnya. Kebebasan tidak terletak pada pemenuhan hasrat, melainkan pada kemampuan bersikap tenang di tengah godaan. Apakah godaan itu mau diikuti atau tidak, itu diserahkan pada rasio. Inilah doktrin keutamaan Filsafat Stoik.

Bukan berarti seorang Stoik tidak boleh menikmati hidup; boleh saja bersenang-senang, asal tidak berlebihan. Lagi-lagi kita mengacu pada Marcus Aurelius.

Sebagai Kaisar Romawi, Aurelius mempunyai akses pada kekayaan. Dia pun mempunyai istri dan anak. Akan tetapi yang membedakan, Aurelius tidak hanyut dalam keduniaan. Dia adalah orang yang sangat hati-hati menjaga prohairesis.

Take care that thou art not made into a Caesar, that thou art not dyed with this dye; for such things happen. Keep thyself then simple, good, pure, serious, free from affectation, a friend of justice, a worshipper of the gods . . . Short is life. There is only one fruit of this terrene life, a pious disposition and social acts.

 
(Marcus Aurelius, “Meditations” VI.27, terj. George Long)

Manajemen emosi kaum Stoik, pada akhirnya, bukan total penihilan emosi, melainkan penyeimbangan dengan kodrat. Intinya pada bagaimana orang bisa tetap tenang, logis, dan rasional di dalam hidup. Baik itu di saat senang maupun sedih; di depan godaan ataupun musibah.

 
Penutup: Eudaimonia dan Zaman Modern
 

Di zaman modern kita sering melihat tokoh fiksi yang sangat-tenang dan selalu logis. Yang semacam ini sangat populer. Mulai dari Sherlock Holmes, Mr. Spock, hingga yang lebih lawas Phileas Fogg. Para tokoh ini diceritakan punya kecerdasan tinggi dan selalu bersikap dingin — sering disebut berkarakter stoic.

Meskipun demikian, sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, pandangan itu agak terlalu karikatur. Memang sih, ada proponen Stoikisme yang radikal, menganggap emosi sebagai pengganggu hidup. Akan tetapi Stoikisme sejatinya lebih luas daripada “bersikap pintar tanpa emosi”. Bagaimana filsafat bisa membantu orang hidup tenang, seimbang, dan rasional — itu dia yang dikejar.

Lalu mungkin kita harus menyebut kebebasan. Di abad ke-21 kita biasa mendengar istilah “kebebasan”, di mana prinsipnya boleh memenuhi keinginan sejauh tidak merugikan orang. Oleh karena itu orang boleh menulis buku, berdemonstrasi; orang juga boleh berpacaran atau makan di restoran serakusnya (asal bisa bayar). Kebebasan macam ini sifatnya memenuhi keinginan — baik itu lahir maupun batin.

Meskipun demikian, persepsi Stoik tentang kebebasan agak berbeda. Kaum Stoik memandang bahwa kebebasan terjadi pada saat orang mampu mengontrol diri. Ketika diprovokasi dia dapat memutuskan apakah perlu membalas atau tidak. Ketika disuguhi makanan dia memutuskan apakah sesuai dengan kondisi kesehatan; apakah dia sudah kenyang; di samping juga apakah dia mampu membayar.

Sekarang coba bayangkan: seandainya ada orang yang begitu melihat gadis cantik bawaannya ingin membawa pergi, atau ketika melihat uang bawaannya ingin korupsi. Bisakah orang macam ini disebut bebas? Saya rasa, tidak! :mrgreen:

Sebab, sebagaimana disampaikan oleh Lucius Seneca,

We are all chained to Fortune: some men’s chain is loose and made of gold, that of others is tight and of meaner metal. But what difference does this make? We are all included in the same captivity . . .

 
(Seneca, “Of Peace of Mind”, terj. Aubrey Stewart)
(dengan perubahan seperlunya)

 

 
——

Daftar Pustaka

 
Epictetus. (1890). The Works of Epictetus: His Discourses, in Four Books, the Enchiridion, and Fragments (terj. Thomas Wentworth Higginson). New York: Thomas Nelson & Sons

Inwood & Donini. (1999). Stoic Ethics. dalam Algra, Barnes, et. al. (ed.). Cambridge History of Hellenistic Philosophy (hlm. 675-738). Cambridge: Cambridge University Press

Irvine, W.B. (2009). A Guide to Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy. New York: Oxford University Press.

L. Annaeus Seneca. (1900). Minor Dialogs Together with the Dialog “On Clemency” (terj. Aubrey Stewart). London: George Bell & Sons

Marcus Aurelius. (1914). The Meditations of Marcus Aurellius (terj. George Long). New York: P.F. Collier & Son

Meyer, S.S. (2008). Ancient Ethics, a Critical Introduction. New York: Routledge



Fun with Math: Lingkaran dalam Lingkaran

$
0
0

Waktu saya masih SD dulu, ada sebuah mainan yang cukup populer, melibatkan penggaris berlubang dan roda gigi. Namanya adalah spirograf, dan fotonya bisa dilihat di bawah ini.

[img] Spirograf

Penampakan sebuah spirograf. Ada yang ingat?

(image credit: Wikimedia Commons)

Adapun cara mainnya cukup sederhana. Ujung pensil dimasukkan ke roda gigi, lalu roda gigi diputar-putar mengikuti bentuk lingkaran. Torehan pensil menggambarkan pola pergerakan di atas kertas. Dari situ terbentuk pola ornamen yang rumit.

[img] Pola spirograf

Contoh pola yang dihasilkan spirograf

(image credit: Wikimedia Commons)

Nah, proses kerja spirograf itu mempunyai padanan di dunia matematika. Sebuah lingkaran berputar dalam lingkaran, maka dia menghasilkan pola baru yang menarik. Pola itu kemudian diwujudkan berbentuk grafik.

Menariknya, semua berawal dari peristiwa yang umum: sebuah lingkaran menggelinding di garis lurus.

 
Dari Mana Datangnya Pola? Berkenalan dengan Cycloid
 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat benda bergerak menggelinding. Misalnya ban mobil di jalan raya, bola sepak di lapangan, atau lain sebagainya. Di dunia matematika gerak menggelinding ini punya bahasan tersendiri. Dia dapat dianalisis menggunakan cycloid — secara kasar bisa diindonesiakan menjadi “jejak gelinding”.

Ilustrasinya seperti di bawah ini.

[img] cycloid

Animasi penggambaran cycloid

(image credit: Wikimedia Commons)

Dalam animasi di atas, garis merah menandai pergerakan titik di tepi lingkaran. Mirip dengan pentil ban mobil yang sedang berjalan — secara posisi dia berotasi sekaligus bergerak lurus. Oleh karena itu pola yang terbentuk merupakan “persilangan” di antara keduanya. Dibilang lurus, ya lurus; tapi dibilang berputar juga iya. :P

Nah, sekarang kita melangkah lebih jauh.

Dalam animasi kita lihat lingkaran menggelinding di garis lurus. Sekarang ada ide bagus: bagaimana kalau garis lurus itu kita bengkokkan jadi lingkaran? Jadi menggelindingnya bukan lagi di garis lurus — lingkarannya akan menggelinding di dalam lingkaran!! :D

Misalnya kita mempunyai lingkaran berjari-jari 1 meter, menggelinding di lintasan lurus sepanjang (kira-kira) 18 meter. Lintasan lurus itu lalu kita bengkokkan sehingga jadi lingkaran; hasilnya akan mirip animasi di bawah ini.

[img] deltoid

AAAAHHHHHH!!!!

(image credit: Wikimedia Commons)

 
Hypocycloid: Lingkaran dalam Lingkaran
 

Ilustrasi terakhir di atas menggambarkan sebuah hypocycloid, yaitu cycloid (“jejak gelinding”) yang terjadi dalam lingkaran. Nama itu datang dari bahasa Yunani hypo (“di bawah”/”dalam pengaruh”) + cycloid.

Dengan demikian, hypocycloid berarti cycloid yang terjadi dalam lingkaran. Sekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hypocycloid.

Sebagaimana dapat diamati, sebuah sistem hypocycloid mempunyai lingkaran dalam lingkaran. Lingkaran yang besar kita sebut berjari-jari R. Sementara yang lebih kecil kita sebut berjari-jari r.

Perbedaan nilai R dan r ini akan menentukan bentuk pola yang muncul. Dalam animasi kita sudah melihat sebuah hypocycloid berkelopak tiga. Menjadi seperti itu karena nilai jejari R 3x lebih besar daripada r.

Panjang lintasan = 3x panjang gelindingan lingkaran. Oleh karena itu terbentuk cycloid dengan tiga “bukit”. Adapun karena lintasannya melingkar — maka cycloid jadi ikut berbentuk melingkar.

Lalu, bagaimana kalau nilai perbandingan R/r berubah? Simpel: jumlah kelopaknya juga ikut berubah! :D

Misalnya untuk rasio R/r = 4, animasinya akan menjadi:

[img] hypocycloid k=4

Animasi hypocycloid untuk R/r = 4

(image credit: Wikimedia Commons)

Adapun untuk bilangan bulat lain, pola-polanya akan seperti di bawah ini.

[img] hypocycloids

Pola hypocycloid untuk berbagai nilai R/r

(image adapted from Wikimedia Commons)

Rasio antara R/r ini selanjutnya kita sebut k. Secara rumus dapat ditulis,

\dfrac{R}{r} = k

 
Bagaimana jika k = pecahan? Pola Tumpang-tindih
 

Sejauh ini kita sudah melihat hypocycloid untuk nilai k bilangan bulat. Jumlah kelopak yang terbentuk ternyata sama dengan k.

  • Apabila k = 3, maka jumlah kelopak = 3
  • Apabila k = 4, maka jumlah kelopak = 4
  • …dan seterusnya

 
Nah tapi ada pertanyaan. Bagaimana jika k bernilai pecahan?

Jawabannya… akan kita lihat di bawah ini. :?:

Kita ambil contoh nilai k = 4,5. Tidak mungkin ada jumlah kelopak sebesar 4,5 — kan begitu? Oleh karena itu harus diproses lebih dahulu.

Apabila rasio k tidak bulat, maka harus dibuat menjadi bentuk pecahan sederhana. Dalam contoh kita terdapat k = R/r = 4,5. Maka kita modifikasi…

\dfrac{R}{r} = 4,5

R = 4,5 r

2R = 9r

\dfrac{R}{r} = \dfrac{9}{2}

 
Pecahan 9/2 di atas adalah bentuk paling sederhana. Selanjutnya dapat kita tulis R:r = 9:2.

Nah, pecahan ini mengakibatkan berubahnya proses menggambar. Prosesnya akan kita lihat bersama sebagai berikut.

Sebuah hypocycloid memiliki perbandingan R:r = 9:2

Oleh karena itu, lingkaran kecil dapat menggelinding 9 kali dalam 2 putaran, menciptakan 9 buah kelopak dalam 2 putaran.

 

[img] cycloid

Ingat proses dasarnya: setiap lingkaran menggelinding 1x, menciptakan 1 kelopak

 

Dalam 2 putaran terjadi 9 kali gelinding = tercipta 9 kelopak.

Akan tetapi, karena 9 kali gelinding dilakukan dua putaran, kurvanya jadi dua kali lebih panjang. Kurva cycloid pada k = 4,5 dua kali lebih panjang daripada jika k = 9. (lihat gambar di bawah)

Oleh karena dia harus membentuk 9 kelopak, tetapi kurvanya jauh lebih panjang, maka terjadi peristiwa unik: persilangan garis lengkung. Pola hypocycloid jadi saling memotong! :shock:

 

[img] hypocycloids comparison

Perbandingan hypocycloid: satu kali putar vs. dua kali putar.

(image adapted from Wikimedia Commons)

Di sini terlihat bahwa pada nilai pecahan k tertentu, akan terbentuk persilangan garis lengkung, menghasilkan pola yang rumit. Persilangan garis lengkung itu akan terjadi jika hypocycloid memenuhi syarat berikut:

\dfrac{R}{r} -1 > \dfrac{1}{r}

Pola persilangan akan makin rumit jika melibatkan angka-angka pecahan yang makin besar. Sebagai contoh 18/5, 23/3, dan sebagainya. Di bawah ini saya tampilkan sebagian ilustrasinya.

[img] hypocycloids for rational k

Berbagai hypocycloid untuk nilai k tidak bulat

(image adapted from Wikimedia Commons)

Adapun jika bilangan k bersifat irasional, sebagai contoh √2, maka dia akan menghasilkan pola yang mbulet dan tak-berujung. Tidak akan selesai digambar. Sebab bilangan irasional akan mengakibatnya terjadinya kelopak sejumlah tak-hingga. (Contoh gambarnya dapat dilihat di sini)

 
Kembali ke Awal: Hubungan Spirograf dengan Hypocycloid
 

Di awal tulisan saya menyinggung mainan spirograf. Mainan itu bekerja dengan prinsip lingkaran-bergerak-dalam-lingkaran. Sebagaimana sudah dilihat cara kerja itu memiliki padanan di bidang matematika.

Meskipun demikian, spirograf agak unik, sebab jika kita masukkan pensil ke roda gigi, posisi pensilnya tidak tepat di tepi lingkaran. Sedangkan pada hypocycloid kurva mengacu pada titik di tepi lingkaran. Jadi harus ada kompensasi supaya akurat.

Teknik kompensasinya adalah dengan menggeneralisir prinsip hypocycloid menjadi hypotrochoid. Sebuah hypotrochoid dapat menggambar pola dengan jari-jari apapun terserah kita. Di sini bedanya dengan uraian di atas. Nilai jari-jari hypotrochoid tidak perlu mengikuti nilai R, r, atau k. Bahkan kalau jari-jarinya keluar lingkaran pun tak masalah! :P

Meskipun begitu kita tak akan membahas hypotrochoid di sini; saya yakin pembaca juga sudah lelah. Cukuplah jika dicontohkan penerapannya berupa animasi.

[img] hypotrochoid out k = 5/3

Animasi dengan jari-jari besar, k = 5/3

(image credit: Wikimedia Commons)

[img] hypotrochoid in k = 5/3

Animasi dengan jari-jari kecil, k = 5/3.
Yang ini prinsipnya dipakai dalam spirograf.

(image credit: Wikimedia Commons)

Menariknya dengan hypotrochoid, prinsip kerjanya relatif sama dengan hypocycloid. Ada kelopak, ada rasio k, dan bentuknya bisa rumit juga. Sebenarnya memang landasannya sama — yang membedakan cuma jari-jari spesial pilihan kita. Secara topologi sendiri bentuk yang mereka hasilkan serupa.

 
Penutup
 

Saya tahu, bahwasanya kalau menulis di blog, kemunculan rumus bisa membuat trauma. Tidak semua orang pernah mendapat matematika tingkat kuliah, jadi sebisa mungkin sebaiknya dihindari. Meskipun begitu kita di sini membahas matematika jadi… yah, di atas itu ada sedikiiit saja. Mudah-mudahan pembaca tidak keberatan. :P

Meskipun demikian, mudah-mudahan penjelasannya tetap efektif. Sebab namanya matematika banyak sekali contohnya dalam hidup. Hanya saja, karena sering dijelaskan dengan persamaan abstrak, jadinya membuat orang malas. Akhirnya gagasan utamanya terlewat.

Ini bukan berarti rumus tidak penting — rumus itu sangat penting. Akan tetapi, bagaimana mendapat intuisi di balik rumus, itu dia yang lebih penting. Jika sudah terbayang, biasanya orang bakal ngeh di mana menariknya. :D

Saya sendiri bukan orang Matematika, cuma suka mengamati kalau sedang senggang. Adapun penjelasan di atas sangat menyederhanakan dan tidak rigorous — jadi, harap maklum…

 

 
——

Referensi:

(buku)

    Lawrence, J.D. (1972). A Catalog of Special Plane Curves. New York: Dover Publications

(online)


Masyarakat Terbuka dan Dunia yang Tak Sempurna

$
0
0

Bapak Karl Popper, filsuf Inggris kelahiran Austria, boleh dibilang sosok yang skeptis tanpa kompromi. Sebagai pemikir beliau mempunyai cara pandang yang unik: bahwasanya semua idealisme itu semu dan menyesatkan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, demikian kata Popper. Namun bukan berarti orang tak bisa berusaha — biarpun mustahil mencapai kesempurnaan, orang selalu bisa melakukan pendekatan.

Popper sendiri bukanlah pemikir sembarangan. Salah satu hasil karyanya adalah metodologi ilmiah yang kita kenal. Oleh karena itu, wajar jika dia dianggap salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah.

Karl Popper (1902-1994)

Karl Popper (1902-1994)

(photo credit: Wikipedia)

Mengapa beliau disebut “skeptis tanpa kompromi”, ini ada ceritanya lagi, dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

 
Berangkat dari Metodologi Ilmiah
 

Dalam sebuah posting lama di blog lama, saya pernah bercerita tentang David Hume dan Problem Induksi. Mengenai hal ini sebaiknya dibaca di posting yang di-link, meskipun begitu ada baiknya kita review sedikit di sini.

Sebagai seorang filsuf, Hume meyakini bahwa peristiwa yang terjadi esok hari tidak pasti. Sebagai dampaknya pengetahuan kita tentang kebenaran juga terpengaruh. Terkait hal ini terdapat contoh legendaris berupa angsa hitam.

Di Eropa zaman dulu, sebelum benua Australia ditemukan, tidak pernah terlihat angsa berwarna hitam. Setiap kali terdapat angsa warnanya selalu putih. Sedemikian hingga terbentuk anggapan bahwa “semua angsa berwarna putih”.

Meskipun begitu, seiring penemuan benua Australia, anggapan tersebut hancur lebur: bahwasanya terdapat angsa berwarna hitam di Australia. Oleh karena itu “kebenaran” yang tadinya diterima jadi tidak berlaku.

angsa hitam (via wikimedia commons)

Penampakan angsa berwarna hitam

(photo credit: Wikimedia Commons)

Nah, peristiwa “angsa hitam” di atas juga punya padanan di dunia ilmiah. Kalau pembaca akrab dengan fisika pasti tahu contohnya. Hukum Gravitasi Newton yang berumur ratusan tahun ternyata punya kekurangan yang terpantau belakangan. Peristiwa ini mendorong Albert Einstein merumuskan Teori Relativitas Umum yang lebih lengkap daripada versi Newton.

Oleh karena itu di masa kini statusnya berganti. Jika dulu Hukum Gravitasi yang “sebenarnya” adalah versi Newton, maka sekarang Hukum Gravitasi yang “sebenarnya” adalah versi Einstein. (kata “sebenarnya” diberi tanda kutip — bisa saja di masa depan Einstein terbukti salah)

Dapat dibilang bahwa kebenaran hari ini tidak sama dengan kebenaran minggu lalu. Demikian pula, kebenaran minggu depan belum tentu sama dengan kebenaran hari ini.

Apa hubungannya dengan Karl Popper, nah, ini segera kita bahas. :D

Pada dasarnya Popper setuju dengan pandangan Hume. Apa yang terjadi esok hari tidak pasti; yang bisa kita lakukan hanyalah sebisa mungkin menyaring kebenaran. Popper berpendapat bahwa ilmu pengetahuan sejati tidak pernah tetap — melainkan harus terus di-update.

Prinsip itu diturunkan dari metodologi ilmiah; diagramnya dapat dilihat di bawah ini.

metodologi ilmiah Popper

(ilustrasi pribadi)

Sebuah keyakinan, atau dalam bahasa ilmiahnya hipotesis, harus terus dibuktikan kebenarannya. Baik itu lewat pengalaman hidup, eksperimen di laboratorium, atau sebagainya. Apabila benar maka dapat dipertahankan. Namun apabila salah, maka harus diperbaiki atau diganti.

Di sini kesesuaian dengan realitas menjadi penting. Popper menganggap bahwa realitas tertinggi itu ada. Hanya saja, karena keterbatasan upaya, manusia takkan mengerti sepenuhnya.

Sebagaimana Hukum Newton diganti Einstein, demikian pula Einstein hampir pasti akan digusur ilmuwan lain. Dari waktu ke waktu pemahaman manusia akan dunia terus berubah, dan itu tercermin lewat sejarah.

 
Popper Menolak Kesempurnaan
 

Sebagaimana telah diuraikan, Popper memandang bahwa “kebenaran” yang dipersepsi manusia tidak tetap. Betul bahwa ada alam semesta yang nyata, akan tetapi orang takkan dapat memahami secara perfect. Yang bisa dilakukan hanyalah memperbaiki pengetahuan sambil berjalan.

Sekilas pandangannya mengingatkan terhadap Plato: bahwa kesempurnaan itu ada, cuma tidak tergapai di dunia. Namun demikian salah besar jika mengatakan Popper terinspirasi Plato. Justru sebaliknya, Popper sangat benci pada Plato. Secara khusus dia menyerang gagasan idealisme Yunani Kuno.

Filsafat idealisme mempunyai doktrin, untuk mencapai kenyataan tertinggi harus murni lewat akal-budi. Seluruh peristiwa di dunia ibaratnya sekadar “cerminan” atau “indikasi”. Adapun untuk mencapai pengetahuan sempurna orang harus melakukan jalan intelektual — sebagai contoh lewat filsafat atau matematika.

Di sinilah Popper tak setuju. Dia menganggap idealisme dalam filsafat sebagai angan-angan yang tercerabut dari kenyataan. Segala macam idealisme, menurut Popper, hanya berkutat dengan pemikiran. Sementara belum tentu pemikiran itu akurat menggambarkan dunia.

Salah satu kritik Popper terhadap idealisme terdapat dalam karya berjudul Conjectures and Refutations:

Every serious test of a theory is an attempt to refute it. Testability is therefore the same as refutability, or falsifiability. . . . If this ‘criterion of refutability’ is accepted, then we see at once that philosophical theories, or metaphysical theories, will be irrefutable by definition. . . . And this brings us to the crux of our problem: If philosophical theories are all irrefutable, how can we ever distinguish between true and false philosophical theories?

 
(Popper, 1962, hlm. 197)
(cetak tebal ditambahkan)

Dalam hal ini dia mengkritik idealisme (dan pemikiran metafisika pada umumnya) sebagai “tidak bisa dibuktikan benar-salahnya”. Metodologi ilmiah Popper mensyaratkan pengujian secara empiris. Namun metafisika berada di domain yang berbeda — maka tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Analoginya seperti permainan menebak bentuk hidung kaisar Cina. Namanya tebak-tebakan, bisa saja hasilnya akurat. Akan tetapi benar atau tidaknya tebakan itu tidak dapat diverifikasi. Alhasil di sini terjadi semacam deadlock.

 
Pun demikian, kritik Popper yang paling keras dialamatkan pada angan-angan kesempurnaan di bidang sosial. Secara khusus dia mengkritik ideologi yang mengedepankan utopia — termasuk di antaranya Marxisme dan Fasisme.

 
Tentang Utopia dan Kemelaratan Sosial
 

Popper itu skeptis garis keras. Mengenai hal itu sudah jelas; metodologi ilmiahnya sendiri seperti itu. Ditambah lagi dia juga tak suka pada idealisme. Oleh karena itu, ketika ide-ide yang mengawang diterapkan di dunia sosial, Popper menolaknya habis-habisan.

Termasuk sasaran kritiknya adalah historisisme, yakni pemahaman bahwa arah sejarah memiliki kepastian. Adapun yang (dianggap) menentukan arah sejarah itu bermacam-macam — tergantung pihak mana yang merumuskan.

Sebagai contoh, ajaran Marxis meyakini bahwa hukum-hukum ekonomi akan berkulminasi menuju satu arah: di mana kapitalisme tumbang, proletarianisme bangkit, dan pada akhirnya terbentuk masyarakat tanpa kelas. Fasisme menyatakan “takdir bangsa” untuk menjadi yang terbaik; dapat dicontohkan lewat Deutschland über Alles yang didengungkan Hitler. Adapun di masa modern terdapat takhayul-konspirasi yang menyatakan sendi kehidupan diatur Protokol Zion, menuju pemerintahan global dan dunia baru. (lihat juga: Popper, 1962, hlm. 123-125)

Nazi Jerman

Salah satu contoh yang dikritik Popper: Nazi Jerman semasa Perang Dunia II

(image credit: Wikimedia Commons)

Pada umumnya semua ajaran itu meyakini, akan ada situasi di mana “perjuangan sudah selesai”. Boleh dibilang semacam utopia. Dunia yang akan datang ini dianggap sempurna dan tak perlu diapa-apakan lagi.

Di sinilah Popper tak setuju. Menurut Popper, klaim di atas bersifat lari dari tanggung jawab.

Alih-alih manusia menjadi aktor sejarah, yang memilih dan menentukan, mereka lepas tangan: tinggal mengikuti “jalan ideologi”. Dalam prosesnya menjadi dogmatik dan tidak kritis. Alih-alih menganalisis pandangan yang mungkin salah — seperti dalam metodologi ilmiah — orang maju tak-terkontrol hendak mengubah dunia.

Apabila terjadi penderitaan, maka harus dianggap “keniscayaan Revolusi”. Demikian pula jatuhnya korban dianggap sebagai “tumbal” atau “martir”.

Masalahnya, yang semacam ini mengandung bahaya besar.

Pada saat orang maju bersama tanpa berpikir, mereka siap berkorban ini-dan-itu. Harapannya pengorbanan itu impas saat utopia tiba. Masalahnya dalam mewujudkan utopia belum tentu mulus — bisa saja terdapat silap atau salah langkah. Di sini orang harus awas bahwa pandangannya bisa meleset.

Akan tetapi namanya “jalan ideologi”, biasanya tak bisa ditawar. Hampir pasti tak ada autokritik. Jarang ada ruang berefleksi, apalagi memperbaiki diri. Alhasil, kesalahan akan tumpuk-bertumpuk sampai masyarakatnya kolaps.

Adapun hal itu sering terjadi dalam sejarah. Mulai dari runtuhnya Uni Soviet, kejatuhan Nazi Jerman, hingga tumbangnya Kerajaan Romawi Barat. Semua mempunyai ciri khas: ada keinginan besar yang mau diwujudkan, tetapi dilakukan secara overkill dan totaliter. Akhirnya semua gagal: pengorbanan sudah dibuat, tapi ternyata harapan tak terwujud. Akhirnya masyarakat menderita dua kali.

Di sini terlihat tingginya resiko kegagalan. Seandainya mereka lebih terbuka barangkali akan dapat sukses. Namun namanya juga totaliter… (selanjutnya boleh diisi sendiri)

* * *

Menilik penjelasan di atas, menjadi wajar jika Popper skeptis pada perubahan sosial besar-besaran. Popper menyebut masyarakat di atas sebagai Masyarakat Tertutup. Tertutup dalam arti menolak diri dan pandangannya dikritisi, sedemikian hingga tercipta masyarakat yang stagnan, atau bahkan membusuk dari dalam. Sebagaimana sudah dijelaskan masyarakat ini susah untuk lestari.

Lebih jauh lagi Popper menilai bahwa mengejar utopia hakikatnya kebangkrutan intelektual. Sejak awal ditekankan bahwa, apabila hendak survive, orang harus mengkritisi diri sendiri. Apakah ada yang salah, dan kalau ada, maka di mana salahnya. Mengakui keberadaan utopia — di mana semuanya sempurna dan tak ada yang perlu diurus — berarti memutuskan berhenti berkembang.

Problemnya sendiri soal harga. Ketika satu bangsa sudah berkorban harta-benda dan jiwa, namun gagal mewujudkan utopia, akhirnya semua jadi abu. Dapat dibayangkan potensi kemelaratan yang terjadi.

 
Menghindari Kejatuhan Sosial: Masyarakat Terbuka
 

Bahwa Masyarakat Tertutup itu berbahaya, barangkali susah disangkal. Bukan saja potensi kerugiannya besar, dia juga mengingkari sifat dasar manusia. Manusia yang dapat berpikir dan menganalisis direduksi menjadi “sekrup” mewujudkan ideologi.

Tentunya kemudian timbul pertanyaan. Jika Masyarakat Tertutup itu berbahaya, lalu bagaimana solusinya?

Di sinilah Popper merumuskan gagasan. Alih-alih mengejar idealisme tanpa kontrol, lebih baik jika orang berpijak pada masyarakat yang sudah ada, lalu dari situ melakukan perbaikan. Popper menyebut masyarakat jenis ini sebagai Masyarakat Terbuka.

Sebagaimana ilmu pengetahuan semakin sempurna jika diuji terus-menerus, demikian pula masyarakat harus membuka diri pada pengujian. Pengujian di sini sifatnya macam-macam: mulai dari aspirasi rakyat hingga berita luar negeri bisa jadi masukan.

Sering ada pertanyaan, mengapa kok negara demokratis sering lebih maju — dan makmur — daripada yang tidak demokratis? Menurut Popper sebenarnya hal itu berhubungan. Sebuah negara yang demokratis selalu membuka diri pada masukan. Apabila terdapat kesalahan memerintah, maka kesalahan itu langsung diumumkan dan dievaluasi; apabila perlu maka langsung dibetulkan. Di sini terbentuk mekanisme pencegahan.

Akan tetapi itu tidak berlaku pada Masyarakat Tertutup. Sebuah Masyarakat Tertutup tidak punya mekanisme umpan balik menengarai kesalahan. Sebab bagaimana mau umpan balik, kalau baru protes sedikit sudah ditangkap? :lol: Oleh karena itu kesalahan yang ada jadi terlewat. Sebagaimana sudah disebut: akhirnya kesalahan tumpuk-bertumpuk sampai kolaps. Yang terkena beban sudah tentu rakyatnya. Mulai dari kemiskinan, birokrasi yang rumit, hingga warisan buruk lain ikut menimpa.

Mengutip kesimpulan posting zaman dulu,

Walhasil, kalau masyarakat tertutup punya cacat, mereka akan jatuh tak tertolong. Sementara sebaliknya, kalau masyarakat terbuka punya cacat, mereka punya mekanisme perbaikan. Di sini Popper menekankan: di bidang pemerintahan pun, yang penting adalah keterbukaan untuk menyesuaikan. Inovasi tiada henti! :)

Di sini terlihat bedanya. Alih-alih mengejar utopia, yang dilakukan oleh Masyarakat Terbuka adalah perubahan kecil-kecil tapi konstan. Alih-alih mengubah dunia secara drastis, lebih efektif jika orang mencari keburukan yang sudah ada dan mengeliminasinya.

Keburukan dalam masyarakat misalnya kemiskinan, bibit penyakit, atau minim akses pendidikan. Dengan mengurangi berbagai keburukan itu masyarakat jadi lebih maju; dalam prosesnya melakukan perbaikan diri.

Persis dengan metodologi ilmiah yang sudah dijelaskan. Sebagaimana pengetahuan bertambah sempurna dengan membuang hipotesis salah, demikian pula masyarakat menurut Popper.

Popper mengibaratkan memperbaiki masyarakat seperti memperbaiki kapal pesiar di laut. Kalau seluruh kapal dibongkar sekaligus, semua akan tenggelam. Akan tetapi jika dibetulkan perlahan-lahan — mengganti mana yang dibutuhkan — maka kita bisa melanjutkan dengan selamat.

Bagaimana mengembangkan yang sudah ada, sembari di sana-sini menghilangkan sisi buruk, di situ dia intinya. :D Masyarakat Terbuka versi Popper, pada akhirnya, adalah masyarakat yang terus berevolusi.

 
Penutup
 

Bapak Lao Tzu, filsuf Tiongkok yang hidup sekitar abad kelima SM, punya cara menarik menggambarkan perubahan. Kalimatnya terdapat dalam kitab Tao Te Ching, kutipannya di bawah ini.

A tree thick enough to embrace
Grows from the tiny sapling,
A tower of nine levels
Starts from the dirt heap,
A journey of a thousand miles
Begins beneath the feet.

 
(Lao Tzu, “Tao Te Ching” #64, terj. Derek Lin)

Setiap perubahan di alam, menurut Lao Tzu, tidak datang dengan tiba-tiba. Perubahan itu terjadi lewat proses kecil-kecil yang runtut.

Kaitannya dengan pembahasan kita, tentu bisa ditebak. Sejak awal tulisan sampai akhir, terdapat benang merah yang sama: perubahan kecil-kecil tapi konstan.

Demikian pula Masyarakat Terbuka adalah masyarakat yang berkembang secara evolusi. Perubahannya merupakan reaksi terhadap kekurangan yang dimiliki. Seiring jalannya waktu, semakin banyak analisis dan perbaikan, menyingkirkan keburukan yang ada. Dalam prosesnya terbentuk masyarakat yang stabil dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, siapapun yang hidup di alam demokrasi, sesungguhnya dia sangat beruntung. Barangkali memang pemerintah tidak sempurna. Akan tetapi harus diingat: bahwa pemerintah membuka diri untuk dikritisi, dan tidak sedikit-sedikit mengatakan “media brengsek” dan main bredel, itu adalah karunia yang luar biasa. Kita tidak ingin sebuah pemerintahan yang totaliter dan enggan dipertanyakan. Pemerintah yang menutup diri ibaratnya berjalan menuju kehancuran.

Hanya dengan belajar dari kesalahan, kita dapat memperbaiki diri, dari situ menjadi lebih maju. Adapun rasa jumawa berpotensi membuat kita jatuh.

“Pride goes before destruction, and haughty spirit before a fall,” begitu kata orang Kristen. Alangkah baiknya kalau pelajaran itu juga kita camkan dalam hati. :)

 

——

Referensi:
 

Corvi, R. (1997). An Introduction to The Thought of Karl Popper (terj. Patrick Camiller). London: Routledge

Popper, K.R. (1966). Open Society and Its Enemies (5th ed., Rev.). Princeton: Princeton University Press

Popper, K.R. (1962). Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. New York: Basic Books

Suhartono, M. (1983). Karl R. Popper: Belajar dari Kesalahan. dalam Sastrapratedja, M. (ed.). Manusia Multi Dimensional (hlm. 82-100). Jakarta: Gramedia


Membundel, Memilah, dan Menguraikan Warna

$
0
0

Sewaktu masih sekolah dulu, kita belajar tentang proses terbentuknya pelangi. Seberkas sinar matahari melewati butiran air di udara; sinar itu lalu dibiaskan dan terurai jadi warna-warni yang menarik.

[img] rainbow at Falera

Contoh penampakan pelangi seusai hujan

(photo credit: Wikimedia Commons)

Peristiwa itu tak lepas dari sifat dasar sinar matahari, di mana di dalamnya terdapat seluruh frekuensi cahaya tampak. Mulai dari merah, jingga, kuning, hingga biru dan ungu. Berbagai frekuensi itu saling menjumlahkan — sedemikian hingga sinar matahari yang kita lihat berwarna putih. Well, sebenarnya putih kekuning-kuningan, tapi itu kita bahas nanti. :P

Sekarang saya mau cerita dulu tentang asal-mula sinar matahari.

Kita tahu bahwa matahari itu termasuk keluarga bintang. Adapun namanya bintang, warnanya bermacam-macam. Ada bintang merah, bintang biru; ada juga bintang coklat dan kuning. Otomatis timbul pertanyaan: mengapa sinar matahari harus berwarna putih?

Sebenarnya hal itu berhubungan dengan temperatur. Penjelasannya sendiri yang agak panjang — namun pada intinya, proses terbentuknya pelangi tak lepas dari temperatur matahari tersebut.

 
Bermula dari Hukum Planck
 

Bapak Max Planck, ahli fisika asal Jerman, adalah orang yang menyelidiki radiasi gelombang elektromagnet. Planck mengamati bahwa setiap benda pada dasarnya memancarkan radiasi, hanya kadarnya saja yang berbeda. Kadar pancaran radiasi itu ditentukan oleh temperatur benda yang bersangkutan.

Nah, termasuk dalam benda yang memancarkan radiasi itu adalah tubuh manusia.

Tubuh manusia pada umumnya mempunyai temperatur 36-37° C, oleh karena itu, dia juga memancarkan gelombang elektromagnet. Namun ditinjau secara fisika temperatur itu relatif kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan — misalnya — lahar gunung berapi atau tungku pabrik. Oleh karena itu radiasi yang terpancar juga kecil.

Saking kecilnya intensitas itu, gelombang yang terpancar dari tubuh manusia jadi tak kasat mata. Dia berada di wilayah inframerah. Hanya jika memakai detektor khusus maka dapat terlihat pancarannya.

[img] human IR scan

Contoh penerapan: heat detector menggunakan inframerah

(image credit: Wikimedia Commons)

Di sisi lain, ada juga radiasi yang kasat mata. Contoh radiasi elektromagnet yang kasat mata adalah logam yang dipanaskan. Seperti umum diketahui, warnanya akan berubah kemerahan. Proses itu pun terjadi mengikuti Hukum Planck. Sebuah logam yang memerah temperaturnya begitu tinggi — bisa mencapai ribuan derajat Celsius. Oleh karena itu radiasi elektromagnetnya sangat kuat dan mempunyai frekuensi cahaya tampak.

[img] hot iron

Logam yang dipanaskan hingga suhu tertentu akan mulai bersinar

(image adapted from Wikimedia Commons)

Lewat dua contoh di atas harusnya cukup jelas prinsip kerja Hukum Planck. Setiap benda yang mempunyai temperatur akan memancarkan gelombang elektromagnet. Baik itu yang skala kecil seperti badan manusia, hingga skala besar seperti bintang, semua mengikuti ketentuannya.

Temperatur yang berbeda menghasilkan radiasi yang berbeda. Secara grafik dapat kita tampilkan sebagai berikut (satuan menggunakan Kelvin).

[img] Hukum Planck / Radiasi Benda Hitam

Plot grafik Hukum Planck: spektrum cahaya tampak disertakan.

(image credit: University of Michigan)

Dalam gambar terlihat bahwa, pada suhu rendah, puncak radiasinya di luar spektrum cahaya tampak. Oleh karena itu radiasinya tak kasat mata.

Akan tetapi pada suhu yang tinggi — sebagai contoh 4000 K — kurvanya mulai masuk wilayah cahaya tampak. Sedemikian hingga radiasi bisa dilihat mata telanjang. Adapun contohnya sudah jelas: logam berpendar kemerahan yang fotonya sudah kita lihat.

Mengikuti kurva pada temperatur lainnya, jadi terlihat bahwa suhu yang berbeda menghasilkan warna radiasi berbeda. Dalam gambar di atas tidak tercantum, akan tetapi pada suhu 12000 K, radiasinya akan berwarna kebiru-biruan. Sebuah suhu yang tinggi menghasilkan warna yang eksotis pula. :o

Mengenai temperatur berapa menghasilkan warna apa, pembaca dapat melihat di tabel khusus tersendiri. Meskipun begitu, untuk memudahkan, berikut ini saya tampilkan lewat animasi.

[img] animasi radiasi

Animasi perubahan warna berdasarkan temperatur

(image credit: Wikimedia Commons)

 
Hubungannya dengan Matahari
 

Nah, prinsip Hukum Planck di atas lalu kita terapkan pada matahari. Kita tahu bahwa matahari menghasilkan panas, itu sudah jelas. Pertanyaannya sekarang: berapa temperatur matahari?

Untungnya topik itu sudah diteliti oleh NASA, jadi kita tinggal mengecek. :P Berdasarkan data diketahui temperatur efektif matahari sebesar 5778 K. Maka dapat dicocokkan dengan tabel…

[img] radiasi 5778 K

Prediksi warna pancaran pada 5778 K: putih kekuning-kuningan

Di sini terlihat bahwa sinar matahari berwarna (hampir) putih. Warna putih itu timbul karena — mengikut Hukum Planck — radiasinya mencakup spektrum cahaya tampak. Akan tetapi kurva radiasi Hukum Planck tidak simetris, melainkan agak condong (lihat kembali plot grafik). Sebagai dampaknya sinar matahari tidak putih sempurna, melainkan ada sedikit kekuning-kuningan.

Namun demikian hal itu bisa diabaikan. Betul bahwa sinar matahari berwarna kekuningan, tetapi kita di sini tidak hendak strict. Maka supaya praktis kita anggap “sinar matahari berwarna putih”.

Nah, sekarang kita akan bahas tentang warna putih. Di awal sudah disebut bahwa warna putih mencakup berbagai frekuensi. Oleh karena itu putih dapat diibaratkan “bundel” yang merangkum banyak warna: termasuk di dalamnya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, serta ungu.

 
Dispersi: Proses Memilah Warna
 

Namanya “bundel” tentu bisa dibuka dan dikeluarkan isinya. Demikian pula sinar matahari, dia dapat diuraikan jadi rangkaian multiwarna. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan prisma.

[img] dispersi dengan prisma

Cahaya putih diuraikan menggunakan prisma

(photo credit: Univ. of Tennessee Knoxville)

Prosesnya sendiri cukup familiar. Di bangku SMP kita belajar tentang indeks bias. Maksudnya seberapa jauh berkas cahaya akan berbelok sesudah memasuki materi. Apabila di udara indeks biasnya “X”, namun di dalam prisma indeks biasnya “Y”, maka cahaya harus berkompensasi melakukan pembelokan.

Akan tetapi terdapat masalah. Di sekolah dulu kita belajar pembiasan cahaya tunggal, tetapi sekarang, kita membahas cahaya putih. Cahaya ini mengandung banyak warna! :o Lalu bagaimana solusinya?

Di sinilah kita perlu meluruskan satu hal. Bahwasanya indeks bias itu tidak sama untuk setiap frekuensi gelombang. Apabila frekuensi gelombang besar maka pembelokan juga akan besar. Oleh karena itu pembelokan yang dialami sinar merah tidak akan sama dengan — sebagai contoh — sinar biru.

Semakin besar frekuensi gelombang maka sudut pembiasannya jadi makin besar. Adapun gelombang merah frekuensinya paling kecil, maka sudut pembiasannya juga paling kecil. (lihat gambar)

Sebaliknya gelombang warna ungu, frekuensinya paling besar, maka sudut pembiasannya juga paling besar. Adapun warna-warna di antara mereka menyesuaikan dengan frekuensi masing-masing — sedemikian hingga terbentuk sebaran yang kontinu.

Di sinilah timbul efek pelangi. Karena tiap gelombang warna menyebar sendiri-sendiri, akan muncul rangkaian yang saling berdempet! :D

[img] hasil dispersi

Hasil dispersi sinar putih menggunakan prisma

(photo credit: Univ. of Tennessee Knoxville)

Dari yang tadinya sekadar warna putih, kini terbongkar jadi komponen-komponennya. Bagi orang yang tak paham barangkali terasa ajaib. Namun sebenarnya itu terjadi lewat serangkaian hukum fisika.

 
Dispersi di Lingkungan Alam: Titik Air
 

Nah, prinsip dispersi di atas juga berlangsung di lingkungan alam. Kita tahu, sesudah hujan turun, sering ada titik-titik air menggantung di udara. Titik-titik air itu dapat berperan layaknya prisma. Apabila sinar matahari lewat maka akan mengalami dispersi. Namun bentuk titik air agak bulat, maka detailnya jadi berbeda.

Seperti apa perbedaannya, bisa dilihat di bawah ini.

[img] dispersi air hujan

Ilustrasi dispersi oleh titik air

(image credit: Wikimedia Commons)

Dalam ilustrasi di atas, cahaya terurai di dalam air, namun sesudah terurai ternyata tidak dapat keluar. Oleh karena itu berkas pelanginya dipantulkan balik.

Menjadi seperti itu karena — meminjam istilah teknis — berkas cahaya dalam air menumbuk lebih besar dari sudut kritis. Oleh karena itu dia tidak dapat tembus. Alhasil mesti dipantulkan balik.

Adapun proses itu diperkuat oleh banyaknya titik air di udara. Namanya udara seusai hujan, banyak sekali titik airnya. Semua akan berperan membiaskan, memantulkan, dan mempengaruhi hasil dispersi. Peristiwa ini jelas tidak ideal. Oleh karena itulah, pelangi yang dihasilkan di alam tidak setajam hasil eksperimen dengan prisma.

Perbandingannya dapat dilihat sebagai berikut:

[img] perbandingan pelangi

(image adapted from: Wikimedia Commons)

Dengan demikian kita sudah tuntas membahas proses pembentukan pelangi. Ternyata di baliknya ada proses kompleks yang menarik! :)

* * *

Nah, sekarang saya mau kembali ke awal tulisan. :P

Sesudah tuntas membahas pelangi, ada baiknya kita meninjau (lagi) foto yang terdapat di awal. Tentu saja gambarnya masih sama. Namun sekarang kita tahu proses di baliknya.

Di satu sisi hukum-hukum fisika yang terlibat cukup rumit, namun demikian, lewat pengetahuan itu kita mendapat konteks baru. Jika awalnya sekadar mengagumi, maka sekarang kita dapat lebih mengapresiasi foto yang sudah indah. Yang semacam ini sifatnya rada subtle.

[img] rainbow at Falera

(photo credit: Wikimedia Commons)

 
Penutup
 

Syahdan, pada tahun 1817, penyair John Keats pernah mengeluh (sambil bercanda) bahwa Isaac Newton itu menyebalkan. Disebut menyebalkan karena — menurut Keats — Newton mereduksi keindahan pelangi jadi rentetan rumus matematika yang ‘kering’.

Perlu diketahui bahwa itu masanya era Romantik, di mana seniman mengutamakan ekspresi diri penuh-emosi. Sementara Newton menghadirkan penjelasan tegas dan rasional yang — kalau boleh diumpamakan — “mengungkung gelora jiwa”.

Dalam salah satu karya Keats,

There was an awful rainbow once in heaven:
We know her woof, her texture; she is given
In the dull catalogue of common things.
Philosophy will clip an Angel’s wings,
Conquer all mysteries by rule and line,
Empty the haunted air, and gnomed mine—
Unweave a rainbow, as it erewhile made
The tender-person’d Lamia melt into a shade.

 
(John Keats, Lamia Part II“, 1820)

Saya sendiri cukup bisa memahami. Bahwasanya sering terkesan bahwa orang IPA itu killjoy. Alih-alih menikmati yang sudah indah dari sananya, orang IPA justru menambahi penjelasan yang mbulet dan kering. Akhirnya yang mendengar jadi hilang selera.

Masalahnya penilaian macam itu cenderung prematur. Betul bahwa — ada kalanya — penjelasan fisika itu killjoy, menghilangkan semua keromantisan. Analoginya: siapa sih yang senang candle light dinner sambil dikuliahi tentang api. :lol: Namun begitu sebenarnya analisis fisika mengantar pada keindahan yang lebih subtle.

Katakanlah soal pelangi yang sudah disebut. Bahwa di balik kemunculan pelangi itu ada serangkaian hukum fisika, dan bahwa hukum fisika itu dapat dipahami orang — justru itu membantu membumbui keindahannya. Ini lho prosesnya; ini lho logikanya. Apabila orang paham maka dia mendapat nilai lebih: di samping menikmati penampakan, dia juga mengerti mekanisme yang runtut dan logis. Pada akhirnya dua aspek itu saling melengkapi.

Adapun lewat IPA juga, kadang muncul hubungan baru yang tak disangka. Saya ingin me-review penjelasan kita di atas. Coba, ada hubungannya gitu antara suhu benda, cahaya, titik hujan, dan pelangi yang (katanya) romantis? Ada banget. :mrgreen:

Belajar IPA, pada akhirnya, tidak mesti dianggap kering. IPA juga bisa mencerahkan, kok. Justru dari situ bisa muncul perspektif keindahan yang baru yang segar.

“For we, which now behold these present days / Have eyes to wonder, but lack tongues to praise,” demikian Shakespeare menjelaskan keindahan. Kesan yang sama kadang hadir saat menikmati alam. Di mana prosa dan sastra susah menjelaskan, uraian fisika — dan matematika, kalau orangnya berminat — bisa jadi alat bantu yang pas untuk mengekspresikannya.

 

——

Referensi:

 
Beiser, A. (1995). Concepts of Modern Physics (6th ed.). New York: McGraw-Hill

Tipler, P.A. & Mosca, G. (2008). Physics for Scientists and Engineers (6th ed.). New York: W.H. Freeman & Co.


Intermezzo: Girih dan Geometri Islam

$
0
0
    Note: Posting ringkas bertema Lebaran. Selamat Hari Raya buat yang merayakan; mohon maaf lahir dan batin. :D

 
Di dunia sehari-hari, kita sering melihat seni ornamen yang “bercorak Islam”. Disebut seperti itu karena munculnya saat hari raya seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Bukan berarti dekorasinya religius, sih. Sebenarnya permainan geometri biasa. Hanya saja, karena berkembang di kebudayaan kuno berbasis Islam, jadinya sering dihubungkan.

Nah, posting kali ini akan sedikit membahas corak ornamen Islam tersebut.

Sebagaimana pernah disinggung sedikit di satu posting lama, sebagian penganut Islam tidak suka menggambar makhluk hidup. Oleh karena itu mereka berkarya seni lewat geometri. Dengan menggunakan jangka dan penggaris, bentuk yang menarik bisa dibuat, lalu dari situ terbentuk pola yang kompleks.

Termasuk dalam kesenian-geometri bercorak Islam itu adalah Girih. Girih adalah teknik dekorasi yang berasal dari Persia. Meskipun begitu popularitasnya ternyata melejit, sedemikian hingga menyebar ke seluruh dunia Islam.

[img] Mimbar Masjid Nasir, Kairo

Salah satu corak geometri Islam: Ornamen mimbar, Masjid Nasir Kairo

(photo credit: WADE Photo Archive: Pattern in Islamic Art)

 
Apa itu Girih? Ubin Berpola
 

Berbicara geometri Islam, pada dasarnya terdapat tiga elemen yang bersifat kunci, yakni tekukan garis, simetri dan perulangan. Pada awalnya terdapat garis-garis yang menekuk pada sudut tertentu. Kemudian garis-garis itu saling berinteraksi membentuk pola simetris. Sebagai penutup pola simetris itu dibuat berulang memenuhi bidang dekorasi.

Misalnya contoh berikut, dari dinding dan pilar di Mausoleum Moulay Ishmael di Maroko.

[img] Mausoleum Moulay Ishmael (Dinding & Pilar)

Dekorasi dinding dan pilar mengikuti prinsip girih

(photo credit: WADE Photo Archive: Pattern in Islamic Art)

Pada sisi kiri gambar, terlihat pola garis membentuk kembang segi-16. Namun sesudah kembangnya terbentuk ternyata garisnya tidak berhenti — melainkan diteruskan hingga membentuk kembang lagi di bawahnya. Oleh karena itu motif yang ada jadi berulang.

Adapun di sisi kanan agak lebih sederhana; sekadar susun-rangkai bangun. Namun demikian dia mempunyai spirit yang sama. Ada tekukan garis, ada simetri, dan ada perulangan juga. Jadinya mencerminkan (so-called) geometri Islam dengan cara yang berbeda.

* * *

Nah, sekarang kita akan membahas pembuatan pola geometri di atas.

Berbeda dengan mural yang harus digambar tangan, dekorasi girih tidak melibatkan ahli gambar dengan kuas dan cat. Namun sebagai gantinya dekorasi dibuat secara pengubinan.

Setiap ornamen girih pada dasarnya merupakan hasil susun-rangkai lima jenis ubin — bentuk-bentuknya dapat dilihat di bawah ini.

[img] Ubin Girih

Lima jenis ubin yang terdapat dalam girih:
Kupu-kupu, Heksagon, Wajik, Segilima, dan Dekagon (segi-10)

(image credit: Wikimedia Commons)

Ubin-ubin itu lalu dikombinasikan hingga membentuk pola yang elegan. Pengubinan menurut girih harus menyeimbangkan antara dua hal: (1) bentuk ubin, dan (2) ornamen permukaan ubin.

Pembaca mungkin tidak yakin bagaimana ubin yang sederhana bisa membentuk pola yang rumit. Oleh karena itu, di bawah ini saya tampilkan contohnya.

[img] Girih comparison

Madrasah Al-Mustansiriyya di Baghdad

(gambar dari Lu, 2007b)

Di sini terlihat bahwa kerumitan girih tereduksi jadi susunan ubin berpola. Pola-pola ubin itu lalu saling berinteraksi membentuk desain baru. Ternyata mereka bisa berkoordinasi dengan mantap! :)

 
Skala Besar dan Kecil
 

Ada kalanya dalam dekorasi girih, terdapat bentuk yang muncul di skala besar maupun kecil. Satu contoh yang bagus adalah desain langit-langit di Mausoleum Hafez, di mana pola kembang segi-n tercipta pada — setidaknya — dua level perbesaran. (gambar di sini)

Hal itu tak lepas dari sifat geometri ubin girih. Pada dasarnya ubin-ubin girih dapat bergabung membentuk ubin yang lebih besar. Jadinya… agak mirip Voltron. :lol: Bedanya, kalau Voltron membuat robot besar dari robot-robot kecil, yang ini hasilnya berbentuk ornamen.

[img] Girih tiles assembly

Ubin-ubin girih dapat — secara aproksimasi — bergabung membentuk ubin besar

(gambar dari Cromwell, 2008)

Menarik untuk dicatat bahwa tidak ada aturan baku membuat ubin besar dari ubin kecil. Sebuah dekagon, misalnya, dapat dibuat lewat kombinasi satu kupu-kupu + tiga heksagon. Demikian pula heksagon besar dapat diaproksimasi lewat empat heksagon kecil + tiga wajik. Oleh karena itu komponen terkecil dari kombinasi skala besar selalu bisa dibagi lebih kecil lagi. :D

Adapun untuk ilustrasi di atas, rumus komponennya adalah sebagai berikut:

  • 1 KUPU-KUPU besar = 14 HEKSAGON kecil + 14 KUPU-KUPU kecil + 6 DEKAGON kecil
  • 1 HEKSAGON besar = 32 HEKSAGON kecil + 22 KUPU-KUPU kecil + 6 DEKAGON kecil
  • 1 DEKAGON besar = 80 HEKSAGON kecil + 80 KUPU-KUPU kecil + 36 DEKAGON kecil
  •  
    Reguler dan Irreguler
     

    Yang juga menarik dari girih adalah kecenderungan yang terkait perulangan. Apabila pada ubin biasa polanya cenderung reguler, maka pola girih dapat bersifat reguler maupun irreguler.

    Pola irreguler girih sendiri muncul bukan karena diatur, melainkan sebagai dampak peletakan ubin. Meskipun ubin-ubinnya sama, jika diletakkan secara berbeda, maka menghasilkan regularitas yang berbeda.

    (secara matematika disebut sifat periodik dan aperiodik)

    Ilustrasi sifat periodik dan aperiodik girih dapat kita contohkan lewat foto. Yang pertama bersifat periodik. Perhatikan bahwa, jika ditelusuri mengikuti sumbu-x, terlihat bahwa ornamennya mengalami perulangan.

    [img] Marrakesh Ornaments

    Istana Bahia di Marrakesh

    (photo credit: WADE Photo Archive: Pattern in Islamic Art)

    Namun sebaliknya dengan pola yang bersifat aperiodik. Ornamen yang semacam ini tidak mengalami perulangan jika ditelusuri. Misalnya foto di bawah ini. Boleh ditelusuri lewat sumbu-x, sumbu-y, atau malah diagonal. Enggak bakal sama persis seperti di foto sebelumnya. :mrgreen:

    [img] Isfahan Darb-i Imam

    Tampak muka Darb-i Imam di Isfahan

    (via Physics World)

     
    Penutup
     

    Namanya olah geometri, tentu tidak cuma ada di dunia Islam. Di Italia arsitektur Renaissance banyak bermain simetri; orang Jepang punya sangaku; di Irlandia ada Celtic Knot. Sementara orang Yunani Kuno memelopori ilmunya lewat teks geometri Euclid. Di sini kita lihat bahwa kesukaan “menggambar bentuk” itu bersifat universal.

    Pun demikian, sebagaimana sudah disebut di awal: berhubung sekarang suasana lebaran, maka bolehlah yang dibahas geometri Islam. Ibaratnya untuk meramaikan suasana.

    Jadi, singkat cerita: selamat Lebaran! Tentunya bagi yang merayakan. Bagi yang tidak merayakan, selamat berlibur; bagi warga Jakarta yang tidak berlebaran dan tidak berlibur, selamat mendapatkan gubernur baru! :D Dan bagi yang tidak berlebaran, tidak berlibur, dan tidak tinggal di Jakarta, bolehlah bersyukur dapat presiden baru.

    Bagi yang tidak berlebaran, tidak berlibur, tidak tinggal di Jakarta, dan tidak mensyukuri presiden baru… well, semoga lekas bahagia kembali. Walaupun itu harusnya urusan masing-masing, sih. :lol:

     

    ——

    Referensi:

     
    Cromwell, P.R. (2008). The Search for Quasi-Periodicity in Islamic 5-fold Ornament. The Mathematical Intelligencer, 31(1), 36-56

    Lu, P.J., & Steinhardt, P.J. (2007). Decagonal and Quasi-crystalline Tilings in Medieval Islamic
    Architecture. Science, 315, 1106-1110

    Lu, P.J., & Steinhardt, P.J. (2007). Supporting Online Material for Decagonal and Quasi-crystalline
    Tilings in Medieval Islamic Architecture. Diakses pada 29 Juli 2014, dari http://www.physics.princeton.edu/~steinh/peterlu_SOM7_sm.pdf

    Tennant, R. (2009). Medieval Islamic Architecture, Quasicrystals, and Penrose and Girih Tiles: Questions from the Classroom. Symmetry: Culture and Science, 19(2-3), 113-125


    Hamlet, Dunia Kapal Pecah

    $
    0
    0

    Hampir semua orang, baik di Indonesia maupun luar negeri, pernah mendengar tentang William Shakespeare. Nama beliau sangat masyhur sebagai penyair-dramawan asal Inggris. Bahkan saking masyhurnya, orang Indonesia pun ikut akrab.

    Sebagai contoh, kita biasa menyebut kisah cinta tak sampai “bagai Romeo dan Juliet” (bukan Siti Nurbaya! :P ). Ada juga monolog bimbang yang terkenal: “to be or not to be, that is the question”. Walaupun, kalau boleh jujur, agak miris bahwa jarang ada terjemahan Shakespeare versi Indonesia, tapi itu cerita lain.

    Nah, berbicara tentang Shakespeare, maka harus menyebut salah satu karya besarnya: “Tragedi Hamlet, Pangeran Denmark”. Berhubung judulnya agak panjang maka sering disingkat sebagai “Hamlet“. Drama ini pertama kali dipentaskan sekitar tahun 1601.

    Galibnya karya besar, drama “Hamlet” mempunyai alur cerita yang kompleks. Namun Shakespeare tidak berhenti sampai di situ. Alih-alih berpuas diri dengan sekadar cerita, Shakespeare membumbuinya dengan psikologi karakter yang kuat dan dialog bersajak.

    Salah satunya, jelas, “to be or not to be” yang sudah disinggung. Meskipun begitu banyak juga contoh lain — sebagian akan dicuplik di tulisan kali ini.

    [img] Hamlet Manuscript Cover

    Manuskrip Hamlet, Edisi Quarto, 1604 (Q2)

    (image credit: Wikimedia Commons)

    Hamlet dianggap sebagai salah satu drama Shakespeare yang paling hebat dan termasyhur, oleh karena itu, cukup layak dibahas secara detail. Sinopsisnya sebagai berikut — sedikit komentar menyusul di bagian akhir.

     
    Ada apa dengan Hamlet? Sinopsis
     

    Sebagaimana tertulis dalam judulnya, kisah Hamlet berlatar di negeri Denmark, atau lebih tepatnya di Kastil Elsinore (Helsingor). Semua tokoh di dalamnya — mengecualikan peran pembantu — berkebangsaan Denmark dan tinggal di istana.

     

    I.
    “Revenge his foul and most unnatural murder”

     
    Seluruh cerita Hamlet dimulai dalam suasana muram. Syahdan Raja Hamlet senior baru saja meninggal, digantikan oleh adiknya Claudius. Menjadi tambah suram sebab Kerajaan Denmark terancam: mereka terlibat perang melawan Norwegia. Adapun Norwegia sedang kuat-kuatnya, dipimpin pangeran hebat bernama Fortinbras.

    Pun demikian, di dalam istana hal itu terpinggirkan. Belum sebulan menjadi raja, Claudius ternyata menikahi istri almarhum, Ratu Gertrude. Sebuah rangkaian peristiwa yang aneh — kalau tidak boleh dibilang mencurigakan.

    KING:
    With an auspicious, and a dropping eye,
    With mirth in funeral, and with dirge in marriage,
    In equal scale weighing delight and dole

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act I scene 2)

    Almarhum sendiri mempunyai putra, tokoh utama bernama Pangeran Hamlet. Bisa ditebak: pernikahan Claudius dan Gertrude menyakiti hati Hamlet. Tidak semestinya janda raja menikah begitu cepat, apalagi dengan raja baru penggantinya. Dapat dipahami jika sejak awal Hamlet cenderung sinis.

    Namun sebuah peristiwa magis akan terjadi, mengubah kesinisan itu jadi dendam berkobar.

    * * *

    Penyebabnya sendiri sederhana: Hamlet bertemu hantu. Hantu itu tak lain arwah ayahnya yang bergentayangan di lorong kastil. Bersama dengan sahabatnya, Horatio, dia menyaksikan penampakan pucat meminta tolong.

    Raja telah dibunuh, tutur sang hantu, dalam konspirasi perselingkuhan Claudius dan Gertrude. Pembunuhan dilakukan lewat racun yang diteteskan ke dalam telinga. Oleh karena itu arwah Raja turun ke bumi meminta balas dendam.

    GHOST:
    Revenge his foul and most unnatural murder.

    HAMLET:
    Murder?

    GHOST:
    Murder most foul, as in the best it is;
    But this most foul, strange, and unnatural.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act I scene 2)

    Permintaan itu menggugah hati Hamlet. Dia kemudian berembuk dengan Horatio: bahwa dia akan membunuh Claudius, tapi tidak sekarang. Dia harus mengulur waktu dengan berpura-pura gila agar tidak dicurigai.

    Dengan demikian pembalasan dendam Hamlet dimulai. Menjadi ironis sebab, dalam prosesnya, akan menimbulkan huru-hara yang jauh lebih besar.

     

    II.
    “The play’s the thing”

     

    Pun demikian, Hamlet tidak langsung yakin. Biarpun dia benci Claudius, pembunuhan adalah perkara besar. Lebih lagi dia orang yang terdidik — tidak bisa bertindak tanpa bukti. Menyadari posisinya lemah Hamlet mencoba menunggu.

    Sesuai rencana awal Hamlet berpura-pura gila. Salah satunya dengan menggoda Ophelia, putri seorang pejabat istana. Perlahan tapi pasti Hamlet berakting mabuk asmara. Rencana berjalan sukses: ayah Ophelia, Polonius, mempercayainya. Hamlet sedang dimabuk cinta: oleh karena itu wajar kelakuannya belakangan ini tampak dingin dan aneh.

    Namun yang jadi sasaran Hamlet bukan cuma Ophelia. Dengan sikap dingin dan sarkastis dia mencela seluruh penghuni istana, termasuk Claudius dan Gertrude. Bahkan teman kuliah yang datang berkunjung pun ikut terkena. “What a piece of work is a man!” semburnya dalam monolog sinis yang terkenal.

    Pengulur-uluran waktu oleh Hamlet amat manipulatif, meskipun begitu, kesempatan akhirnya datang. Sebuah rombongan teater akan pentas di Elsinore. Hamlet yang cerdas lalu bersiasat: bagaimana membuktikan rasa bersalah Claudius.

    Adapun siasat Hamlet bukan lewat forensik atau fisik, melainkan psikologis. Dia akan jadi sutradara drama, menampilkan kisah seperti diceritakan Hantu. Raja dalam drama akan diracun lewat telinga. Apabila Claudius tersindir maka akan tampak reaksi yang khas.

    HAMLET:
    . . . The play’s the thing
    Wherein I’ll catch the conscience of the King.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act II scene 2)

    Dan memang siasat itu berhasil. Di saat adegan drama mencapai klimaks, Claudius mendadak bangkit dan meninggalkan ruangan.

    OPHELIA:
    The King rises.

    HAMLET:
    What, frighted with false fire?

    QUEEN:
    How fares my lord?

    POLONIUS:
    Give o’er the play.

    KING:
    Give me some light. Away!

    ALL:
    Lights, lights, lights!

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act III scene 2)

    Hamlet, kini penuh kemenangan, telah mendapatkan bukti. Dia siap menghabisi Claudius. Meskipun begitu dia tidak bisa langsung — Hamlet mendapat pesan dari ibunya, Gertrude, untuk berbicara empat mata.

     

    III.
    “These words like daggers enter in mine ears”

     

    Mendengar permintaan Gertrude, Hamlet tahu, saat penentuan sudah dekat. Dia akan berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Namun terjadi peristiwa krusial: dalam perjalanan Hamlet melihat Claudius yang terpukul sedang berdoa.

    KING:

    . . . What if this cursed hand
    Were thicker than itself with brother’s blood,
    Is there not rain enough in the sweet heavens
    To wash it white as snow? Whereto serves mercy
    But to confront the visage of offence?

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act III scene 3)

    Hamlet terbelah antara dendam dan empati. Membunuh orang yang sedang berdoa itu dosa, lebih lagi Claudius sedang memohon ampun. Bagaimana jika Tuhan mengiyakan? Bukankah jadinya Claudius masuk surga?

    Jika begitu maka rencana balas dendam Hamlet sia-sia. Bukan saja Claudius senang di dunia, di akhirat pun dia beruntung.

    Mempertimbangkan semua itu Hamlet akhirnya menunda membunuh. Dia melanjutkan menemui ibunya.

    Namun jadi ironis sebab Claudius ternyata menggagalkan sendiri doanya. Hatinya tidak bersih — dia tak mampu secara jujur memohon ampun.

    KING:
    My words fly up, my thoughts remain below.
    Words without thoughts never to heaven go.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act III scene 3)

     

    Sementara itu Hamlet menantang Gertrude di kamar tidur. Perdebatan ibu dan anak tidak terelakkan. Dalam sekejap situasi menjadi panas: merasa dirinya terancam, Ratu berteriak minta tolong.

    Segera sebuah sosok berlari mendekat. Hamlet — menyangka itu Claudius — menusuk berulangkali sambil menyumpah. “How now, a rat? Dead for a ducat, dead!”

    Akan tetapi ternyata… sosok itu bukan Claudius. Hamlet baru saja membunuh Polonius.

    Histeris menghadapi pembunuhan, Hamlet dan Gertrude kini saling bentak, mengabaikan akal dan logika.

    QUEEN:
    O, speak to me no more!
    These words like daggers enter in mine ears.
    No more, sweet Hamlet!

    HAMLET:
    A murderer and a villain!
    A slave that is not twentieth part the tithe
    Of your precedent lord; a vice of kings;
    A cutpurse of the empire and the rule,
    That from a shelf the precious diadem stole
    And put it in his pocket!

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act III scene 4)

    Seolah belum cukup Hamlet tiba-tiba melihat sosok putih muncul. Hantu ayahnya telah menampakkan diri. Akan tetapi anehnya Gertrude tidak dapat melihat.

    Penuh frustrasi Hamlet menunjuk-nunjuk dan berteriak, namun tak ada gunanya. Malah Gertrude yakin bahwa putranya tergoncang sehabis membunuh. Barangkali memang Hamlet sudah gila!

    Namun Hamlet bersikukuh: bahwasanya dia tidak gila; dia cuma berpura-pura gila. Begitu dia meyakinkan ibunya yang ketakutan.

    HAMLET:
    Make you to ravel all this matter out,
    That I essentially am not in madness,
    But mad in craft.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act III scene 4)

    Merasa mendapat kata akhir, Hamlet pergi menyeret jasad Polonius.

     

    IV.
    “Where is the beauteous Majesty of Denmark?”

     

    Akan tetapi tewasnya Polonius berbuntut panjang.

    Mengkhawatirkan keselamatan masing-masing, Claudius dan Gertrude mengirim paksa Hamlet ke luar negeri. Untuk sementara situasi terkontrol. Namun petaka terberat menimpa putri Polonius: Ophelia.

    Tak kuat melihat jasad sang ayah, Ophelia kini menjadi sinting, menyanyikan lagu-lagu tak senonoh di pelataran istana.

    OPHELIA:

    [Sings.]

    Tomorrow is Saint Valentine’s day,
    All in the morning betime,
    And I a maid at your window,
    To be your Valentine.
    Then up he rose and donn’d his clo’es
    And dupp’d the chamber door,
    Let in the maid, that out a maid
    Never departed more.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act IV scene 5)

    Yang juga terdampak adalah kakak Ophelia, Laertes. Sebagai putra tertua Polonius dia harus membalas dendam. Oleh karena itu Laertes beraliansi dengan Claudius untuk melawan Hamlet.

    Dengan demikian semua variabel tertata menuju klimaks. Kerajaan Denmark akan terpecah, dan lebih banyak lagi nyawa akan melayang.

    * * *

    Sementara itu, Hamlet dikirim naik kapal ke Inggris. Akan tetapi memang dia licin, sehingga dapat lepas dari pengawasan.

    Melarikan diri dari kapal, Hamlet bepergian lewat Norwegia, sebelum akhirnya tiba kembali di Denmark. Secara kebetulan dia melintas di tanah pekuburan. Akan tetapi justru di sini dia mendengar kabar duka.

    Bahwasanya Ophelia telah mati terseret arus sungai. Penyebab kematiannya tidak jelas: ada yang bilang bunuh diri, tapi ada juga yang bilang karena kecelakaan. Pendeta tidak yakin apakah harus menguburkan secara Kristen.

    Berada di pemakaman membuat Hamlet merenung tentang hidup dan mati. Di titik inilah terjadi sebuah adegan legendaris.

    Hamlet, diberi tahu bahwa salah satu tengkorak adalah kenalannya di masa kecil, memegangi sambil bermonolog.

    HAMLET:
    Alas, poor Yorick! I knew him, Horatio:
    a fellow of infinite jest, of most excellent fancy;
    he hath borne me on his back a thousand times.
    And now how abhorred in my imagination it is!

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 1)

     

    [img] Alas poor Yorick

    Hamlet bermonolog sambil memegangi tengkorak
    (lukisan karya Eugene Delacroix, 1836)

    (image credit: Emory University)

    Bercakap-cakap dengan pendamping setianya, Horatio, Hamlet membayangkan apakah Alexander Agung juga kini jadi tengkorak. Membusuk jugakah Alexander? Biarpun dulunya mulia tapi kini hanya berbalut debu.

    Akan tetapi percakapan itu tidak lama. Menjelang penguburan Ophelia kerabat terdekat menghampiri — termasuk di antaranya Laertes.

    Bisa ditebak, keduanya langsung berkelahi. Akan tetapi memang tempat dan waktu tidak cocok, lebih lagi ada jenazah hendak dikubur. Hamlet dan Laertes akhirnya sepakat untuk berduel di aula istana.

     

    V.
    “I am dead, Horatio. Wretched Queen, adieu!”

     

    Melihat potensi melenyapkan Hamlet, Claudius menyuruh Laertes memakai pedang yang diolesi racun. Sebagai tambahan dia juga menyiapkan gelas berisi racun — berjaga-jaga jika Hamlet ternyata lolos melawan Laertes.

    Meskipun demikian hal ini justru memicu kejatuhan total Kerajaan Denmark — sebagaimana akan kita lihat bersama.

    Bertarung dengan Laertes, Hamlet membuktikan diri ahli bermain pedang. Laertes kesulitan untuk melukainya. Hamlet yang unggul dua ronde menantang dengan sarkastis.

    HAMLET:
    Come for the third, Laertes! You but dally.
    I pray you, pass with your best violence;
    I am afeard you make a wanton of me.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Namun justru hal itu menjadi kejatuhannya. Dalam sebuah pertukaran Laertes berhasil melukai Hamlet. Namun Pangeran Denmark tidak menyerah: dengan teknik yang rumit dia membuat pedang terlepas dari tangan Laertes, menangkapnya, dan menggoreskan luka menganga.

    Akan tetapi nasi telah menjadi bubur. Kedua kontestan kini terkena racun maut. Tak akan sempat disembuhkan, tinggal menunggu waktu.

    LAERTES:
    It is here, Hamlet. Hamlet, thou art slain;
    No medicine in the world can do thee good.
    In thee there is not half an hour of life.
    The treacherous instrument is in thy hand,
    Unbated and envenom’d. The foul practice
    Hath turn’d itself on me. Lo, here I lie,
    Never to rise again. Thy mother’s poison’d.
    I can no more. The King, the King’s to blame.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Hamlet, penuh kemarahan, berpaling pada sang Raja. Akan tetapi pemandangan menyesakkan menyambutnya: ibunya, Gertrude, tengah sakaratul maut. Gelas miliknya tak sengaja tertukar dengan milik Hamlet.

    QUEEN:
    No, no! the drink, the drink!—O my dear Hamlet!—
    The drink, the drink! I am poison’d.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Menyadari waktunya singkat Hamlet menerjang dan menikam Claudius. Akan tetapi bukan Hamlet namanya jika merasa cukup. Penuh geram dia meraung:

    HAMLET:
    Here, thou incestuous, murderous, damned Dane,
    Drink off this potion! Is thy union here?
    Follow my mother.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Apakah Claudius akhirnya menuruti Hamlet, Shakespeare tidak memberi detail. Mungkin sengaja dibuat ambigu. Yang jelas Claudius akhirnya mati.

    Semua sudah tuntas, Hamlet merasakan racun bekerja. Akhir hayat sudah dekat. Dia kemudan berbaring di pangkuan sahabatnya Horatio.

    HAMLET:
    Had I but time—as this fell sergeant, Death,
    Is strict in his arrest—O, I could tell you—
    But let it be. Horatio, I am dead;
    Thou livest; report me and my cause aright
    To the unsatisfied.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Dengan nafas terakhirnya Hamlet menitipkan Kerajaan Denmark pada Fortinbras, Pangeran Norwegia yang akan datang. Sudah tidak ada lagi yang akan melindungi Denmark. Keluarga kerajaan telah tumpas — dan termasuk di dalamnya Hamlet, Pangeran Denmark.

    HAMLET:
    On Fortinbras. He has my dying voice.
    So tell him, with the occurrents, more and less,
    Which have solicited—The rest is silence.

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Pada akhirnya semua mati. Dimulai dari perselingkuhan Claudius dan Gertrude, situasi berkembang tak terkontrol, berujung pada keruntuhan besar-besaran. Barangkali ada sebuah pelajaran di situ. Akan tetapi bahasan itu kita sisihkan untuk tempat dan waktu yang lain.

    -o0o-

     
    Mengomentari Hamlet: Absurditas
     

    Ada satu tema yang, kalau boleh dibilang, agak samar terpancar dari seluruh rangkaian cerita Hamlet. Tema tersebut adalah absurditas. Begitu banyak hal terjadi tanpa dimaksud yang mempengaruhi jalan cerita. Pada akhirnya semua bertumpuk dan menciptakan moral yang ambigu.

    Terkait hal ini paling bagus dicontohkan lewat Ophelia. Ophelia bukanlah sosok yang jahat; malah bisa dibilang “anak baik”. Akan tetapi peristiwa tragis menimpa hidupnya: dia dipermainkan Hamlet, ayahnya meninggal, dan akhirnya menjadi gila. Seolah belum cukup status kematiannya pun tidak jelas. Apakah bunuh diri atau kecelakaan? Bahkan pendeta ragu-ragu menguburkannya secara Kristen.

    Maksudnya, ya, kita bisa membayangkan jika sosok ‘jahat’ seperti Claudius (atau Hamlet) yang seperti itu. Sementara Ophelia, ibaratnya “korban tak berdosa”.

    Hal yang mirip juga terjadi pada Hamlet. Niatnya mencari bukti kesalahan Claudius tidak buruk — memang orang harus rasional dan tidak gegabah. Akan tetapi bukannya menyelesaikan, pementasan drama justru memicu rusuh.

    Begitu juga ketika dia melihat Claudius berdoa dan tidak jadi membunuh, biarpun motifnya egois (dia tidak ingin Claudius masuk surga). Seperti sebelumnya penundaan ini berbuah jelek: akhirnya Hamlet salah menusuk Polonius. Jika saja Hamlet waktu itu tidak ragu — menewaskan Claudius sekali gebrak — takkan terjadi kesedihan berantai. Polonius tetap hidup, Ophelia tidak gila, Laertes tidak dendam, dan Ratu Gertrude juga selamat.

    Dunia Hamlet, pada akhirnya, adalah dunia yang kacau dan absurd. Segala hal terjadi tanpa dimaksud, dan moralnya juga abu-abu. Shakespeare sendiri seolah memberi petunjuk lewat dialog:

    HAMLET:
    Our indiscretion sometime serves us well
    When our deep plots do pall; and that should learn us
    There’s a divinity that shapes our ends,
    Rough-hew them how we will—

     
    (Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2)

    Mungkin itu juga sebabnya Hamlet, dan karya Shakespeare pada umumnya, masih populer sampai sekarang. Alih-alih menguliahi moral Shakespeare dalam karyanya sekadar menyajikan keruwetan hidup. Apa adanya, dan adanya apa. Baik dan buruk kadang sulit dipisahkan.

    Perkara hikmah yang dapat diambil, itu diserahkan pada pembaca. Shakespeare tidak memberi kata putus. Dalam hal ini dia seperti teman yang menyodorkan cermin.

    As it is, tidak semua gadis perlu dinasihati untuk jadi cantik. Kadang yang dibutuhkan cuma cermin untuk mengurus diri sendiri.

     

     
    ——

    Referensi Drama:


    Viewing all 60 articles
    Browse latest View live