Quantcast
Channel: ZENOSPHERE
Viewing all 60 articles
Browse latest View live

Fun with Math: Ubin dan Bidang Berulang

$
0
0

Dalam tulisan beberapa waktu lalu, kita sedikit mengulas teknik pengubinan geometri Islam, atau lebih tepatnya, yang berasal dari Iran/Persia. Dengan menggunakan satu set ubin pola yang rumit dapat dibuat. Pola itu lalu diteruskan sehingga dapat memenuhi ruang.

[img] Girih comparison

Madrasah Al-Mustansiriyya di Baghdad

(gambar oleh Lu & Steinhardt, 2007)

Biarpun sekilas rumit tetapi bisa dipecah jadi komponen-komponen sederhana. There’s something intriguing about that.

Soal pengubinan sendiri tak lepas dari matematika. Ahli matematika Keith Devlin pernah menulis bahwa “Mathematics is the science of patterns”. Maksudnya matematika bisa dipakai menjelaskan pola apapun di alam. Mulai dari pola geometri, pola statistik, hingga yang rada abstrak seperti pola pikir bisa dimodelkan dengannya. Kemudian tentu kita bertanya, karena pengubinan juga mempunyai pola, dapatkah dijelaskan dengan matematika?

Jawabannya… ya, bisa. :lol: Malah lebih hebat lagi. Percaya tidak percaya, ada satu area matematika yang khusus membahas pengubinan, yaitu teselasi.

Layaknya bidang ilmu, teselasi mempunyai istilah dan aturan main tersendiri. Sebagian akan kita singgung di tulisan ini. Meskipun begitu, harus diingat bahwa tulisan ini bersifat pengenalan, populer, dan tidak membahas dalam-dalam — atau dengan kata lain cuma sekilas info. :P Ya iyalah. Kalau mau komplit harus baca buku

Sekarang saya mau masuk ke pokok bahasan.

Biasanya, kalau menyebut ubin, yang terlintas adalah bentuk. Sering ada ubin segitiga atau segiempat; seorang tukang lalu mengombinasikan keduanya. Meskipun demikian ada juga cara pandang lain. Tidak hanya fokus pada bentuk, ahli matematika juga bisa menganalisis lewat titik temu antar-ubin. Atau dalam bahasa teknisnya disebut vertex.

Eh tapi tunggu dulu. Sebenarnya, apa itu vertex?

 
Berkenalan dengan Vertex: Titik Pertemuan
 

Di dunia matematika, istilah ini cukup sering disebut. Meskipun terkesan canggih namun pengertiannya simpel. Vertex dalam bahasa Indonesia berarti “titik pertemuan”.

Sewaktu SD kita belajar tentang kubus. Kalimat yang umum adalah sebagai berikut:

Sebuah kubus mempunyai enam sisi, duabelas rusuk, dan delapan titik sudut

[img] kubus

(image credit: Wikimedia Commons)

Nah, “titik sudut” yang disebut di atas tergolong vertex. Dia merupakan titik pertemuan berbagai rusuk dan sisi. Sebagaimana bisa dilihat, tiap vertex kubus mempertemukan tiga buah rusuk dan tiga buah sisi.

Kembali ke topik pengubinan…

Salah satu trik menjelaskan pengubinan adalah notasi vertex. Prinsipnya sederhana: lihat satu titik, dan catat bangun apa saja yang berkumpul. Dari situ akan terlihat pola interaksi bentuk yang berbeda. Adapun notasinya berbentuk angka dengan format “a.b.c.d”.

Misalnya contoh berikut, menggambarkan pertemuan tiga segitiga dan dua persegi.

[img] vertex example

(image credit: Wikimedia Commons)

 

    Bagaimana membuat notasi vertex?
     
  • Pilih ubin untuk memulai
    (contoh: persegi di kanan atas)
  •  

  • Dari situ bergerak searah jarum jam. Apa saja bentuknya?
    (persegi, segitiga, segitiga, persegi, segitiga)
  •  

  • Ubah jadi angka. Berapa jumlah seginya?
    (4, 3, 3, 4, 3)

 

    Maka dapat ditulis notasi vertex:
        4.3.3.4.3
     
    Supaya ringkas 3.3 bisa disingkat 32, maka hasil akhirnya…
        4.32.4.3

Notasi di atas sangat fleksibel. Meskipun begitu, sebelum lanjut, saya harus memberitahu: semua yang dibahas di tulisan ini bangun sama sisi.

Oleh karena itu konfigurasi vertex seperti 36 harus dibaca “enam segitiga samasisi bertemu di satu titik”. Demikian juga 33.42 berarti “tiga segitiga samasisi bertemu dua persegi”.

Kira-kira demikian penjelasan tentang vertex. Sekarang kita akan masuk topik selanjutnya, yakni uniformitas.

 
Tentang Uniformitas (dan k-uniform)
 

Sebagaimana tersirat dari namanya, sifat uniformitas berhubungan dengan keseragaman. Meskipun begitu, daripada lama dengan pengertian, yang belum tentu juga efektif, lebih baik langsung ke ilustrasi.

Kita mulai dengan yang sederhana, yaitu ubin persegi. Hampir semua orang tahu polanya — sering terdapat di lantai rumah.

[img] ubin persegi

(image credit: Wikimedia Commons)

Kalau kita perhatikan, setiap vertexnya mempertemukan empat buah persegi. Oleh karena itu dapat ditulis konfigurasinya 44.

Sekarang mari kita pastikan, apakah ada vertex yang konfigurasinya di luar 44? Ternyata tidak ada.

Oleh karena itu dapat kita nyatakan: pola pengubinan di atas bersifat seragam (uniform) pada konfigurasi vertex 44.

Lewat penjelasan di atas jadi jelas prinsip uniformitas: dia ditentukan oleh konfigurasi vertex. Karena dalam ilustrasi kita hanya perlu 1 (satu) konfigurasi untuk seluruh bidang, maka secara matematika, dapat disebut 1-uniform.

* * *

Nah, tapi ada masalah.

Kita tahu ubin rumah (pada umumnya) bersifat 1-uniform. Pola itu sangat sederhana. Namun di dunia sehari-hari ada banyak pola yang rumit. Belum tentu cocok dengan 1-uniform.

Misalnya contoh berikut, kombinasi dari segitiga, persegi, dan segi-12. Pola ini mengandung lebih dari satu konfigurasi vertex.

[img] 2-uniform example

(image adapted from: Wikimedia Commons)

 

    Ditandai dua buah vertex A dan B.
    Vertex A: 32.4.12
    Vertex B: 36

Percaya tidak percaya, walau terlihat rumit, seluruh pola hanya mengandung dua konfigurasi vertex. Boleh coba tes di titik manapun. Ibarat jodoh hasilnya takkan lari ke mana. :mrgreen:

Nah, karena mempunyai dua vertex yang unik, maka bidang di atas disebut 2-uniform. Demikian pula jika vertex unik berjumlah 3 maka disebut 3-uniform. Begitu seterusnya untuk angka lain.

Di titik inilah, kita menyadari sifat uniformitas bidang bisa dinyatakan lewat variabel, yaitu:

k-uniform

di mana k menyatakan jumlah konfigurasi vertex yang unik. Semakin besar nilai k maka makin banyak konfigurasi vertexnya. Otomatis, pola yang dihasilkan juga semakin rumit.

Pembaca yang penasaran ingin melihat contoh bidang k-uniform dapat berkunjung ke situs ini — di situ terdapat katalog hingga k=7. Saya sendiri tak hendak menampilkan, sebab sejujurnya, ruangnya takkan cukup. :P

Meskipun begitu, untuk ilustrasi, bolehlah satu buah contoh (penanda vertex ditambahkan).

[img] bidang 3-uniform

Contoh bidang 3-uniform, dengan konfigurasi:
6.3.6.3 ; 3.6.42 ; 4.6.12

(image credit: Brian Galebach @ ProbabilitySports)

 
Kombinasi Ubin
 

Sejauh ini kita melihat interaksi ubin berbagai bentuk. Ada segienam bertemu segitiga, segitiga bertemu segiempat, dan sebagainya.

Nah, situasi di mana terdapat lebih dari satu bentuk ubin disebut sebagai n-hedral, mengacu bahasa Yunani hedra (“sisi permukaan”/”bangun”). Sama dengan uniformitas imbuhan n- di sini dapat diganti angka.

Apabila terdapat dua bentuk ubin disebut 2-hedral. Jika terdapat 3 disebut 3-hedral. Adapun jika hanya melibatkan satu bentuk disebut 1-hedral (monohedral).

Mengapa status n-hedral penting? Karena mempengaruhi kompleksitas desain. Ambil contoh dua pola uniformitasnya sama. Apabila angka hedralnya berbeda maka kerumitannya juga akan berbeda.

Misalnya gambar di bawah, keduanya sama-sama 1-uniform. Meskipun begitu yang kiri 1-hedral — sementara yang kanan 2-hedral.

[img] perbandingan 1-uniform

(image credit: Wikimedia Commons [1] [2])

Di sini terlihat menariknya. Biarpun uniformitas sama, ternyata desainnya beda jauh! :)

 
Akan tetapi ada batasnya…
 

Menariknya, biarpun seolah kita bisa kreatif, menyusun dan merangkai ubin sesuka kita, ternyata ada juga batasnya. Jika harus memakai bangun beraturan — dalam arti segitiga samasisi, segienam samasisi, dst. — maka hanya ada 15 jenis konfigurasi vertex yang bisa menghasilkan pola berulang.

Sayang juga sebenarnya. Sebab biarpun kita bisa menciptakan kombinasi eksotis seperti 3.8.24 atau 3.7.42, yang semacam itu takkan bisa menciptakan pengubinan. Pada akhirnya akan terjadi bolong atau tumpang-tindih.

Seperti apa daftar selengkapnya, beserta ilustrasi, dapat dilihat di bawah ini:

15 vertex configurations

(image credit: Kevin Jardine @ Imperfect Congruence)

Mengapa hanya ada 15… well, soal itu ada penjelasannya yang pakai rumus. Meskipun begitu, seperti biasa di seri tulisan ini, kita takkan membahasnya. Silakan cari tahu sendiri kalau berminat. ;) (I hope you are!)

Bagaimanapun, seperti sudah disebut di awal, tulisan ini bukan treatise yang mendalam. Ibaratnya hanya sebuah pengantar. Lagipula kalaupun dibahas habis-habisan, belum tentu sayanya juga mampu. :lol:

No, I wasn’t being modest. It’s annoying, complicated, seriously weird and completely… fun…

*dilempar TV*

 

 
——

Referensi:

Grunbaum, B. & Shephard, G.C. (1987). Tilings and Patterns. New York: W.H. Freeman & Co.

 
Bacaan Terkait (online):

Kevin Jardine’s “Imperfect Congruence”



Astronomi Open Source Lewat Stellarium

$
0
0

Waktu saya masih SD dulu, ada sebuah alat peraga IPA yang menarik, yang sering ada kalau kita main ke perpustakaan. Fungsinya menunjukkan pergerakan matahari dan planet — bentuknya seperti di bawah ini.

[img] Orrery

(image credit: Wikimedia Commons

Mengapa menarik? Sebab, kalau kita menggerakkan satu planet, maka planet yang lain akan ikut bergerak juga. Itu karena di dalamnya terhubung dengan roda gigi. Sebagaimana tata surya aslinya bergerak teratur, begitu pula versi maketnya. Keteraturan itu diaproksimasi secara mekanik.

Tentunya bisa dibayangkan bagaimana rumitnya membuat alat seperti itu. Berapa pula harganya kalau dijual? :| Meskipun demikian kita cukup beruntung.

Seiring kemajuan teknologi, di masa kini simulasi astronomi tidak lagi harus mekanik, melainkan bisa secara digital. Tentu saja di baliknya ada perhitungan matematika. Asalkan mempunyai komputer — atau bahkan ponsel — kita bisa bermain dengan “miniatur alam semesta”. :D

Nah, salah satu simulator astronomi yang cukup bagus adalah Stellarium. Aplikasi ini bersifat open source dan tersedia untuk Windows, Linux, dan Mac.

Stellarium screenshot

 

    Website: Stellarium.org
    Spesifikasi Minimum:
  • Windows XP / OS X 10.7.4 / Linux
  • 3D graphics card with OpenGL 2.1
  • 256 MB RAM
  • 150 MB disk space

 
Menatap Langit Virtual
 

Sebagaimana bisa ditebak dari namanya, Stellarium mempunyai prinsip kerja yang mirip dengan planetarium. Sebuah planetarium mempunyai layar berbentuk kubah, oleh karena itu kita bisa menoleh ke berbagai arah dan tetap melihat kaki langit.

Demikian pula dengan Stellarium, programnya mensimulasikan “kubah langit” di layar monitor. Pertama kali seusai loading, kita mendapat tampilan seperti berikut.

Stellarium screenshot

Ada langit, cakrawala, dan permukaan bumi juga. Meskipun demikian berbagai elemen itu dapat dinonaktifkan — membuat kita seolah melayang di tengah angkasa.

Stellarium screenshot

Nah, sekarang kita masuk ke topik yang lebih teknis.

Tak berbeda dengan program peta bintang sebangsanya, Stellarium memberikan pilihan lokasi. Kita bisa mensimulasikan penampakan langit di kota mana atau desa mana. Bahkan kita bisa menambahkan lokasi tersendiri — asal kita masukkan koordinat dan informasi ketinggian.

Stellarium screenshot

Ada juga preset yang rada ajaib: seolah-olah kita berdiri di Bulan atau Planet Mars. Meskipun begitu dalam skala besar tak banyak berpengaruh. Jadi bergeser saja peletakan planet dan rasi bintangnya. :P

Fitur lain yang juga standar adalah time travel, atau secara teknisnya, mensimulasikan posisi benda langit pada waktu yang kita pilih. Baik itu tahun 2000, 2030, atau bahkan 200 tahun sebelum Masehi bisa diset.

Stellarium screenshot

Sebagai pelengkap adalah percepatan atau akselerasi. Di dunia nyata, pergerakan bintang di langit sangat lambat, baru terlihat bedanya dalam hitungan minggu. Orang yang tidak biasa kadang susah membayangkan.

Oleh karena itu Stellarium memberikan opsi percepatan. Bisa saja pergerakan yang harusnya setahun dijadikan satu menit. Hasilnya akan ditampilkan berupa animasi — bisa kita stop dan lanjutkan sesuka hati.

Stellarium screenshot

Panel animasi dan percepatan

Meskipun demikian kelebihan Stellarium bukan cuma teknis-simulasi, melainkan juga aspek edukasi. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Tentang Astronomi Multikultur (!)
 

Kalau boleh jujur, satu aspek paling berkesan dari Stellarium — terutama bagi saya yang pendidikannya bukan Astronomi — adalah penjelasan peta bintang. Orang sering bertanya, di mana miripnya “titik dan garis-garis” dengan singa (Leo) atau banteng (Taurus).

Nah, Stellarium mempunyai opsi menampilkan artwork — jadi terlihat kira-kira orang dulu membayangkan bentuk apa di rasi mana.

Misalnya contoh berikut, menampilkan konstelasi Orion. Jadi jelas kenapa istilah “Sabuk Orion” sangat populer.

Stellarium screenshot

Tentunya kalau bicara rasi bintang, kita harus menyebut yang familiar, yakni keluarga zodiak. Meskipun demikian tidak ada Athena yang tertancap panah maut. Anak sekarang nonton Saint Seiya juga nggak ya? :?:

Stellarium screenshot

Dari kiri-atas ke bawah: Leo, Cancer, Gemini

***

Meskipun demikian, yang sudah disebut di atas itu baru sebagian. Kita semua akrab dengan konstelasi Eropa, namun bagaimana dengan suku-budaya lain?

Di sinilah muncul kelebihan Stellarium yang khas. Bukan cuma versi Eropa, versi eksotis seperti Tiongkok dan Arab juga ada. Begitu pula versi Brasil. Bahkan peta bintang peradaban super-kuno, seperti Mesir, juga ada! :D

Stellarium screenshot

Tinggal pilih…

Sebagian contohnya dapat dilihat di bawah ini.

Stellarium screenshot

Peta Bintang versi Arab…

Stellarium screenshot

…Korea…

Stellarium screenshot

…Brasil…

Stellarium screenshot

…dan Mesir Kuno. Ada Horus!! :o

Sayangnya peradaban non-Eropa umumnya tidak mempunyai artwork. Meskipun begitu tetap membantu kita menyadari, bahwa tradisi mengamati bintang itu sifatnya universal.

 
Some More Advanced Stuff…
 

Bagian-bagian lainnya dari Stellarium cenderung teknis, dan sepertinya ditujukan untuk pengamat bintang yang lebih serius (bukan saya, jadi kurang mengerti). Informasi benda langitnya detail sekali. :?:

Ada juga simulator teleskop dan lensa yang njelimet. Meskipun begitu, seperti sudah disebut, itu bukan untuk saya. Kalau saya cukup nonton bintang-bintangnya sambil duduk manis. :lol:

Stellarium screenshot

When I heard the learn’d astronomer…

 
Penutup dan Download
 

Program astronomi yang mantap, edukatif, dan — berhubung open source — maka bersifat gratis. Link download sudah dicantumkan di atas, namun sebagai penutup, ada baiknya ditaruh lagi di sini:

Khusus pengguna Linux, Stellarium umumnya ada di repository standar berbagai distro, jadi (harusnya) tak perlu lewat link di atas.

On related note: sebenarnya ada Stellarium versi Android, tapi sepertinya tidak gratis. Kurang tahu official atau tidak, sih. :-\


Physical Oddities: Efek Meissner

$
0
0

Di bawah ini adalah sebuah penampakan yang rada ajaib. Sepotong magnet tampak melayang di udara. Tidak ada tali yang menahan, apalagi tipuan kamera — benar-benar melayang di udara.

[img] Magnet melayang

(image credit: Wikimedia Commons)

Tentunya bisa begitu bukan karena dibantu jin atau makhluk gaib; kalau iya, maka takkan kita bahas di blog ini. :P Biarpun tampak ajaib, peristiwa itu terjadi melalui hukum fisika, dan bisa dijelaskan secara logis. Namanya adalah Efek Meissner.

Apa itu Efek Meissner? Nanti akan saya jelaskan. Sekarang saya mau menunjukkan dulu beberapa video yang bagus.

Biarpun tampak mencengangkan, yang terlihat dalam foto di atas barulah sebagian. Di bawah ini adalah eksperimen yang dilakukan para ahli di Universitas Oslo. Sebuah magnet diletakkan di atas meja. Namun anehnya magnetnya tidak jatuh — melainkan mengambang di udara. Bahkan digoyang-goyang pun tidak bergeser.

Meskipun demikian ahli eksperimen tidak menyerah. Dia memaksa menggeser magnet dengan tangan. Ajaib: magnetnya sekarang pindah ke posisi baru!! :shock: Namun anehnya, seperti video pertama, magnet ini kembali “terkunci” di udara. Dicoba digoyang-goyang pun dia tetap stabil.

Terakhir, sebagai penutup adalah video berikut. Merasa pekerjaannya selesai ahli eksperimen memutuskan mengambil magnet untuk disimpan. Namun ternyata… material di bawahnya ikut terangkat!!

Nah, kira-kira seperti itulah “keajaiban” fisika Efek Meissner. Adapun bisa seperti di atas karena melibatkan kombinasi yang tidak biasa, yaitu magnet dan superkonduktor.

Tentunya kemudian timbul pertanyaan. Apa itu Efek Meissner, dan bagaimana terjadinya?

 
Apa itu Efek Meissner? Pengosongan Medan
 

Di dunia fisika, terdapat sifat material yang disebut superkonduktivitas. Seperti tersirat dari namanya, sifat ini berhubungan dengan konduktivitas, yakni kemampuan benda menghantarkan arus listrik. Meskipun demikian ada bedanya.

Sebuah material konduktor mempunyai hambatan (resistensi); resistensi ini membuat sebagian energi listrik terbuang menjadi panas. Sedikit demi sedikit arus listrik yang melewati konduktor akan tergerus. Alhasil, semakin panjang kabel konduktor, semakin kecil arus listrik yang sampai ke ujung. Peristiwa ini disebut sebagai transmission loss.

Sementara itu superkonduktor jauh lebih sempurna. Dia mempunyai nilai resistensi hampir nol. Oleh karena itu tidak terjadi transmission loss. Secara teori, sekali kita memberi arus di superkonduktor, maka arusnya akan terus mengalir, bahkan sampai ribuan tahun! Namun syaratnya sangat berat.

Berdasarkan teknologi kita saat ini, material superkonduktor hanya bisa bekerja pada suhu rendah, yakni mendekati Nol Kelvin (-273° Celsius). Oleh karena itu, jika ingin memakai superkonduktor, maka kita juga harus siap dengan perlengkapan pendinginannya.

[img] nitrogen cair

Salah satu cara mendinginkan superkonduktor, dengan nitrogen cair

(image adapted from Wikimedia Commons)

Nah, sekarang kita masuk ke bahasan tentang Efek Meissner.

Sewaktu sekolah dulu kita belajar bahwa listrik dan magnet saling berhubungan, oleh karena itu disebut sebagai elektromagnet. Sebuah arus listrik dalam kawat akan menghasilkan medan magnet. Demikian pula medan magnet yang tak-homogen akan menimbulkan beda potensial — jika beda potensial itu dijembatani kawat maka akan timbul arus di dalamnya.

Pada dasarnya Efek Meissner bekerja dengan prinsip elektromagnet. Namun yang membedakan, Efek Meissner melibatkan superkonduktor — bukan konduktor biasa. Melalui material superkonduktor inilah, medan magnet dapat dimanipulasi, mengakibatkan terjadinya pelayangan (magnetic levitation).

Mengapa bisa seperti itu? Karena terjadi semacam “pengosongan medan”. Penjelasannya di bawah ini.

[img] Ilustrasi Efek Meissner

Superkonduktor pada suhu tinggi (kiri) dan pada suhu rendah (kanan)

(image credit: Wikimedia Commons)

Dalam gambar sebelah kiri, terdapat material superkonduktor pada suhu kamar. Karena berada di suhu kamar maka sifat superkonduktivitasnya belum muncul. Material ini dilingkupi oleh medan magnet B.

Meskipun demikian material itu didinginkan hingga mencapai suhu kritis (Tc). Apa yang terjadi? Medan magnet di sekitarnya berbelok. Material superkonduktor jadi aktif dan mengosongkan medan di sekitarnya! :o

Mengenai “pengosongan medan” ini bisa dilihat dalam foto di bawah. Sebuah silinder superkonduktor didinginkan hingga mencapai suhu kritis. Perhatikan bahwa di sekelilingnya jarum-jarum kompas menunjukkan alur menghindar.

[img] Efek Meissner

(image credit: Wikimedia Commons)

Inilah yang disebut dengan Efek Meissner, yaitu penolakan/pengosongan medan magnet dari sekitar superkonduktor. Efek ini pertama kali diamati oleh duet fisikawan Jerman, Walther Meissner dan Robert Ochsenfeld.

Oleh karena itu, menjadi wajar jika sepotong magnet tidak bisa mendekat pada superkonduktor aktif. Penyebabnya sederhana: karena medan magnetnya ditolak sejak awal! :)

 
Lebih Lanjut: “Kuncian” Medan Magnet
 

Meskipun demikian, kalau kita pikirkan, apa mungkin magnet melayang cuma karena ditolak superkonduktor? Sebab kalau ditolak harusnya magnet terlempar jauh-jauh. Sementara dalam foto dan video yang kita lihat magnetnya diam dan stabil. :-?

Nah, mengenai hal ini ada penjelasannya lagi.

Sebagaimana sudah dijelaskan, superkonduktor cenderung menolak medan magnet di sekitarnya. Sebenarnya kata “menolak” agak kurang cocok — lebih tepat kalau disebut “menetralisir”.

Skenarionya seperti ini. Pertama-tama kita bayangkan superkonduktor yang diam.

Kemudian datang sebatang magnet, dia mempunyai medan magnet B.

Akan tetapi superkonduktor tidak suka medan magnet. Maka dia melakukan penolakan (i.e. “pengosongan medan”).

Di sinilah terjadi situasi yang mirip Hukum Newton Ketiga: “Aksi = Reaksi”. Medan milik batang magnet dibatalkan secara impas oleh superkonduktor — membuat dia terkunci di udara!! :D

[img] Meissner equilibrium

Situasinya kira-kira mirip di atas.

(image adapted from: Wikimedia Commons)

Jadinya timbul skenario seperti berikut:

  • Kalau magnet disenggol, dia cenderung keukeuh (cf. video pertama).
     
  • Kalau magnet dipaksa dan ditahan dengan tangan, lama-lama dia beradaptasi, keukeuh di “kuncian magnetik” baru (cf. video kedua)
     
  • Adapun jika magnet diangkat dan dibawa pergi, “kuncian magnetiknya” masih ada. Maka superkonduktor di bawahnya akan ikut terangkat. (cf. video ketiga)
     

Kira-kira seperti itulah penjelasannya. Luar biasa bukan? :D

Pada awalnya kita tidak tahu prosesnya; jika dipandang sekilas sepertinya kok ajaib. Namun sebagaimana sudah disebut: sebenarnya semua itu terjadi berdasarkan hukum fisika, dan bisa dijelaskan secara logis.

Tentunya harus diakui bahwa peristiwa di atas cuma bisa terjadi di laboratorium; di dunia sehari-hari agak sulit mewujudkannya. Akan tetapi harusnya cukup memberi gambaran: bahwa alam semesta itu bisa aneh, lucu, dan mengejutkan juga. Tinggal bagaimana kitanya mencari tahu. :P

 

 

——

Referensi:

Beiser, A. (1995). Concepts of Modern Physics (6th ed.). New York: McGraw-Hill

Tipler, P.A. & Mosca, G. (2008). Physics for Scientists and Engineers (6th ed.). New York: W.H. Freeman & Co.

 
——
Video Eksperimen:


Pedang Damocles, Racun Mithridates

$
0
0

Di dunia Yunani Kuno, terdapat sebuah kisah semi-legenda yang disebut “Pedang Damocles”. Disebut semi-legenda karena melibatkan tokoh sejarah, meskipun demikian tidak jelas apakah benar-benar pernah terjadi. Ceritanya disampaikan oleh Cicero, anggota senat sekaligus orator besar Republik Romawi.

Syahdan, Penguasa Syracuse Dionysius II dikenal sebagai pemimpin yang lalim. Meskipun demikian dia mempunyai kekuasaan yang hebat: Syracuse di masa itu adalah kota pelabuhan yang terletak antara Yunani, Italia, dan Afrika Utara. Lokasi yang strategis, ditambah arus perdagangan yang ramai, membuat perannya sangat penting di kancah politik-ekonomi Mediterania.

Oleh karena itu, wajar jika banyak orang menganggap jadi Penguasa Syracuse berarti hidup senang. Salah satu yang berpikir seperti itu adalah Damocles — pelayan Dionysius di Istana Syracuse. Dalam satu kesempatan dia memuji Raja sebagai orang paling beruntung di dunia.

Mendengar ini Raja lalu bertanya: jika benar demikian, maukah Damocles mencoba sehari menjadi raja?

Singkat cerita Damocles mengiyakan. Dengan segera dia didandani pakaian mewah dan didudukkan di singgasana. Makanan pun disiapkan untuknya. Namun anehnya Raja belum selesai.

Tepat di atas singgasana Raja menggantungkan sebilah pedang — dihubungkan ke langit-langit oleh sehelai rambut ekor kuda. Kemudian Raja bersabda bahwa Damocles akan dilayani sepuasnya, asalkan dia tetap duduk di singgasana.

[img] Sword of Damocles by Richard Westall (1812)

Damocles duduk di singgasana Raja
(lukisan karya Richard Westall, 1812)

(image credit: Ackland Art Museum)

Sebagaimana bisa ditebak Damocles mulai ketakutan. Dengan segera makanan dan minuman dihidangkan, akan tetapi dia tidak dapat menikmati. Begitu pula disuguhi musik dan tarian dia tidak terhibur. Bagaimana jika benang yang menahan di atasnya putus? Tentu dalam sekejap dia akan mati.

Tidak sampai sehari Damocles akhirnya menyerah. Kini dia sadar maksud Raja: kehidupannya tidak tenang. Di balik kemewahan terdapat orang-orang yang ingin membunuhnya.

Bisa ditebak, Damocles kini ogah menjadi raja. Segera dia memohon-mohon supaya perjanjiannya dibatalkan.

Mendengar permohonan itu, Dionysius akhirnya melepaskan Damocles, dan menyuruhnya kembali jadi pelayan.

 
Menarik dicatat bahwa, dalam sejarah, Dionysius II adalah raja yang jalannya tidak mulus. Dia pernah dikudeta oleh pamannya, Dion, yang mengusirnya ke pulau seberang. Meskipun begitu dia dapat kembali ke Syracuse dan merebut tahta. Adapun berkat kelicikan juga dia akhirnya menang. Melalui surat palsu, Dionysius menghasut warga Syracuse melawan Dion, yang akhirnya tewas oleh konspirasi. Rangkaian peristiwa ini memuluskan jalannya menuju tahta.

Mungkin itu juga yang terlintas ketika Dionysius ‘mengerjai’ Damocles dengan pedang tergantung. Bagaimanapun pengalaman adalah guru terbaik, dan pengalaman buruk adalah guru paling galak. :lol:

* * *

Sementara itu, berabad-abad kemudian, lain lagi ceritanya dengan Mithridates VI. Dia diceritakan sebagai penguasa Pontus, Anatolia, yang ‘kerjanya’ bermusuhan dengan Republik Romawi.

Selama bertahun-tahun dia menjadi sumber ketakutan. Bahkan jenderal besar Romawi, Lucius Sulla dan Pompey, susah mengalahkannya. Kehadiran Mithridates ibaratnya seperti duri dalam daging, semut dalam gulali, atau kelabang dalam selimut.

[img] Mithridates VI coin

Mithridates digambarkan dalam sebuah koin

(image credit: Livius.org)

Mengenai Mithridates sendiri kisahnya mirip Dionysius. Sewaktu kecil dia diusir oleh ibu dan saudara-saudaranya yang culas. Butuh tujuh tahun sebelum dia kembali ke Pontus, menjadi raja, dan mengirim semua musuh politik ke penjara. Meskipun begitu dia masih punya welas asih. Ketika anggota keluarganya meninggal di penjara, mereka semua dimakamkan dengan penghormatan penuh.

Dengan latar belakang tersebut, amat wajar jika Mithridates menjadi paranoid. Beberapa sejarawan menyebut bahwa Mithridates biasa meminum racun dosis rendah. Tujuannya jelas: untuk membentuk kekebalan. Dapat dibilang bahwa Mithridates sangat tekun melindungi dirinya.

Namun memang takdir susah ditebak, dan jalannya sejarah tak terduga.

Memasuki tahun 63 SM, pasukan Romawi yang dipimpin Pompey merangsek ke Anatolia, memaksa Mithridates kabur ke Colchis. Jadi makin rumit sebab diplomasinya gagal di sana-sini. Sementara itu, Mithridates terdesak dan kekurangan tentara.

Entah gila atau kehabisan akal, Mithridates mengambil pilihan ekstrim. Dia membunuh putranya sendiri, Machares Raja Bosphorus, dan merebut tahta. Namun rencananya gagal: putranya yang lain, Pharnaces II, memberontak. Bersama dengan rakyat dia mencoba menjatuhkan Mithridates.

Seiring mendekatnya Pompey dari arah Barat, ditambah dengan perlawanan Pharnaces, Mithridates merasa akhir sudah dekat. Dia memutuskan untuk bunuh diri.

Namun di sinilah terjadi semacam komedi gelap: luar biasa ironis dan, kalau bukan menyangkut nyawa, mungkin bisa dibilang lucu.

Bagaimana caranya bunuh diri? Mithridates bertekad minum racun dengan dosis tertinggi yang pernah ada. Dua orang putrinya, melihat sang ayah bulat tekad, berniat membantu: biar mereka minum lebih dulu untuk membuktikannya. Bagaimanapun lebih baik mati daripada jadi tawanan Romawi.

Sekejap seusai minum, kedua putri Mithridates terkapar. Tewas seketika. Namun demikian Mithridates tidak merasa apa-apa.

Ke sana-kemari dia berjalan untuk mempercepat penyebarannya. Namun ternyata… racunnya tidak berdampak. Selama bertahun-tahun Mithridates telah membangun kekebalan — dan kini kekebalan itu mementahkan racun yang dia inginkan.

Pasrah dengan nasibnya yang gagal mati, dia kemudian berdiskusi dengan Bituitus, pengawalnya yang berkebangsaan Gaul. Dalam dialog yang dikutip sejarawan Appian:

“I have profited much from your right arm against my enemies. I shall profit from it most of all if you will kill me, and save from the danger of being led in a Roman triumph one who has been an autocrat so many years, and the ruler of so great a kingdom, but who is now unable to die by poison because, like a fool, he has fortified himself against the poison of others.”

 
(Appian, Roman History, terj. Horace White)

Daripada takluk dan dipermalukan oleh Romawi, lebih lagi setelah bertahun-tahun menjadi musuh, lebih baik menjemput maut. Mithridates akhirnya meminta Bituitus membantu mengakhiri hidupnya.

Dan demikianlah akhir hidup Mithridates: niatnya memperkuat diri ternyata berujung ironis.

Adapun di pihak Romawi, ketangguhan Mithridates membuat Pompey merasa hormat. Oleh karena itu dia memerintahkan: biarpun Romawi menang, jenazah Mithridates harus diperlakukan dengan hormat, dan dikubur di mausoleum bersama raja-raja pendahulunya.

Tak lama sesudah Mithridates meninggal, Republik Romawi akan runtuh, berganti menjadi Kekaisaran yang terkenal dalam sejarah. Meskipun demikian soal itu tak akan kita bahas di sini.

 
Penutup: “In Antiquity, where we lay our scene”
 

Bapak William Shakespeare, yang karyanya sempat saya review bulan lalu, punya kutipan bagus untuk menggambarkan prasangka dan rencana yang meleset di dunia. Kalimatnya sebagai berikut, terdapat dalam drama berjudul “Hamlet”.

And praised be rashness, for it let us know,
Our indiscretion sometime serves us well
When our deep plots do pall; and that should learn us
There’s a divinity that shapes our ends,
Rough-hew them how we will—

 
Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 1

Shakespeare sendiri bukan orang yang asing dengan tema itu. Sebagai dramawan dia sangat ahli merancang motif dan niat karakter. Namun seiring jalannya cerita semua itu diputar, diaduk, dibenturkan dengan situasi — sedemikian hingga jadi meleset dan berantakan.

Beberapa kisahnya tragedi seperti Hamlet dan Macbeth. Meskipun begitu ada juga yang komedi seperti A Midsummer’s Night Dream.

Hubungannya dengan topik kita, tentu bisa ditebak. Baik kisah Damocles maupun Mithridates mempunyai benang merah yang sama: prasangka meleset dan berujung kacau. Adapun dalam kasus Mithridates, hal itu ditimpali perencanaan yang paranoid — sedemikian hingga hasilnya ikut berantakan secara spektakuler.

Kadang ada kesan seolah “langit menertawakan”. Atau kalau menurut Bapak Shakespeare di atas, “there’s a divinity that shapes our ends.” Bagaimanapun yang semacam itu sering terjadi, dan saya yakin, pembaca juga pernah mengalami. :mrgreen:

Ini bukan berarti orang tak bisa berencana dan berkehendak, sebab kalau iya, hidup kita takkan berjalan. Meskipun demikian alam semesta suka punya aturannya sendiri… menanggapinya dengan tenang, logis, dan hati-hati adalah pilihan terbaik. ;)

 

 

——

Referensi:

(buku)

    Holland, T. (2003). Rubicon: The Last Years of the Roman Republic. London: Hachette Digital

 
(online: classics public domain)


Cermin Republik dari La Boétie

$
0
0

Ada sebuah observasi menarik yang dibuat oleh Etienne de La Boétie, ahli hukum berkebangsaan Prancis, yang dimuat dalam esai terbitan tahun 1576. Esainya berjudul Discourse on Voluntary Servitude, dan mengandung kutipan di bawah ini.

For the present I should like merely to understand how it happens that so many men, so many villages, so many cities, so many nations, sometimes suffer under a single tyrant who has no other power than the power they give him; who is able to harm them only to the extent to which they have the willingness to bear with him; who could do them absolutely no injury unless they preferred to put up with him rather than contradict him. Surely a striking situation!

 
(La Boétie, “Discourse On Voluntary Servitude”, terj. Harry Kurtz)

Yang dibicarakan oleh La Boétie adalah berbagai peristiwa dalam sejarah. Pada awalnya terdapat masyarakat yang menunjuk seorang pemimpin, meskipun demikian pemimpin itu ternyata berkhianat — dalam prosesnya menjebloskan rakyat ke dalam tirani.

Satu contoh yang terkenal misalnya Republik Romawi. Selama berabad-abad mereka menganut sistem pemerintahan parlementer. Senat Romawi sendiri cukup mentereng; pemikir besar Cicero dan Cato Minor pernah jadi anggota. Meskipun begitu reputasi tidak menjamin keberhasilan. Konsul pilihan Senat sendiri, Lucius Sulla, membangkang dan membawa pasukan ke dalam kota, berujung pengangkatan dirinya jadi diktator. Pada akhirnya Sulla mengembalikan kekuasaan pada Senat — namun benih kehancuran sudah dimulai.

Beberapa tahun kemudian, Senat mengulangi kesalahan, mengangkat Julius Caesar sebagai Konsul. Caesar — mengikuti pendahulunya — juga melakukan kudeta. Republik Romawi akhirnya benar-benar tamat ketika Augustus Caesar naik tahta. Melalui serangkaian hukum dia menciptakan “sandiwara” pemimpin yang didukung Parlemen. Jadi ironis sebab pada akhirnya Senat Romawi masih ada — namun mereka tak ubahnya “perpanjangan tangan” Augustus.

Contoh lain yang juga disindir oleh La Boétie adalah kelakuan raja-raja Eropa abad pertengahan. Pada awalnya mereka dianggap mewakili Tuhan di Bumi. Akan tetapi, seperti contoh sebelumnya, kepercayaan ini pun diselewengkan. Rakyat dikenakan pajak tinggi dan aturan yang merendahkan kehormatan. Sebagai contoh adalah ius prima noctis, di mana Raja mempunyai hak menghabiskan malam pertama dengan siapapun mempelai yang menikah di wilayahnya.

Melalui dua ilustrasi di atas jadi terlihat sebuah benang merah. Biarpun pada awalnya baik, seiring jalannya waktu kepercayaan dari rakyat disalahgunakan oleh pemimpin. Akhirnya mereka terjebak dalam tirani.

Sejauh itu saja sudah terlihat ironis. Meskipun begitu, yang lebih mengenaskan: diperlakukan begitu pun rakyat cenderung menoleransi. Mengapa sesudah Republik runtuh, Kekaisaran Romawi bisa bertahan lima abad? Mengapa pula monarki-monarki di Eropa bisa eksis? Keheranan itu disuarakan oleh La Boétie:

But O good Lord! What strange phenomenon is this? What name shall we give to it? What is the nature of this misfortune? What vice is it, or, rather, what degradation? To see an endless multitude of people not merely obeying, but driven to servility? Not ruled, but tyrannized over? These wretches have no wealth, no kin, nor wife nor children, not even life itself that they can call their own. . . .

. . . When not a hundred, not a thousand men, but a hundred provinces, a thousand cities, a million men, refuse to assail a single man from whom the kindest treatment received is the infliction of serfdom and slavery, what shall we call that?

 
(La Boétie, “Discourse On Voluntary Servitude”, terj. Harry Kurtz)
(cetak tebal ditambahkan)

Pertanyaan La Boétie di atas dapat dibilang bersifat timeless. Sungguh aneh bahwa rakyat, biarpun menang jumlah, tidak mau memaksakan diri menentang penindasan. Padahal yang menindas mereka itu — paling banyak — hanyalah segelintir orang. Namun justru pihak yang segelintir dapat bertindak semena-mena.

Lebih lanjut, pertanyaan La Boétie seolah menohok alasan orang mendirikan negara. Negara pada awalnya tercipta karena orang ingin mengatur dan menentukan nasib sendiri. Akan tetapi sesudah negara terbentuk… ternyata pemimpinnya malah menindas rakyat. Jadi lebih aneh sebab rakyatnya seolah memilih tabah.

Meskipun demikian, untuk sementara, kita tinggalkan dulu La Boétie dan pertanyaannya. Sekarang kita akan menengok ke rekan senegara La Boétie yang beda generasi, yaitu Montesquieu.

 
Prinsip “Check and Balance”
 

Terlepas dari akar masalahnya, pertanyaan La Boétie menyorot sebuah topik universal. Topik itu adalah penyelewengan/penyalahgunaan kekuasaan. Selalu ada resiko bahwa orang (atau institusi) sebaik apapun akan tergoda mengeksploitasinya. Mengutip sebuah slogan populer: “Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh karena itu, amat penting untuk mencegah kekuasaan itu disalahgunakan. Mengenai hal ini terdapat sebuah mekanisme yang ditawarkan oleh filsuf Prancis Montesquieu.

Sebagian pembaca mungkin ingat, dalam pelajaran di sekolah, Montesquieu merumuskan Trias Politika — tiga elemen dalam pemerintahan berperan saling mengawasi. Penerapannya di Indonesia kira-kira seperti berikut.

Tujuan orang bernegara adalah mengatur dan menentukan nasib sendiri. Seorang pemimpin dapat mengatur nasib negara. Oleh karena itu rakyat harus dapat memilih pemimpinnya. (aspek pemerintahan Eksekutif)

Meskipun demikian, dalam perjalanannya, bisa saja pemimpin yang dipilih itu menjadi lancung. Maka pemerintah harus selalu diawasi — dan dibatasi — oleh badan khusus yang dapat menciptakan hukum. (aspek pemerintahan Legislatif)

Adapun seperangkat hukum itu harus ditegakkan dengan benar. Di sinilah pentingnya keberadaan aparat penegak hukum. (aspek pemerintahan Yudikatif)

Sebagaimana bisa dilihat pembagian di atas cukup jelas. Tujuan Montesquieu sendiri, sebagai penggagasnya, cukup simpel: bagaimana caranya membatasi kekuasaan supaya tidak disalahgunakan.

Tentunya konfigurasi di atas bukan cuma satu-satunya; ada juga versi lain. Meskipun demikian format di atas sangat familiar dengan kita di Indonesia selepas Reformasi.

Di Amerika Serikat Presiden dan Senat dipilih langsung oleh rakyat. Sementara itu di Inggris dan Jerman sistemnya parlementer — di mana Perdana Menteri dan Kanselir ditunjuk oleh wakil rakyat. Kalau ditanya efektivitasnya, sepertinya tiga-tiganya negara maju. Namun masalahnya bukan itu.

Adalah ironis bahwa, dengan upaya pembatasan kekuasaan begitu rupa, ternyata pertanyaan La Boétie menemukan gaungnya di Indonesia sini. Walau memang gaungnya tidak — atau belum? — beresonansi sepenuhnya.

Di saat hak rakyat mengatur dan menentukan nasib sendiri seolah sudah terjamin, ternyata hak itu digerus lewat permainan politik. Lebih lagi sosok pemimpin yang bisa mencegahnya ternyata bersikap mendua, tidak jelas — biarpun sebenarnya dia pemimpin yang kita pilih sendiri.

Kita telah memilih pemimpin yang kita percaya, dan ternyata pemimpin itu… (selanjutnya boleh diisi sendiri)

 
Quo vadis?
 

Tentunya, yang terjadi di Indonesia saat ini bukan mutlak berarti semua akan jadi kacau, seperti visi tulisan La Boétie. Saat ini kemungkinan-kemungkinan baik masih ada. Akan tetapi penting bagi kita menggarisbawahi: bahwa trennya mengkhawatirkan, biarpun (mudah-mudahan) masih reversibel.

Pemerintah akan tetap berjalan baik selama prinsip-prinsip Masyarakat Terbuka dipertahankan. Namun menjadi tanda tanya ketika partisipasi masyarakat — yang merupakan salah satu esensinya — justru mengalami pengurangan.

Meskipun demikian, bahasan untuk itu bisa kita kesampingkan untuk saat ini. Tulisannya sudah terlalu panjang, dan saya pikir, ada baiknya kita cukupkan. :P

Namun saya tertarik mengutip Terence MacSwiney, tokoh perjuangan Irlandia semasa dijajah Inggris, yang juga pernah menjadi walikota. MacSwiney menulis:

Let him consider this clear truth: peoples endure; empires perish. Where are now the empires of antiquity? And the empires of to-day have the seed of dissolution in them. . . . The peoples endured; the empires perished; and the nations of the earth of this day will survive in posterity when the empires that now contend for mastery are gathered into the dust, with all dead, bad things.

 
(Terence J. MacSwiney, “Principles of Freedom”, 1921)

Kerajaan berganti, pemerintahan berganti, namun masyarakat tetap sama. Hukum adat berlalu, hukum kolonial pun; begitu pula penguasa dan presiden berganti — namun masyarakat tetap sama. We have staying power. Ada sebuah esensi yang tak terkalahkan di situ.

Ke mana arahnya bangsa Indonesia sesudah ini, kita tidak tahu. Mudah-mudahan sih tidak buruk. Pun begitu, apapun yang terjadi, sebuah pemerintah hanyalah tampak luar — dia mungkin dapat menutup-nutupi esensi, namun takkan pernah terang dengan sendirinya.

. . . the moon’s an arrant thief,
And her pale fire she snatches from the sun

 
(Shakespeare, “Timon of Athens”, Act IV scene 3)

 

 

——

Pustaka:

La Boétie, Etienne de. (1576). Discourse on Voluntary Servitude (terj. Harry Kurtz). New York: Columbia University Press.

MacSwiney, T.J. (1921). Principles of Freedom. Dublin: Talbot Press.


Fun with Math: Bangun Ruang Platonik

$
0
0

Di dunia matematika, terdapat sebuah keluarga bangun ruang (tiga dimensi) yang disebut “Bangun Ruang Platonik”. Dalam bahasa Inggris disebut Platonic Solid. Bangun ruang jenis ini mempunyai keistimewaan, yaitu:

  1. Semua permukaannya sama persis
  2. Semua rusuknya sama panjang
  3. Semua sudut permukaannya sama besar

Semua itu dengan syarat bangunnya harus “gembung”, dalam artian tidak mengerut ke dalam. Atau dalam bahasa matematikanya, bersifat konveks.

    (contoh bangun yang tidak gembung: di sini)

Mengapa dinamai “Bangun Ruang Platonik”? Karena secara khusus disebut oleh filsuf Yunani, Plato, dalam buku berjudul Timaeus. Dalam buku tersebut Plato mempopulerkan lima buah bangun yang dianggap ‘sempurna’ di dunia Yunani Kuno — mengacu pada ciri keseragaman yang sudah disebut di atas.

Seperti apa bangun-bangunnya? Akan segera kita lihat. Meskipun begitu, karena berbentuk tiga dimensi, tidak bisa ditampilkan lewat gambar biasa, jadi harus lewat animasi.

Yang pertama adalah tetrahedron. Bangun ini mempunyai empat buah permukaan yang sama persis, yaitu berbentuk segitiga sama sisi. Namanya berasal dari bahasa Yunani: “tetra” = “empat” ; “hedron” = “bangun / sisi permukaan”.

[img] animasi tetrahedron

Animasi penampakan tetrahedron
Sudut permukaan: 60°

(gambar dari Wikimedia Commons)

Yang kedua disebut oktahedron. Lagi-lagi bidang permukaannya segitiga sama sisi, namun bedanya, dia mempunyai delapan bidang. (bahasa Yunani: “okta” = “delapan”)

[img] animasi oktahedron

Animasi penampakan oktahedron
Sudut permukaan: 60°

(gambar dari Wikimedia Commons)

Nah, sekarang kita masuk yang agak familiar. Sehari-hari kita menyebutnya “kubus” — mempunyai enam buah bidang persegi. Meskipun begitu, mengikut kaidah penamaan Yunani, namanya adalah hexahedron. (bahasa Yunani: “hexa” = “enam”)

[img] animasi kubus (hexahedron)

Animasi penampakan kubus (hexahedron)
Sudut permukaan: 90°

(gambar dari Wikimedia Commons)

Bangun keempat jarang terlihat di dunia nyata, meskipun begitu dia mempunyai ciri khas: seluruh bidangnya berbentuk segilima. Sekilas mengingatkan bentuk bola sepak. Jumlah bidang permukaannya 12 — oleh karena itu disebut dodekahedron. (bahasa Yunani: “dodeka” = “duabelas”)

[img] animasi dodekahedron

Animasi penampakan dodekahedron
Sudut permukaan: 108°

(gambar dari Wikimedia Commons)

Bangun kelima, sekaligus terakhir, mempunyai dua puluh bidang yang semuanya segitiga sama sisi. Sangat jauh mengalahkan yang lain. :o Namanya adalah icosahedron, lagi-lagi mengacu pada bahasa Yunani. (“icosa” = “dua puluh”)

[img] animasi icosahedron

Animasi penampakan icosahedron
Sudut permukaan: 60°

(gambar dari Wikimedia Commons)

Nah, kira-kira seperti itulah penampakan Bangun Ruang Platonik. Sebagaimana bisa dicek lewat gambar, mereka mengikuti ketentuan yang sudah digariskan. Semua rusuknya sama panjang, semua sudutnya sama besar, dan semua permukaannya berbentuk sama. Menarik bukan? :D

Pun demikian, yang di atas itu baru sebagian. Ditinjau secara matematik, terdapat banyak ciri ‘ajaib’ lain sehubungan dengan Bangun Ruang Platonik. Sebagian di antaranya akan kita uraikan di bawah ini.

 
Bangun Ruang Platonik: Berhubungan dengan Bola
 

Di awal tadi, kita sudah melihat definisi (longgar) dari Bangun Ruang Platonik. Meskipun begitu, kalau sekadar definisi, kadang intuisinya tidak dapat — jadi akan saya coba jelaskan secara visual.

Pada dasarnya, Bangun Ruang Platonik dapat dijelaskan menggunakan bola. Pertama-tama kita bayangkan sebuah bola berbentuk padat. Bola padat itu kemudian kita papas di tiap sisi, sedemikian hingga tidak lagi bulat, melainkan jadi berpermukaan datar.

Kalau hendak diilustrasikan, kira-kira seperti di bawah ini:

[img] dodekahedron-bola

Ilustrasi: Dodekahedron dalam bola.
Perhatikan bahwa semua titik sudut terletak di kulit bola.

(gambar dari Wikimedia Commons)

Menjadi jelas lewat gambar di atas, dodekahedron bisa didapat dengan memapas bagian-bagian bola yang berlebih. Makanya di awal tadi saya menyebut dodekahedron “sekilas mengingatkan bentuk bola sepak”. Ya iyalah — wong asalnya dari bola dipotong-potong. :lol:

Perhatikan bahwa semua titik sudut dodekahedron berada di kulit bola. Titik-titik sudut itu jadi penentu pemotongan. Apabila kita tandai titik-titik dengan spidol, lalu kita keruk bola padat mengikutinya — maka akan terbentuk dodekahedron.

Nah, prinsip di atas itu berlaku untuk semua Bangun Ruang Platonik. Baik yang sederhana seperti tetrahedron, hingga yang ruwet seperti icosahedron. Semua bisa dibuat dengan memotong bola. Mengenai hal ini bisa dibuktikan lewat eksperimen.

Siapapun yang punya lilin malam di rumah, bisa coba mempraktekkan. Misalnya kita hendak membuat kubus (hexahedron). Maka instruksinya:

  1. Bentuk lilin malam seperti bola
  2. Tandai 8 buah titik sudut (kubus) secara merata
  3. Potong hati-hati dengan penggaris — jangan sampai ada titik yang terbuang
  4. Voilà! ;)

In a way, di dalam setiap bola, “terkandung” Bangun Ruang Platonik di dalamnya — hanya belum terlihat. Sebenarnya ini pernyataan matematik. Namun entah kenapa terdengar filosofis… :?:

 
Lebih Lanjut: Jaring Pengubinan
 

Beberapa waktu lalu, di blog ini, kita sempat membahas tentang pengubinan (atau nama lainnya “teselasi”). Percaya tidak percaya, topik itu berhubungan dengan Bangun Ruang Platonik.

Kita tahu, sewaktu SD dulu, kubus bisa diuraikan jadi jaring-jaring kubus, yaitu enam persegi yang saling menempel. Begitu pula dengan Bangun Ruang Platonik lain — mereka bisa ‘dibuka’ jadi untaian bangun datar.

[img] platonic solid dan jaring

Jaring-jaring Bangun Ruang Platonik

(gambar dari Wikimedia Commons [1], [2])

Nah, jaring-jaring di atas bisa dianalisis lewat pengubinan. Namun ada bedanya: jika di posting lalu kita bicara pengubinan bidang datar, di sini kita bicara tentang pengubinan mengikuti bentuk bola.

Eh, tunggu sebentar. Pengubinan berbentuk bola? Apa pula itu? :-?

Soal ini lebih baik dijelaskan lewat analogi. Bayangkan diri kita seekor semut yang berjalan di atas kubus, berputar-putar tanpa akhir.

Dari sudut pandang semut, dia melihat ubin persegi. Kemudian jika berjalan, ketemu persegi lagi. Belok kiri atau kanan pun ketemu persegi lagi. Seolah-olah dia berjalan di bidang 1-uniform 1-hedral tak-hingga! :o Padahal sebenarnya tidak. Namun karena dibentuk melingkar-mengikuti-bola jadinya seperti itu.

Nah, demikianlah hubungannya bangun ruang dengan pengubinan. Kombinasi bentuk permukaan bagaikan susun-rangkai ubin. Khusus Bangun Ruang Platonik, “pengubinannya” bersifat 1-uniform 1-hedral.

Di titik ini mungkin timbul pertanyaan: bagaimana kalau 2-uniform atau 2-hedral? Seperti apa bangun ruangnya? Well, soal itu ada ceritanya lagi, dan sangat panjang. Jadi sebaiknya tak kita bahas di sini. :P

Meskipun begitu saya beri sedikit bocoran: untuk pengubinan 1-uniform 2-hedral, bangun ruangnya disebut Archimedean. Satu contohnya saya tunjukkan di bawah ini — ingat baik-baik, ini tidak ada hubungannya dengan pokok bahasan. Murni sekilas info! :twisted:

[img] Cuboctahedron + Jaring

Contoh Bangun Ruang Archimedean: Cuboctahedron + jaring pengubinan
(1-uniform 2-hedral)

(gambar dari Wikimedia Commons [1], [2])

Lebih lanjut tentang bangun Archimedean, silakan cari tahu sendiri. Mudah-mudahan sih pembaca tertarik. Kalau tidak, ya, tidak apa-apa. :P

 
Batas Penciptaan
 

Nah, sekarang kita kembali ke pokok bahasan.

Adalah menarik bahwa, biarpun aturannya sederhana, ternyata jumlah Bangun Ruang Platonik sangat terbatas. Apabila kita hendak menciptakan bangun ruang yang bersifat Platonik — dalam arti rusuknya sama, permukaannya sama, dan sudutnya juga sama — maka hanya ada lima bentuk tiga dimensi yang mungkin. Yang mana kelima-limanya sudah kita lihat bersama.

Soal ini lagi-lagi mengingatkan pada pengubinan. Sebagaimana tidak sembarang ubin dapat menciptakan pola berulang, demikian pula dengan Bangun Ruang Platonik. Tidak semua bentuk dapat menghasilkan bangun ruang yang rusuknya sama, permukaannya sama, dan sudutnya sama besar.

Mengenai detailnya, sebenarnya saya ingin membahas, tapi kok ya ribet kalau menggunakan teks. Untungnya saya ketemu video bagus yang menjelaskan, jadi bisa lepas tangan. Selanjutnya saya serahkan pada mbakyu di bawah. :lol:

Mengapa Bangun Ruang Platonik hanya ada lima? Itu karena, eh karena…

Ini video bagus. Camkan baik-baik!! (=3=)/

 
Penutup
 

Mengakhiri tulisan ini, seperti biasa, saya harus memberi disclaimer: Semua yang dijelaskan di atas bersifat menyederhanakan dan tidak rigorous. Memang sifatnya sendiri bukan treatise yang detail, melainkan sekadar perkenalan. Meskipun begitu mudah-mudahan tetap efektif menyampaikan materi.

Sekadar informasi, Bangun Ruang Platonik sendiri bukanlah satu-satunya keluarga bangun ruang; masih banyak yang lain. Beberapa contoh misalnya Archimedean, Catalan, dan Kepler-Poinsot. Semua terdiri atas bangun-bangun tiga dimensi yang mempunyai aturan tersendiri.

Kadang bentuk bangunnya gembung, mengikuti bola seperti yang sudah kita bahas. Meskipun begitu ada juga yang mengerut dan berbentuk bintang. Ada juga yang mirip prisma. Pada dasarnya, keluarga bangun yang berbeda mempunyai aturan yang berbeda, dan itu tercermin lewat keragaman yang dihasilkan.

Berangkat dari ketentuan masing-masing, bangun-bangun ‘ajaib’ bermunculan, menunjukkan kekayaan dunia matematika. Benar-benar menarik! :) Soal itu mungkin kapan-kapan kita bahas. Barangkali. Yah, kalau sayanya sempat dan sedang mood:lol:

 

——

Referensi:

 
Coxeter, H.S.M. (1948). Regular Polytopes. London: Methuen & Co.

Cromwell, P.R. (1997). Polyhedra. Cambridge: Cambridge University Press.


Lengkung yang Menyebarkan Beban

$
0
0

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, terdapat beberapa penemuan yang, sekalinya ditemukan, langsung cukup sempurna, sedemikian hingga dalam ribuan tahun tidak banyak perubahan. Satu contoh yang bagus adalah roda. Sejak awal peradaban hingga kini prinsipnya sama: benda bulat yang menggelinding pada porosnya. Jikapun ada inovasi hanya pada detail, misalnya pembagian antara velg dan karet ban. (dulu tidak ada)

Contoh lain yang juga bagus adalah pena. Pena adalah padatan memanjang yang dalamnya berongga; rongga itu berfungsi mewadahi tinta sebelum ditulis. Sama dengan roda perkembangannya di zaman modern tidak prinsipil — jika dulu pakai bulu elang, sekarang logam, namun cara kerjanya tidak berubah.

Nah, di bidang arsitektur, ada juga teknologi yang seperti itu, yang dipopulerkan oleh peradaban Romawi Barat. Teknologi itu adalah bentuk struktur lengkung — dalam bahasa Inggrisnya disebut arch. Sebuah struktur lengkung mempunyai kemampuan luar biasa dalam mendistribusikan beban. Bahkan saking efektifnya, di masa kini prinsipnya masih dipakai membangun jembatan dan jalan tol.

Sehebat apa sebuah struktur lengkung? Di bawah ini satu contohnya. Didirikan di zaman Romawi, mengular sepanjang 813 meter, dan tinggi 28.5 meter, bangunan ini masuk daftar World Heritage List UNESCO. Namanya adalah Saluran Air Segovia — dan usianya sudah mencapai dua ribu tahun.

Yes, you heard that right. Bangunan yang sudah ada selama dua milenium! :o Peninggalan seperti ini membuat orang merasa kecil di tengah perjalanan waktu.

[img] Aqueduct of Segovia

(image credit: Wikimedia Commons)

Adapun di zaman modern, contoh penerapan struktur lengkung yang mantap terdapat di Jembatan Chaotianmen di Cina. Namun berbeda dengan Saluran Air Segovia jembatan ini mempunyai kawat baja. Sedemikian hingga di bagian tengah, struktur lengkung bersifat menarik beban — bukannya menyokong seperti era Romawi dulu.

[img] Chaotianmen Bridge

(image credit: Wikimedia Commons)

Melalui dua contoh di atas jadi terlihat kekuatan di balik struktur lengkung. Baik di zaman kuno maupun modern dia sama efektifnya. Pertanyaannya sekarang, mengapa dia begitu kuat?

 
Belajar dari Telur
 

Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menengok contoh yang diberikan alam, yaitu kulit telur. Terkait hal ini ada video eksperimen yang bagus.

Seorang wanita diminta berdiri tepat di atas satu pak telur. Namun terjadi peristiwa menakjubkan, telur yang diinjak tidak pecah! :o

Bukan sulap, bukan sihir.

Tentunya bisa begitu bukan karena ditahan oleh jin atau makhluk gaib, kalau iya, takkan kita bahas di blog ini. :P Biarpun mencengangkan namun peristiwa di atas bisa dijelaskan secara fisika. Kekokohan itu sebenarnya disumbang oleh bentuk kulit telur.

Sebuah telur mempunyai anatomi: bagian atas lebih lonjong daripada bagian bawah (lihat diagram). Apabila kulit telur disangga berdiri vertikal — seperti dalam video — maka yang menerima beban adalah bagian paling lengkung. Kelengkungan itu lalu mendistribusikan gaya vertikal dari titik puncak menuju ke samping, terus ke penyangga, hingga akhirnya ke tanah. Pada akhirnya terbentuk sistem saling-menopang yang stabil.

[img] diagram telur

Distribusi gaya berat pada kulit telur
(vektor tidak sesuai skala)

Namun perlu dicatat bahwa biarpun lengkung, bukan berarti semua sisi telur sama kuatnya. Kelengkungan di puncak telur (titik A) berbeda dengan di sisi samping (titik C dan D). Sebagaimana bisa dilihat dalam gambar titik C dan D mempunyai bidang yang lebih datar. Oleh karena itu secara struktural mereka lebih lemah.

Pernahkah pembaca terlintas, mengapa juru masak selalu memecah telur dari sisi samping? Nah sekarang kita tahu jawabannya. ;)

Mengenai kekuatan telur sendiri tak luput dari pengamatan pemikir zaman dulu. Mulai dari tokoh Romawi hingga Renaisans urun rembuk mengomentarinya.

“No human force can break it”

Pliny the Elder

 
“Why is it that an egg held with your hands by its top and bottom and pressed with great force cannot be crushed?”

Galileo Galilei

 
“We have proved that three eggs, fixed upright on a table . . . can support the weight of a metal mortar of over 150 pounds”

Vincenzo Scamozzi

 
(dikutip dalam Benvenuto, 1991, hlm. 312)

Oleh karena itu, wajar jika orang jadi terinspirasi memanfaatkan sifat lengkung untuk bangunan. Tujuannya tentu untuk menahan beban. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Mengadaptasi Lengkung: Segmen Balok
 

Di bawah ini adalah peraga fisika yang cukup menarik. Jika pembaca pernah main ke museum sains, kemungkinan besar sudah tahu. Alatnya terdiri atas balok-balok berbeda bentuk — fotonya bisa dilihat sebagai berikut.

[img] arch miniature

(via Open University Podcast)

Nah, yang di atas itu adalah contoh adaptasi struktur lengkung oleh manusia. Ditinjau secara struktur dia mengikuti prinsip telur yang sudah kita bahas. Bukan kebetulan bahwa bentuknya mirip jembatan kuno di Italia atau Prancis — memang gagasan di baliknya sama.

Perhatikan bahwa setiap segmen dalam foto bersifat saling mendukung. Apabila yang satu dilepas, maka keseluruhannya akan ambruk; mirip dengan animasi di bawah.

[img] struktur kolaps

(image credit: Arizona State University)

Keambrukan itu terjadi karena gaya berat yang harusnya disalurkan putus di tengah jalan. Awalnya terdapat vektor gaya yang menekan. Namun karena tidak ada balok yang menyambut, akhirnya dia cuma mendorong udara, dan hilang kestabilannya.

Nah, ditinjau secara fisika, vektor gaya yang merambat dalam balok itu disebut line of thrust (“garis gaya dorong”). Sebuah bangunan akan stabil jika line of thrust tertampung di dalam struktur. Namun apabila keluar maka bisa terjadi patah atau deformasi (penyok).

Adapun untuk kasus lengkung bersegmen, analisis line of thrust -nya adalah sebagai berikut. Perhatikan bahwa tidak ada yang keluar — semua garis gaya dialirkan sempurna menuju tanah.

[img] vector lines

(image credit: Sandia National Laboratory)

Di sinilah kita menyadari bahwa kestabilan struktur bangunan, pada dasarnya, adalah manipulasi distribusi beban. Sebuah gaya berat harus dialirkan sedemikian rupa agar tidak “lari” dari struktur. Bagaimana supaya vektor bisa teralirkan sampai ke tanah, tanpa ada struktur yang patah, itu dia yang dikejar. Menarik bukan? ;)

Adapun untuk mencapainya para insinyur mempunyai sejumlah tips dan trik. Mulai dari menambah pilar, membuat buttress, hingga yang ekstrim seperti menggunakan kabel penahan (seperti Jembatan Chaotianmen di awal). Ada juga yang memilih memperkuat material. Mengenai hal ini tidak ada aturan bakunya — kembali pada situasi, kondisi, dan pertimbangan insinyur yang bertanggungjawab.

 
Lengkung di Dunia Tiga Dimensi
 

Sejauh ini kita sudah membahas struktur lengkung serupa-jembatan. Ciri utamanya adalah mampu menahan beban dengan dua kaki yang berseberangan. Adapun bentuknya khas: memanjang mengikuti garis lurus.

Hanya saja, biarpun stabil, struktur itu punya kekurangan. Dia terbatas pada garis lurus. Sementara itu kita hidup di dunia tiga dimensi; ada kalanya struktur serupa-jembatan itu tidak memadai.

Menyikapi hal itu para insinyur kemudian melakukan perluasan. Bagaimana jika kaki lengkungnya tidak cuma disebar pada garis, melainkan pada bidang? Bagaimana jika jumlah kaki tidak mesti terbatas pada dua. Katakanlah misalnya empat yang tersebar-merata.

Nah, salah satu perwujudan lengkung berkaki empat itu disebut sebagai pendentive. Sebuah pendentive berbentuk mirip kubah, namun dia punya empat kaki lengkung yang saling menyokong.

[img] pendentive model

Penampakan sebuah pendentive

(image credit: Wikimedia Commons)

Apa hebatnya pendentive? Salah satunya untuk menahan kubah raksasa. Bayangkan sebuah kubah beton dengan diameter puluhan meter; yang semacam ini beratnya bisa ratusan ton. Namun dengan memanfaatkan pendentive maka beban itu dapat tertahan.

Satu contoh penerapan pendentive yang fenomenal terdapat pada monumen Hagia Sophia di Turki. Monumen ini mempunyai kubah yang berdiameter 30 meter — kalau hendak dibayangkan, kira-kira sepertiga panjang lapangan bola. Jelas beban yang sangat berat. Meskipun begitu struktur empat kaki lengkung membantu mendistribusikan tekanan dengan baik.

[img] Interior Hagia Sophia

Struktur pendentive Hagia Sophia terlihat persis di bawah kubah

(image credit: Wikimedia Commons)

Contoh tiga-dimensi yang juga menarik adalah cross vault, yaitu penahan langit-langit yang umum terdapat di katedral. Dua struktur lengkung (arch) dibuat bersilang dan saling memperkuat. Jadi tambah hebat sebab dilihat dari bawah, mereka tampak artistik.

[img] cross vault

Cross vault dilihat dari atas, bawah, dan foto

(image credit: Wikimedia Commons [1], [2], [3])

Adapun contoh vault yang cukup epik bisa dilihat dalam foto di bawah. Enam buah lengkung dibuat bersilang di langit-langit… menghasilkan pola interaksi yang kompleks. Agak curang sih, sebab secara struktural, tidak semua lengkungnya “bertugas” menahan beban. :P Namanya adalah lierne vault.

[img] Chester Cathedral Lierne

Vault di Katedral Chester (Inggris Raya)

(image credit: Wikimedia Commons)

Dan masih banyak contoh lainnya. Bermula dari keinginan mendistribusikan beban, para arsitek memanipulasi struktur sedemikian rupa; dalam prosesnya menghasilkan bangunan yang — kalau boleh dibilang — bercitarasa seni tinggi.

* * *

Namun tentu saja, betapapun hebatnya, teknik arsitektur hanyalah sebuah komponen — a mean to reach an end. Yang lebih penting adalah bagaimana teknik itu berkontribusi dalam keseluruhan bangunan, baik secara artistik maupun fisik. Keduanya harus seimbang.

Ibaratnya, apa gunanya sih kita punya rumah mewah, kalau ternyata mudah runtuh? :mrgreen: Bagaimanapun kekokohan dan keamanan bangunan tetap nomor satu. Terkait hal itu secara khusus digariskan dalam kode etik insinyur.

Akan tetapi menarik memikirkannya. Bahwa dari upaya untuk menjaga kestabilan, bisa timbul sebuah ekspresi keindahan. Bermula dari kebutuhan praktis para insinyur memutar otak, dan dalam prosesnya, ternyata menghasilkan solusi yang artistik. There’s something intriguing about that…

 

 
——

Pustaka:

 
Adam, J-P. (1999). Roman Building: Materials and Techniques. London: Routledge

Benvenuto, E. (1991). An Introduction to the History of Structural Mechanics: Part II: Vaulted Structures and Elastic Systems. New York: Springer-Verlag

Heyman, J. (1969). The Safety of Masonry Arches. International Journal of Mechanical Sciences 11, 363-385

Irvine, H.M. (1979). The Stability of The Roman Arch. International Journal of Mechanical Sciences 21, 467-475


Heraclitus: Perubahan, Pertentangan, Harmoni

$
0
0

Heraclitus dari Ephesus adalah seorang filsuf Yunani yang hidup di era Pra-Sokrates. Ada banyak hal diceritakan tentangnya, namun yang paling terkenal adalah reputasi sebagai “filsuf misterius”.

Mengapa disebut misterius, salah satunya karena dia jarang berargumen to the point. Nyaris semua kutipannya berbentuk paradoks atau metafora. Sedemikian mbulet-nya Heraclitus, hingga sejawatnya sesama filsuf berkomentar mengeluhkan — sebagai contoh Aristoteles menyebutnya “Sang Gelap”. (Yunani: ho skoteinos)

[img] Heraclitus by Johannes Moreelse (1630)

Heraclitus digambarkan sebagai “Sang Gelap”
(lukisan karya Johannes Moreelse, 1630)

(image credit: Wikimedia Commons)

Namun Heraclitus bukanlah berumit-rumit tanpa tujuan. Sebagaimana telah disebut, dia adalah seorang filsuf, dan sebagai filsuf dia berupaya menyampaikan idenya ke masyarakat. Dalam hal ini dia mengingatkan pada rekan sesama filsuf Pra-Sokratik, Zeno murid Parmenides: bahwa lewat paradoks dan puntiran-logika, orang bisa menunjukkan sebuah kebenaran tersirat. (Walaupun arah pemikiran mereka berbeda, tapi itu cerita lain)

Nah, dalam tulisan kali ini, kita akan sedikit berkenalan dengan sosok dan cara pandang Heraclitus. Ada beberapa topik yang dia bicarakan, termasuk tentang kosmologi dan logos (ini istilah Yunani yang susah diterjemahkan). Meskipun begitu kita tidak akan membahas seluruh pemikiran beliau, melainkan hanya tiga aspek: perubahan, pertentangan, dan harmoni.

 
Siapa itu Heraclitus? Sekilas Pengantar
 

Heraclitus dari Ephesus diperkirakan hidup sekitar abad keenam sebelum Masehi, dekat Semenanjung Anatolia, yang di masa kini bagian wilayah Turki. Sebuah riwayat menyebut dia lahir pada keluarga bangsawan, meskipun begitu dia memilih hidup sebagai pertapa, menyerahkan harta warisan pada adiknya. Bisa dibilang bahwa seluruh hidupnya dibaktikan untuk persoalan filsafat.

Heraclitus diceritakan sebagai sosok penyendiri dan misantropik. Dia menganggap mayoritas orang di sekitarnya bodoh, tidak intelek; cuma tahu “mengenyangkan diri seperti kambing”. Konon pemicunya terjadi ketika warga Ephesus mengusir sahabatnya ke luar kota. Peristiwa itu membuat Heraclitus marah dan menyumpahi warga Ephesus, “lebih baik semuanya gantung diri”. (Guthrie, 1962, hlm. 409)

Mengesampingkan sifat kasarnya, bagaimanapun, dia mempunyai warisan intelektual. Beberapa sumber menyebut Heraclitus pernah menulis buku dan menyimpannya di perpustakaan Kuil Artemis. Sayangnya, karena dimakan usia, di masa kini tidak ada bagian asli buku itu yang bertahan. Namun demikian terdapat beberapa ulasan dan kutipan filsuf sesudahnya — menyelamatkan sebagian gagasan Heraclitus dalam bentuk fragmen.

(Hal ini sering terjadi pada filsuf Yunani generasi awal. Sebagai perspektif, jarak waktu antara Heraclitus dan kita adalah 2500 tahun.)

Adapun berdasarkan penelitian arkeologi sejauh ini, terdapat sejumlah 124 fragmen kutipan Heraclitus yang bisa dipertanggungjawabkan. Melalui fragmen-fragmen inilah, para ahli di zaman modern dapat merekonstruksi — dan menganalisis — gagasan filsafat beliau.

Telah disinggung bahwa terdapat tiga aspek penting dari pemikirannya, yaitu perubahan, pertentangan, dan harmoni. Mengenai mereka akan kita bahas satu per satu.

 
Heraclitus dan Perubahan
 

Aspek pertama filsafat Heraclitus cukup umum, dan sering dislogankan di zaman modern: perubahan. Sebagai filsuf Heraclitus percaya bahwa alam semesta tidak tetap, melainkan berpartisipasi dalam perubahan terus-menerus.

Setiap tetes air sungai mengalir ke laut; benda panas menjadi dingin; demikian pula empat musim silih-berganti. Tidak satupun bagian dari semesta luput dari perubahan. Dalam bahasa Yunani doktrin ini diberi nama panta rhei. (“semua mengalir”)

Cool things become warm, the warm grows cool, the moist dries, the parched becomes moist.

(Heraclitus, Fragment #22, ed. Wheelwright 1959 / DK 126)

Sekilas pandangan di atas terdengar biasa. Meskipun demikian Heraclitus melanjutkan: karena setiap hal selalu berubah, maka terjadi semacam ‘perang’ (polemos) antara dua situasi, di mana yang satu menggantikan yang lain.

Mengacu pada contoh: situasi ‘dingin’ dan ‘panas’ silih berganti, yang satu menggusur yang lain. Demikian pula ‘lembab’ dan ‘kering’ muncul bergiliran. Adanya perubahan mengimplikasikan ketegangan subtil di alam: bahwa situasi-situasi berbeda dapat muncul, namun hanya satu yang bisa terwujud.

Heraclitus memandang ketegangan itu sebagai proses inti alam semesta. Secara umum jiwa semesta dapat dianalogikan sebagai ‘perang’ (polemos), menghasilkan ekuilibrium yang berbeda setiap saat, yang lalu dipersepsi manusia sebagai “perubahan”.

Secara gamblang ia menyebut metafora itu lewat kutipan:

It should be understood that war is the common condition, that strife is justice, and that all things come to pass through the compulsion of strife.

(Heraclitus, Fragment #26, ed. Wheelwright 1959 / DK 80)

Dengan demikian alam semesta versi Heraclitus dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis. Kondisi di dalamnya terus berubah, namun dengan catatan, perubahan itu didorong oleh aksi pertentangan (polemos) di balik layar.

Namun polemos versi Heraclitus bukanlah perang yang total menghancurkan. Justru sebaliknya: dari pertentangan-pertentangan itu, timbul sebuah konstruksi kesatuan. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Heraclitus dan Harmoni
 

Adapun ide Heraclitus tentang polemos membawa kita pada pandangan yang — kalau boleh dibilang — mengingatkan pada Yin-Yang di ajaran Taoisme.

Sebagai pembaca modern, kita sering membayangkan ‘perang’ memiliki pemenang, sementara yang kalah hancur. Tidak demikian bagi Heraclitus. Dalam analogi yang digunakannya, tidak ada pihak yang benar-benar menang dan menaklukkan — setiap momen hanyalah resolusi dan kestabilan-sejenak (temporary equilibrium).

Mengenai konsep di atas, terdapat sebuah ilustrasi yang melibatkan busur dan lira (alat musik).

People do not understand how that which is at variance with itself agrees with itself. There is a harmony in the bending back, as in the case of the bow and the lyre.

(Heraclitus, Fragment #117, ed. Wheelwright 1959 / DK 51)

Sebuah busur sekilas tampak diam, akan tetapi di dalamnya, terdapat gaya aksi-reaksi yang seimbang. Apabila kita gunting tali busur maka akan terjadi hentakan dan mental.

Heraclitus memandang bahwa eksistensi sebuah busur tergantung pada ‘ketegangan’ — literal dan kiasan — yang terkandung di dalamnya. Sebuah busur yang talinya longgar tentu tak bisa melontarkan panah. Namun adanya polemos, dalam hal ini pertentangan gaya fisika, membuat benda itu sukses menjadi “busur” — memenuhi definisi dan tujuannya.

Singkatnya, dari perlawanan di balik layar, timbul sebuah kesatuan baru — benda yang dapat dipakai oleh manusia.

Inilah yang disebut sebagai “harmoni tersembunyi”, keberlawanan yang saling melengkapi. Bahwasanya di alam terdapat konflik dan ketegangan, namun ketegangan itu justru bersinergi menciptakan eksistensi.

* * *

Mengenai “harmoni tersembunyi” sendiri Heraclitus punya beberapa contoh. Terdapat skenario di mana perbedaan yang ada bukan menghilangkan, melainkan saling mengukuhkan. Sebagai contoh…

It is by disease that health is pleasant; by evil that good is pleasant; by hunger, satiety; by weariness, rest.

(Heraclitus, Fragment #99, ed. Wheelwright 1959 / DK 111)

Ada juga yang berkaitan dengan arah, yaitu naik dan turun. Sekilas tampak dua kutub perbedaan, namun menurut Heraclitus:

The way up and the way down are one and the same.

(Heraclitus, Fragment #108, ed. Wheelwright 1959 / DK 60)

Di balik perbedaan terdapat landasan kesamaan, atau meminjam istilahnya Heraclitus, sebuah “harmoni tersembunyi”. Alhasil, bukan aneh jika dia akhirnya punya kutipan yang — seperti sempat disinggung — sekilas mirip ajaran Taoisme (biarpun cuma kebetulan).

Opposition brings concord. Out of discord comes the fairest harmony.

(Heraclitus, Fragment #98, ed. Wheelwright 1959 / DK 8)

 
Ada kalanya cuma masalah sudut pandang
 

Bahwa terdapat perbedaan di dunia, hal itu sudah jelas. Namun cukup lucu jika benda yang sama ternyata dianggap berbeda. Mengenai hal ini Heraclitus punya cerita lagi.

Sebuah fragmen mengisahkan bagaimana air laut dipandang oleh ikan dan manusia.

Sea water is at once very pure and very foul: it is drinkable and healthful for fishes, but undrinkable and deadly for men.

(Heraclitus, Fragment #101, ed. Wheelwright 1959 / DK 61)

Padahal air lautnya sama, sama-sama larutan air yang mengandung garam. Akan tetapi ternyata mendapat reaksi yang bertolak belakang. Pertanyaannya adalah: mengapa?

Di sinilah kita sadar bahwa ada yang namanya “konteks”, dan dia bersifat krusial. Sebuah benda bisa jadi sangat baik, atau sangat buruk, tergantung siapa yang mendapatkannya! Dalam contoh di atas manusia tidak bisa minum air garam terus-menerus: jikapun memaksa maka akan haus dan dehidrasi. Namun berbeda dengan ikan yang habitatnya air asin. Justru itulah yang membuat dia hidup, bahkan menyehatkan.

Konteks kehadiran suatu benda amat menentukan situasinya di dunia. Saya pribadi selalu ingat omongan seorang teman: sepasang anak muda mendapat kehamilan di luar nikah sedih dan ketakutan, namun lansia yang merindukan anak tidak dapat, biarpun sudah berdoa sampai ke Mekah. In a way, yang semacam ini cukup menggelitik.

Soal konteks dan perspektif sendiri Heraclitus cukup piawai mencontohkan. Beberapa contohnya membandingkan hewan dan manusia.

Donkeys would prefer straw to gold.

(Heraclitus, Fragment #102, ed. Wheelwright 1959 / DK 9)

The handsomest ape is ugly compared with humankind; the wisest man appears as an ape when compared with a god — in wisdom, in beauty, and in all other ways.

(Heraclitus, Fragment #104, ed. Wheelwright 1959 / DK 82-83)

Namun di sinilah kita masuk pada gagasan Heraclitus yang sangat profound. Orang sering mengeluh bahwa “keburukan merajalela” dan “dunia sudah rusak”. Seolah semuanya sudah hancur. Akan tetapi benarkah demikian?

Jawabannya cenderung abu-abu. Menurut Heraclitus,

To God all things are beautiful, good, and right; men, on the other hand, deem some things right and others wrong.

(Heraclitus, Fragment #106, ed. Wheelwright 1959 / DK 102)

Ini bukan berarti Heraclitus menyuruh orang menelan mentah bahwa “semuanya baik” — kalau iya, dia takkan masalah minum air laut setiap hari (bandingkan kutipan sebelumnya). Ilustrasi di atas bermaksud menunjukkan bahwa, betapapun yakinnya, pandang-pandangan manusia itu terbatas. Sebab manusia juga terbatas. Bagaimana bisa kita menghakimi apa yang baik untuk semesta, jika pengetahuan kita tentangnya saja tidak lengkap?

Penting dicatat bahwa “Tuhan” dalam persepsi Heraclitus bersifat panteistik, yaitu mewujud di seluruh alam, dan berekspresi lewat hukum alam. Jadi agak beda dengan pengertian sehari-hari. Bagaimanapun kita harus ingat bahwa beliau berasal dari tempat dan waktu yang jauh dari kita; wajar jika konteks istilahnya juga berbeda.

Adapun intinya sederhana. Sering kali dalam hidup kita mencela suatu hal sebagai “buruk” atau “tidak layak”, namun sebenarnya kita mirip ilustrasi orang dan air laut. Yang baik untuk kita belum tentu baik untuk yang lain. Begitu pun yang kita anggap buruk. Bahkan yang menohok, kadang hal yang kita tidak suka itu sebenarnya sangat berguna.

Tidak percaya? Bayangkan saja seluruh air laut di bumi hilang. Dijamin kita semua mati. :mrgreen:

Dengan satu atau lain cara, konteks yang berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda. Selalu berhati-hati dalam menimbang opini adalah pilihan terbaik.

 
Penutup
 

Ada sebuah komentar yang ditulis Plotinus, filsuf mazhab Neoplatonik, sehubungan dengan Heraclitus dan cara bertuturnya. Redaksinya setengah mengeluh setengah menoleransi:

He seems to speak in similes, careless of making his meaning clear, perhaps because in his view we ought to seek within ourselves as he himself had successfully sought.

(dikutip dalam Guthrie, 1962, hlm. 411)

Dalam hal ini Plotinus tidak sendirian. Sebagaimana disebut di awal Heraclitus bahkan membuat sebal Aristoteles; boleh dibilang sosok legenda filsafat Yunani. Terdapat kesan bahwa Heraclitus mempermainkan (dan menabrak) aturan logika seenaknya.

Meskipun demikian, sebagaimana diuraikan panjang-lebar di atas, Heraclitus membuat paradoks bukanlah untuk iseng. Justru sebaliknya: di balik keruwetan itu terdapat gagasan filsafat yang segar dan koheren.

Heraclitus sendiri sebenarnya lebih dekat ke arah mistikus daripada filsuf. Ia memandang logika lebih sebagai “batu loncatan” memahami kebenaran, atau setidaknya, sekadar “penunjuk jalan”. Ke mana arah yang ditunjuknya? Mengenai hal itu harus dicari sendiri.

Jika ada pembaca yang familiar dengan Filsafat Timur, atau Sufisme, atau esoterisme sebangsanya, barangkali sudah membuat perhubungan dalam benak. Mengenai hal itu saya tak mau berkomentar. Cukuplah dikatakan bahwa betapapun paralel, kita harus ingat bahwa manusia punya kecenderungan terjebak mencocok-cocokkan diri. :P

Mengenai Heraclitus sendiri, saya memandang beliau sosok yang khas. Dilahirkan di Yunani Kuno, dia sangat mistikus — lihat kutipan di bawah — namun membungkus pandangannya secara filsafat. Barangkali memang sewajarnya. Lokasinya berbeda, waktunya berbeda, kebudayaannya berbeda — maka ekspresinya juga berbeda.

Although this Logos is eternally valid, yet men are unable to understand it — not only before hearing it, but even after they have heard it for the first time. That is to say, although all things come to pass in accordance with this Logos, men seem to be quite without any experience of it — at least if they are judged in the light of such words and deeds as I am here setting forth. My own method is to distinguish each thing according to its nature, and to specify how it behaves; other men, on the contrary, are as forgetful and heedless in their waking moments of what is going on around and within them as they are during sleep.

. . .

We should let ourselves be guided by what is common to all. Yet, although the Logos is common to all, most men live as if each of them had a private intelligence of his own.

 
(Heraclitus, Fragment #1-2, ed. Wheelwright 1959 / DK 1-2)

Pembahasan mengenai Heraclitus kita cukupkan sampai di sini. Pembaca yang penasaran lebih lanjut dengan beliau, dapat membaca arsip terjemahan online (124 fragmen) di Middlebury College. Ada juga buku pengantar yang bagus terbitan 1959 — yang entah bagaimana sudah public domain, jadi bisa diunduh di Internet Archive.

In any case, Heraclitus adalah pemikir yang cukup layak diperhatikan. Dengan caranya sendiri dia mewarnai filsafat Yunani Kuno. Bukan seperti Plato dengan abstraksi, atau Aristoteles yang kokoh dengan logika, melainkan lewat kekaburan yang inspiratif — seolah memanggil pembacanya untuk terjun menjelajah di dunia pemikiran.

 

 
——

Pustaka:

 
Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek Philosophy: Volume I: The Earlier Presocratics and The Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press

Wheelwright, P. (1959). Heraclitus. Princeton, NJ: Princeton University Press



Hukuman untuk Arachne

$
0
0

Dewi Athena, atau nama Latinnya Minerva, sering digambarkan sebagai sosok bijaksana dan penolong. Bagaimanapun memang “profesinya” Dewi Pengetahuan dan Kebijaksanaan. Banyak pahlawan Yunani pernah merasakan welas asihnya.

Satu contoh yang terkenal melibatkan Hercules, hasil hubungan Zeus dengan wanita bumi Alcmene. Menyadari dirinya akan dikejar Hera, Alcmene meninggalkan bayi Hercules di alam liar, meskipun demikian Athena menemukan dan mengadopsinya. Di kemudian hari Athena menjadi dewi pelindung Hercules di saat dia melaksanakan 12 Tugas Maut.

Cerita lain tentang Athena agak lebih alegoris. Konon ketika dunia masih muda, Athena dan Poseidon menawari hadiah pada penduduk kota tepi pantai. Poseidon menghujam dengan tombaknya menciptakan mata air. Athena di sisi lain menumbuhkan pohon zaitun — sebagaimana umum diketahui, simbol perdamaian, namun juga banyak manfaat dan bisa diperdagangkan. Penduduk yang terkesan kemudian memilih hadiah Athena, dan sebagai penghargaan, menetapkan nama kota “Polis Athena”.

Dapat dibilang bahwa dibandingkan dewa-dewi Yunani lain, Athena cenderung simpatik. Dia tidak ‘hobi’ mempermainkan manusia (seperti Hera), atau melampiaskan nafsu cinta (seperti Zeus). Athena adalah dewi yang senantiasa tenang dan teguh; tidak menikah atau punya kekasih; mempunyai kecerdasan dan rasa keadilan yang tinggi. Sosoknya mewakili spirit Yunani zaman kuno: mengutamakan akal di atas kesenangan semu.

[img] Painting by Joseph-Benoit Suvee (1771)

Athena (Kebijaksanaan) digambarkan mengungguli Ares (Perang) dan Aphrodite (Cinta)

(lukisan karya Joseph-Benoît Suvée, 1771)

(image credit: Wikimedia Commons)

Pun demikian, layaknya dewa-dewi Yunani, Athena juga tak sempurna. Beberapa kali ia menunjukkan kemarahan yang kejam dan tidak pada tempatnya. Salah satunya menimpa Arachne — gadis penenun dari Colophon.

Arachne dari Colophon diceritakan berasal dari keluarga sederhana. Meskipun demikian ia memiliki bakat menenun yang hebat, sedemikian hingga para bidadari sungai (naiad) senang menonton dia bekerja.

Oft, to admire the niceness of her skill,
The nymphs would quit their fountain, shade, or hill;
Thither, from green Tymolus, they repair,
And leave the vineyards, their peculiar care;
Thither, from fam’d Pactolus’ golden stream,
Drawn by her art, the curious Naiads came.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Adapun di dunia mitologi klasik seluruh ilmu dan kesenian mempunyai dewa-dewi penanggungjawab tersendiri. Sebagai contoh musik dan puisi dikuasai oleh Apollo; ilmu kesehatan oleh Asclepius. Khusus ilmu tenun yang membawahinya adalah Athena — dalam puisi namanya disebut “Pallas” (mengacu pada gelar “Pallas Athena”).

Oleh karena itu, wajar jika orang menganggap keindahan karya tenun tak lepas dari Athena. Bahkan hasil kerja Arachne pun diatributkan kepadanya.

Whether the shapeless wool in balls she wound,
Or with quick motion turn’d the spindle round,
Or with her pencil drew the neat design,
Pallas her mistress shone in every line.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Meskipun demikian Arachne punya pandangan sendiri. Dia tidak percaya bakat seninya merupakan pemberian dewi.

This, the proud maid with scornful air denies,
And e’en the goddess at her work defies;
Disowns her heav’nly mistress ev’ry hour,
Nor asks her aid, nor deprecates her pow’r:—
Let us (she cries) but to a trial come,
And, if she conquers, let her fix my doom.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Tindakan Arachne sangatlah luar biasa. Dengan tinggi hati dia menantang penghuni Olympus. Namun Athena adalah Dewi Kebijaksanaan, maka dia menanggapi dengan tenang. Sambil menyamar sebagai wanita tua ia menasihati Arachne agar menarik klaimnya.

Tidak menyadari penyamaran sang dewi, Arachne justru kalap. Penuh geram dia meradang dan menantang:

Know, I despise your counsel, and am still
A woman, ever wedded to my will;
And, if your skilful goddess better knows,
Let her accept the trial I propose.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Merasa kehormatannya dilanggar Athena menampakkan wujud asli. Segera sosoknya berganti: bukan lagi tua-renta, melainkan tinggi menjulang dan bercahaya. Arachne sempat gentar melihatnya. Meskipun demikian, ia tetap siaga.

The nymphs and virgins of the plain adore
The awful goddess, and confess her pow’r;
The maid alone stood unappall’d; yet shew’d
A transient blush, that for a moment glow’d,
Then disappear’d

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Dengan segera pertandingan dimulai. Dewi dan manusia beradu keahlian di dalam bengkel — masing-masing percaya dirinya yang terbaik.

Athena memulai dengan menggambarkan kegemilangan para dewa di Olympus.

Pallas in figures wrought the heav’nly pow’rs,
And Mars’s hill among th’ Athenian tow’rs.
On lofty thrones twice six celestials sate,
Jove in the midst, and held their warm debate;
The subject weighty, and well-known to fame,
From whom the city should receive its name.
Each god by proper features was exprest,
Jove with majestic mien excell’d the rest.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Secara khusus Athena menggambarkan diri dalam jubah tempur kemilau.

Herself she blazons with a glitt’ring spear,
And crested helm that veiled her braided hair,
With shield, and scaly breast-plate, implements of war.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Sebagai pamungkas Athena menambahkan ilustrasi hukuman dewa-dewi terhadap manusia di empat sisi. Secara tersirat ia mengancam: sebagaimana tokoh ilustrasi disiksa dan berakhir tragis, demikian pula bakal nasib Arachne.

* * *

Akan tetapi Arachne punya cerita sendiri.

Berbeda dengan Athena yang mengagungkan penghuni Olympus, Arachne menggambarkan kisah manipulasi dewa terhadap manusia. Tanpa ampun dia menggambarkan tindakan Zeus merayu dan memperkosa para gadis di bumi.

Dimulai dengan kisah penculikan Europa, Arachne melanjutkan:

Next she design’d Asteria’s fabled rape,
When Jove assum’d a soaring eagle’s shape:
And shew’d how Leda lay supinely press’d,
Whilst the soft snowy swan sate hov’ring o’er her breast.
How in a satyr’s form the god beguil’d,
When fair Antiope with twins he fill’d.
Then, like Amphitryon, but a real Jove,
In fair Alcmena’s arms he cool’d his love.
In fluid gold to Danae’s heart he came,
Aegina felt him in a lambent flame.
He took Mnemosyne in shepherd’s make,
And for Deois was a speckled snake.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Namun yang disasarnya bukan cuma Zeus. Di bagian selanjutnya Arachne bercerita tentang Poseidon yang melanggar kemuliaan Demeter (Ceres).

Then Ceres in a steed your vigour tried,
Nor could the mare the yellow goddess hide.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Disusul berturut-turut oleh Apollo yang mempermainkan Isse; Dionysius dengan Erigone; hingga Chiron yang “kecelakaan lahir” berwujud setengah-kuda setengah-manusia. Secara elegan Arachne memutar, menyambung, dan menyimpul cerita di atas kain.

Arachne barangkali bukannya sombong ketika dia menolak mengakui Athena. Bisa jadi ia sebenarnya marah. Marah pada seluruh penghuni Olympus, dan tak hendak mengiyakan mereka — betapapun hal itu muskil. Meminjam kalimat seorang penyair asal Wales: Rage, rage against the dying of the light…

Di luar dugaan karya tenun Arachne membuat Athena terkesan dan tersentuh.

This the bright goddess, passionately mov’d,
With envy saw, yet inwardly approv’d.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Namun di sinilah terjadi peristiwa langka. Terbakar oleh rasa malu dan iri, Athena marah besar dan menjadi destruktif: dia merobek tekstil yang memalukan para dewa, lalu menyerang pembuatnya.

The scene of heav’nly guilt with haste she tore,
Nor longer the affront with patience bore;
A boxen shuttle in her hand she took,
And more than once Arachne’s forehead struck.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Jika orang bertanya, penderitaan terburuk apa yang bisa menimpa seniman, mungkin inilah jawabannya. Karya buatan tangan dihancurkan di depan mata. Hukuman Athena sangat kejam bukan karena magis — melainkan karena begitu biasa, namun kuat menghantam sisi manusiawi.

Peristiwa itu meremukkan hati Arachne. Meskipun demikian kemarahannya membara: lebih baik mati daripada diperlakukan rendah oleh dewi. Berada di bengkel tenun barangkali cukup mudah menemukan tali. Arachne seketika melakukan gantung diri.

Th’ unhappy maid, impatient of the wrong,
Down from a beam her injur’d person hung

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Atau, dalam sebuah terjemahan alternatif:

Nor could Arachne take such punishment:
She’d rather hang herself than bow her head,
And with a twist of rope around her neck
She swung

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Horace Gregory)

Bagaimanapun Athena kemudian tersadar. Menyaksikan Arachne sakaratul maut, rasa kasihan timbul di hatinya.

When Pallas, pitying her wretched state,
At once prevented, and pronounc’d her fate:—
Live; but depend, vile wretch (the goddess cry’d),
Doom’d in suspense for ever to be tied;
That all your race, to utmost date of time,
May feel the vengeance, and detest the crime.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Mengingat keahlian Arachne memintal benang, namun juga untuk memberi hukuman, Athena akhirnya mengubah sosok Arachne menjadi laba-laba. Meskipun demikian, jika membaca detail transformasinya, orang mungkin bertanya: apakah itu pertolongan atau hukuman tambahan?

Touch’d with the pois’nous drug, her flowing hair
Fell to the ground, and left her temples bare;
Her usual features vanish’d from their place,
Her body lessen’d all, but most her face.
Her slender fingers, hanging on each side
With many joints, the use of legs supply’d:
A spider’s bag, the rest from which she gives
A thread, and still by constant weaving lives.

 
(Ovid, “Metamorphoses” Book VI, terj. Samuel Croxall)

Mengenai apakah situasi akhir Arachne lebih baik daripada mati gantung diri, tentu bisa diperdebatkan. Meskipun demikian soal itu tak akan kita bahas di sini. ;)

 
Penutup: Cermin Sang Penyair
 

Ada perhubungan paralel antara nasib Arachne, gadis yang dikutuk, dengan Ovid, penyair yang menulis kisahnya dalam buku Metamorphoses. Bisa ditebak dari judulnya, buku itu berkisah tentang tokoh-tokoh yang mengalami perubahan bentuk, baik sukarela maupun terpaksa. Secara kriptik Ovid berkomentar:

Tell people that the face of my own fortunes
Can be reckoned among those Metamorphoses.

 
(Ovid, “Tristia” ; dikutip dalam Liveley, 2011)

Perbandingan itu bukan tanpa alasan. Sebagai penyair, Ovid dulunya sangat tenar di seluruh Romawi. Meskipun demikian intrik politik membuat dia diusir ke luar negeri oleh Augustus Caesar.

Penyebab pastinya kurang jelas, namun beberapa ahli menduga karena puisi berjudul Ars Amatoria. Dalam puisi tersebut Ovid membahas tema romantis dengan agak vulgar, sementara itu, Augustus cenderung moralis: dia ingin menciptakan kode etik “Romawi Baru” selepas era Republik.

Ada juga berbagai penjelasan alternatif. Sebuah rumor menyebut Ovid ditendang karena terlalu akrab dengan musuh politik Augustus. Rumor lain mengklaim Ovid mendengar “rahasia dapur” istana terlalu banyak. Apapun kebenarannya, yang jelas Ovid akhirnya diasingkan sampai akhir hayat. Dia tak pernah lagi menginjakkan kaki di wilayah Romawi.

Lewat uraian di atas terlihat kemiripan jalan hidup Ovid dengan Arachne. Keduanya tokoh yang angkat bicara lewat seni, namun ternyata menyinggung penguasa dan berakhir pahit. Bakat dan pencapaian artistik ambyar di muka politik. Ovid dalam Metamorphoses seolah hendak mengingatkan: bahwa keadilan tak selalu bisa diharapkan dari yang berkuasa, dan seringkali, justru yang berkuasa itu cepat panas kupingnya.

Sebagian pembaca mungkin ingat, beberapa bulan lalu saya menulis tentang J. Robert Oppenheimer, ilmuwan Amerika yang memimpin proyek bom atom. Awalnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan, meskipun begitu, rasa tanggung jawab mendorongnya menolak senjata nuklir. Berulangkali dia mengkritik kebijakan luar negeri AS. Kelantangan Oppenheimer akhirnya berujung pahit: dia dituduh sebagai mata-mata Soviet. Rumah dan kantornya disadap oleh FBI, dia diseret ke meja hijau, dan kemudian diisolasi secara politik. Ironisnya adalah tuduhan itu akhirnya tidak terbukti.

Senada dengan dua ilustrasi sebelumnya, kemampuan teknis Oppenheimer berujung ambyar di depan politik. Ahli fisika berkampanye bahaya nuklir, diganyang. Orang menulis puisi dilarang, lalu yang alegoris: mengkritik kelakuan dewa berujung malang. Ada benang merah yang menghubungkan ketiganya.

Ketika sekelompok orang, atau pemerintah, tidak terima dirinya digugat, biasanya itu pertanda buruk. Kadang kemarahan mereka dibungkus dengan bahasa indah — Athena dengan kegemilangan Olympus, Augustus dengan visi imperium, pemerintah Amerika dengan jargon melawan komunis — namun dampak yang dihasilkannya mirip. Ada pelanggaran keadilan, penyalahgunaan kekuasaan, whatever have you.

Bukan berarti cuma terjadi di skala besar, sih. Ada juga pemimpin kecil-kecilan yang berperilaku seperti itu. Mungkin jabatannya rektor, kepala sekolah, atau eksekutif swasta. Really, same stuff with different wrapping. Yang membedakan hanya cara dan kesempatan mengekspresikannya.

“With great power comes great responsibility,” begitu katanya Paman Ben. Yah, mudah-mudahan orang dalam hidup saya semuanya sewaras itu… :lol:

 

 
——-

Pustaka:

 
Garth, S. (Ed.). (1826). Ovid’s Metamorphoses: Translated by Various Authors. London: J.F. Dove

Gregory, H. (1958). Ovid: The Metamorphoses: A Complete New Version. New York: The Viking Press

Liveley, G. (2011). Ovid’s Metamorphoses: A Reader’s Guide. London: Continuum Books

Fun with Math: Tetris dan Polyomino

$
0
0

Siapa yang tidak tahu Tetris? Sebagai pengisi waktu game ini sangat populer, bahkan bisa dibilang legendaris. Hampir semua orang tahu tujuh buah bentuk yang mesti dicegah memenuhi layar.

[img] Tetris blocks

Penampakan balok Tetris

(image credit: Wikimedia Commons)

Jika kita perhatikan, ada kesamaan mendasar pada bangun-bangun di atas. Masing-masing terdiri atas empat buah persegi yang saling menempel. Biarpun bentuknya bervariasi namun tak ada yang “melanggar aturan”.

Nah, di dunia matematika, terdapat penjelasan untuk sifat bangun mirip Tetris. Didefinisikan sebagai berikut. Apabila sejumlah persegi saling menempel membentuk bangun baru, maka bangun itu disebut polyomino.

Mengapa namanya polyomino? Karena merupakan gabungan dua buah kata, “poly” (banyak) + “domino”. Sebagaimana kartu domino dibagi oleh dua area persegi, demikian pula polyomino dibagi oleh banyak area persegi. :D Berangkat dari situ para ahli kemudian mengelompokkan bangun berdasarkan jumlah persegi di dalamnya.

Apabila mengandung tiga buah persegi, maka disebut tromino (3-omino). Apabila empat disebut tetromino (4-omino). Jika lima disebut pentomino (5-omino)… dan seterusnya.

Sebagian ilustrasinya bisa dilihat di bawah ini:

[img] contoh polyomino

Keluarga polyomino (n-omino) untuk n = {1, 2, …, 5}

(image credit: Wolfram MathWorld)

Namun perlu dicatat bahwa gambar di atas tidak mencantumkan simetri. Dalam hal ini yang ditinjau adalah strukturnya. Oleh karena itu, dalam grup tetromino, hanya terdapat lima buah bangun Tetris. (dua sisanya hasil pencerminan balok L dan Z tidak dimasukkan)

Adapun secara matematik terdapat sifat menarik dari polyomino. Salah satunya tidak jauh dari permainan Tetris, yaitu masalah penyusunan (packing). Bagaimana caranya menyusun balok sedemikian rupa sehingga tak ada yang bolong?

 
Ibarat Jigsaw
 

Untuk memulainya, mari kita bayangkan bentuk yang umum, yaitu segi empat siku-siku (i.e. persegi panjang dan persegi). Disadari atau tidak, di dunia sehari-hari kita sering harus “menyusun barang” mengikuti bentuk mereka. Mulai dari baju dalam koper; buku dalam kardus; hingga puzzle berbentuk jigsaw.

Nah, packing segiempat itu juga berlaku di dunia polyomino. Secara khusus para ahli mencaritahu konfigurasi polyomino yang pas. Ilustrasinya dalam gambar di bawah.

[img] polyomino rectangles

(image credit: Erich Friedman @ Stetson University)

Misalnya kita boleh mengambil bangun polyomino sebanyak-banyaknya, tapi cuma satu jenis. Berapa buah yang diperlukan untuk membuat segiempat siku-siku?

Di sinilah muncul gagasan mengelompokkan polyomino berdasarkan “orde”. Jika perlu dua buah bangun untuk membuatnya maka disebut orde-2. Jika perlu 4 disebut orde-4, dan seterusnya. Pada dasarnya orde polyomino ditentukan dari kemampuan packing membentuk persegi panjang atau persegi.

Dalam gambar kita melihat orde-2, 4, 10, dan 18, akan tetapi itu baru sebagian. Ada juga yang ordenya lebih tinggi. Sebagai contoh…

[img] polyomino orde-92

Ilustrasi packing yang epic: polyomino orde-92 (!!)

(image credit: Erich Friedman @ Stetson University)

Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan. Bagaimana kalau bangunnya tidak cuma satu jenis? Katakanlah misalnya satu grup pentomino (12 buah) boleh dipakai.

Nah, yang seperti itu ada analisisnya lagi, dan jumlah kemungkinannya sangat besar. Dalam kasus pentomino, untuk membuat persegi panjang berukuran 6×10, terdapat 2339 kemungkinan packing. Untuk ukuran 4×15 terdapat 368, dan untuk ukuran 5×12, terdapat 1010 kemungkinan. Glek! :shock:

[img] ilustrasi packing pentomino

Contoh solusi packing pentomino: 6×10, 5×12, 4×15, dan 3×20

(image credit: Wikimedia Commons)

Semua itu dengan catatan, tiap bangun pentomino cuma boleh muncul satu kali. Well, begitu saja sudah banyak. Bayangkan betapa ruwetnya jika boleh lebih…

 
Memperkenalkan Setiset: Polyomino Saling-Bertaut
 

Sebagaimana bisa dilihat sejauh ini, bentuk polyomino amatlah bervariasi. Aturan pembatasnya cuma satu: harus terdiri atas persegi-persegi yang saling menempel. Semakin banyak jumlah persegi maka akan semakin kompleks.

Nah, “kebebasan” polyomino itu kemudian memunculkan kaidah geometri yang disebut self-tiling set (setiset). Sebuah setiset punya keistimewaan, akan tetapi, penjelasannya nanti dulu. :P Lebih baik jika kita awali dengan ilustrasi.

[img] setiset (self-tiling set)

Penampakan sebuah setiset

(image credit: Lee Sallows)

Apa yang aneh dari gambar di atas?

Perhatikan bahwa bangun-bangun di kanan merupakan versi lebih besar daripada yang di kiri. Meskipun demikian… setiap bangun di kanan adalah KOMBINASI SELURUH BANGUN KECIL! :o Tidak ada satupun yang tertinggal atau terlewat.

Kalau boleh meminjam kalimatnya Three Musketeers: “All for one, and one for all.”

Inilah yang disebut sebagai setiset, di mana bentuk-bentuk yang berbeda saling bergabung, menciptakan diri mereka sendiri versi lebih besar. Benar-benar mantap! :)

Detail prosesnya, lengkap dengan pembagian area persegi, dapat dilihat di bawah ini. Seolah terlihat “DNA” bangun kecil di dalam versi besar.

[img] setiset detail

Detail operasi setiset: dua kali perbesaran

(image credit: Lee Sallows)

Menariknya, untuk membuat setiset, sebenarnya tidak harus dengan polyomino. Ada juga keluarga bangun lain yang cocok. Namanya adalah polyiamond. Mereka tak berhubungan dengan pembahasan kita, meskipun begitu, ada baiknya diperkenalkan barang sedikit.

Berbeda dengan polyomino yang merupakan rangkaian persegi, polyiamond terdiri atas segitiga samasisi. Melalui kombinasi segitiga samasisi itulah dia menciptakan bangun-bangun unik yang — kalau boleh dibilang — dapat menandingi polyomino.

[img] daftar polyiamond

[img] setiset with polyiamond

Contoh penampakan polyiamond + setiset yang dihasilkan

(image credit: Wikimedia Commons ; Sallows, 2014)

Berangkat dari bangun kecil-kecil, keduanya mengembangkan bentuk yang kompleks, kemudian hasilnya saling menopang dan berkaitan. Luar biasa bukan? :D

 
Penutup
 

Barangkali orang jarang mendengar namanya, meskipun demikian polyomino sebenarnya diam-diam populer. Believe it or not. :D Banyak penerapannya muncul dunia keseharian.

Sebagaimana sudah disebut, prinsipnya menginspirasi game Tetris, meskipun begitu ada juga contoh lainnya.

Jika pembaca suka main game di ponsel, kemungkinan tahu game berjudul Candy Crush. Dalam game ini pemain harus membuat permen-permen saling terhubung. Apabila terbentuk sambungan lurus, permennya akan hilang, lalu kita mendapat nilai.

[img] Candy Crush screenshots

(image credit: CandyCrushAid.com)

Tentu saja, berbagai sambungan lurus itu merupakan polyomino. :D Kadang bentuknya datar, atau huruf L, atau sebagainya. Meskipun begitu intinya seperti yang kita bahas.

Ada juga contoh yang terkait pixel. Iya, pixel yang itu — yang selalu ada di layar monitor. Zaman sekarang teknologi sudah begitu maju, jadi kehadiran pixel agak kurang terasa. Namun berbeda dengan zaman dulu.

Sahibul hikayat, dulu ada sebuah game berjudul Super Mario Bros di Nintendo 8-bit…

[img] 8-bit mario

Pahlawan legendaris masa kecil. Yes, I’m old

(image credit: foro3d.com)

Hubungannya dengan pokok bahasan kita tentu bisa ditebak. Gambar Mario di atas adalah kombinasi berbagai polyomino berwarna. Polyomino merah bertemu polyomino coklat muda, ditambah polyomino coklat tua… dan tahu-tahu jadi gambar. Hebat juga kalau dipikir-pikir. :lol:

Orang sering bilang bahwa matematika itu abstrak dan tidak membumi. Sebenarnya tidak mesti begitu, sih. Matematika itu banyak contohnya dalam hidup, namun seperti calon pacar, kadang kita tak sadar waktu orangnya muncul… :lol:

 

 
——

Pustaka:

 
Golomb, S.W. (1994). Polyominoes: Puzzles, Patterns, Problems, and Packings. Princeton, NJ: Princeton University Press

Sallows, L. (2012). On Self-Tiling Sets. Mathematical Magazine, 85, 323-333. doi:10.4169/math.mag.85.5.323

Sallows, L. (2014). More on Self-Tiling Sets. Mathematical Magazine, 87, 100-112. doi:10.4169/math.mag.87.2.100

Physical Oddities: Ferrofluida

$
0
0

Di bawah ini adalah sebuah video karya seni instalasi. Pembuatnya adalah ibu Sachiko Kodama, yang kebetulan juga associate professor di UEC Tokyo.

“Morpho Tower / Two Standing Spirals” by Sachiko Kodama, 2007

Sebuah tunggul metalik dikelilingi oleh cairan berwarna hitam. Meskipun demikian cairan hitam itu kemudian mengumpul, menggeliat, membentuk duri — hingga akhirnya berputar-putar bagai roda gigi.

Sekilas atraksinya keren, meskipun begitu seram juga melihatnya. Seolah-olah cairan hitamnya hidup! Mengingatkan pada Venom di film Spider-Man 3

Sayangnya, video di atas bukanlah bukti keberadaan alien. Cairan hitam yang sudah kita lihat itu berasal dari bumi, dan dibuat oleh ilmuwan di laboratorium. :D Namanya adalah ferrofluid.

Apa itu ferrofluid, akan segera kita bahas. Meskipun begitu petunjuk terbesar terletak pada namanya. Istilah ferrofluid berasal dari gabungan kata “ferromagnetic” + “fluid”, kurang lebih berarti “fluida yang dapat dipengaruhi magnet”.

[img] ferrofluid + magnet

Eksperimen: ferrofluid diletakkan di atas magnet. Bentuknya mirip seperti landak… :3

(image credit: Wikimedia Commons)

 
Sekilas Pengantar: Apa itu Ferrofluid?
 

Sewaktu di bangku sekolah dulu, kita belajar tentang magnet dan medan magnet. Apabila sebatang magnet diletakkan dekat serbuk besi, maka serbuk besinya akan mengumpul dan membentuk pola.

[img] magnet dan serbuk besi

(via Ask A Mathematician/Physicist)

Ditinjau secara fisika, serbuk-serbuk besi dapat bergerak mengikuti medan karena materialnya bersifat ferromagnetik, yaitu dapat ditarik oleh magnet. Dengan demikian, ketika terdapat medan magnet, maka mereka akan bergerak mengikuti alurnya. (istilah bahasa Indonesia: “garis-garis gaya magnet”)

Namun perlu dicatat bahwa besi bukanlah satu-satunya material ferromagnetik. Ada juga beberapa logam lain yang bersifat ferromagnetik: sebagai contoh nikel dan kobalt, atau senyawa kromium dioksida.

Nah, sekarang kita masuk bahasan tentang larutan.

Di dunia sehari-hari kita akrab dengan susu bubuk. Apabila dicampur air panas dan diaduk dia akan larut, menjadi “susu cair” yang bisa diminum. Biarpun tampak berbeda tetapi susu bubuk dan cair mempunyai esensi yang sama: nutrisinya sama, kandungan kalorinya sama, rasanya juga mirip. Yang berbeda hanya bentuknya, yang satu padat sementara yang lain cair. (atau lebih tepatnya koloid)

Berangkat dari ilustrasi di atas, para ahli kemudian mendapat ide: bagaimana kalau kita larutkan serbuk besi dalam cairan? Barangkali bisa jadi seperti susu bubuk, sifatnya sama tapi berbentuk cair! :D

Sebagaimana bisa ditebak, demikianlah (kurang lebih) logika pembuatan ferrofluid. Pada esensinya dia adalah larutan serbuk besi — atau secara umumnya, larutan bubuk apapun yang bersifat ferromagnetik. Adanya gumpalan bubuk dalam larutan membuat larutan bisa digerakkan/dimanipulasi bentuknya oleh medan magnet. Baik itu medannya statis (magnet batang) ataupun dinamis (diatur secara elektromagnet).

 
Rekayasa Fluida Magnetik
 

Uniknya, biarpun konsepnya sama, membuat ferrofluid tidaklah semudah melarutkan susu bubuk. Ada beberapa detail yang harus diperhatikan. Dua yang fundamental bisa diringkas sebagai berikut.

Yang pertama masalah materi. Kita tahu bahwa dibanding susu bubuk serbuk besi relatif berat. Oleh karena itu pelarutnya tidak cukup dengan air, melainkan harus bermassa jenis tinggi. (misalnya dengan minyak sayur/minyak sintesis laboratorium)

Yang kedua terkait penggumpalan. Bagaimana caranya membuat serbuk besi tetap merata dalam larutan, dan tidak menggumpal seperti ampas kopi/endapan susu?

Untuk menyiasatinya para ahli kemudian menambahkan sebuah zat yang disebut surfaktan. Sebuah surfaktan mempunyai kelebihan, yaitu dapat “mengapung” di sekitar serbuk besi, mencegah mereka saling menempel satu sama lain. Dengan cara ini ferrofluid dapat dicegah terpisah menjadi ampas dan minyak.

[img] diagram surfaktan

Ilustrasi: surfaktan (8 bulatan kecil) mengelilingi serbuk besi (bulatan besar)

(diadaptasi dari Wikimedia Commons)

Mungkin sampai di sini timbul pertanyaan, bagaimana cara membuat ferrofluid? Jawabannya… tidak tahu, soalnya bukan bidang saya. :P Lebih baik ditanya ke yang orang kimia atau teknik kimia. Sekarang saya mau membahas aspeknya yang lebih fisika, yaitu bentuk ferrofluid di bawah pengaruh medan magnet.

 
Mengapa Bentuknya Berduri?
 

Sebagaimana bisa dilihat dalam video di awal, dan foto di bawahnya, ferrofluid punya kecenderungan unik, yaitu mempunyai bentuk berduri. Pertanyaannya adalah: mengapa?

Soal itu ada penjelasan fisikanya. Di atas kita sudah melihat serbuk besi yang diletakkan di dekat magnet, meskipun begitu supaya mudah berikut ini saya tampilkan lagi gambarnya.

[img] magnet dan serbuk besi

(via Ask A Mathematician/Physicist)

Perhatikan bahwa di kedua kutub serbuk besi menunjukkan pola “menyembur”, garis-garis menyebar ke segala arah. Pola ini terjadi di bidang dua dimensi.

Nah, khusus untuk ferrofluid, dia mengikuti medan magnet di bidang tiga dimensi. Oleh karena itu bentuknya juga ikut menyembur. Namun adanya tegangan permukaan cairan membuat dia terpaku: semakin ke atas akan semakin mengerucut, namun tak bisa lepas. Akhirnya terbentuk pola yang mirip landak.

[img] ferrofluid + garis-garis gaya magnet

Aha!

(diadaptasi dari Wikimedia Commons: [1], [2])

Adapun dalam video seni instalasi, pola berduri dapat bergerak, karena medannya dimanipulasi secara elektromagnetik. Meskipun demikian intinya sama. Apabila medan magnetnya statis maka hasilnya juga akan statis. (i.e. seperti foto ilustrasi)

 
Getting Funky with Ferrofluid
 

Meninjau bentuknya yang dapat dimanipulasi, wajar jika orang — baik ahli fisika maupun pehobi — senang bermain-main dengannya. Bahkan ada geek shop yang menjual paket eksperimen ferrofluid (!). Beberapa videonya di bawah ini.

Ada yang memanipulasi ferrofluid berbentuk pita…

Diletakkan dalam botol…

Atau pada dasarnya, sekadar berbuat iseng. Pencet-pencet, putar-putar, dan sebagainya. Kelihatannya lucu juga. :lol:

Adapun di bidang praktis sudah ada beberapa penerapan ferrofluid. Mulai dari motor listrik, hard disk, hingga sebagai bearing mengatur aliran dalam pipa. Walaupun (sekilas) terdengar membosankan dibandingkan video-video di atas, namun secara teknik merupakan kemajuan yang mumpuni. ^^b

Meskipun demikian, setidaknya bagi saya, yang lebih menarik daripada penerapan adalah cara berpikir mengikuti hukum alam. Dimulai dari hal yang sederhana. Kita punya serbuk besi, mau diapakan enaknya? Dan tahu-tahu, boom — larutan yang bisa bergerak tanpa disentuh! :D Yang semacam ini agak susah untuk dijelaskan. Kadang dari penemuan sederhana timbul sebentuk rasa kagum.

Sebagaimana ditulis dalam posting Efek Meissner beberapa waktu lalu, alam semesta itu bisa aneh, lucu, dan mengejutkan juga. Tinggal bagaimana kitanya mencari tahu. ;)

 

 

——

Pustaka:

 
Boudouvis A.G., Puchalla J.L., & Scriven, L.E. (1988). Shape Instabilities of Captive Ferrofluid Drops in Magnetic Field: Routes to Labyrinthine Pattern Formation. Journal of Colloid and Interface Science 124(2), 688-690

Richter, R., & Lange, A. (2009). Surface Instabilities of Ferrofluids. Lecture Notes in Physics 763, 157–247. doi:10.1007/978-3-540-85387-9_3

The Mathematical Nightingale

$
0
0

Florence Nightingale (1820-1910) adalah pelopor ilmu keperawatan dan emansipasi wanita di Inggris. Mengenai hal ini sudah banyak diceritakan. Melalui usaha dan kerja kerasnya ia mendirikan sekolah keperawatan yang pertama di dunia; mendorong reformasi kesehatan dan sanitasi di Inggris dan India; dan lain sebagainya.

[img] Florence Nightingale

Florence Nightingale sekitar tahun 1854

(image credit: Wikimedia Commons / British Library)

Ada sebuah legenda yang charming tentang beliau. Konon sebagai Suster Kepala, Florence rutin mengecek bangsal tiap malam, membawa lampu tenteng sebagai penerangan. Cerita ini menginspirasi julukan Lady with the Lamp, yang lalu dijadikan puisi oleh Henry Wadsworth Longfellow.

Thus thought I, as by night I read
Of the great army of the dead,
The trenches cold and damp,
The starved and frozen camp,—

The wounded from the battle-plain,
In dreary hospitals of pain,
The cheerless corridors,
The cold and stony floors.

Lo! in that house of misery
A lady with a lamp I see
Pass through the glimmering gloom,
And flit from room to room.

 
(Longfellow, “Santa Filomena”, 1857)

Begitu positifnya reputasi beliau, sampai-sampai ulang tahunnya dijadikan Hari Perawat Sedunia. Dengan berbagai cara sosoknya dianggap simbol kebaikan yang — kalau boleh dibilang — bersifat larger than life.

Menariknya, biarpun dicitrakan begitu, ada juga sisi lain beliau yang praktis dan ilmiah: Florence Nightingale adalah pelopor penerapan statistik di bidang sosial. Bukan cuma numpang lewat, melainkan sampai diakui oleh para ahli di zamannya. Sedemikian hingga di tahun 1858, beliau dilantik menjadi anggota Royal Statistical Society, dan di tahun 1874, menjadi anggota kehormatan American Statistical Association.

Bisa dibilang bahwa ibu yang kita bicarakan ini bukan cuma baik, tapi juga pintar.

 
Dari Euclid ke Quetelet
 

Florence Nightingale dilahirkan di kota Florence, Italia, pada tanggal 12 Mei 1820. Orangtuanya adalah pasangan tuan tanah William dan Frances Nightingale. Selama beberapa waktu mereka tinggal di Italia, meskipun demikian, ketika Florence berumur setahun orangtuanya memutuskan pulang ke Inggris.

Tidak banyak yang tahu bahwa sepanjang hidupnya Florence sangat dekat dengan matematika. Ayahnya, William Nightingale, adalah lulusan Universitas Cambridge. Dialah yang memperkenalkan Florence dan kakaknya — bernama Parthenope — pada buku Elements karya Euclid.

Syahdan di usia remaja, Florence meminta orangtuanya agar tak usah belajar menari dan menyulam, namun diganti matematika. Permintaan itu sempat ditolak. Meskipun demikian, mungkin karena dia memaksa, orangtuanya akhirnya menyerah. William lalu mengizinkan guru privat datang ke rumah — termasuk di antaranya matematikawan Royal Society J.J. Sylvester. (Lipsey, 1993)

Keakraban dengan matematika itu kelak mewarnai kehidupan Florence. Menginjak usia dewasa dia membaca karya Adolphe Quetelet, matematikawan Belgia, yang merintis gagasan “fisika ilmu sosial” (physique sociale). Quetelet berpendapat bahwa seperti fisika ilmu sosial bisa dimodelkan secara matematik. Namun terdapat sisi perbedaan. Apabila fisika menggunakan kalkulus yang serba-tepat, untuk ilmu sosial “jalannya” adalah probabilitas dan statistik.

Quetelet sendiri — sejalan dengan keyakinannya — di kemudian hari bekerja untuk pemerintah Belgia, mengembangkan metode sensus dan analisis tindak kriminal.

Bisa ditebak, sebagai orang yang berjiwa sosial, Florence kemudian mengadopsi cara pandang di atas. Pendekatan Quetelet yang rasional-empiris kelak menjadi gaya dorong di balik berbagai kampanye kesehatan Florence.

Tak butuh waktu lama sebelum bakat matematika Florence — dan cara pikir statistiknya — menemukan penyaluran di masyarakat.

 
“Nightingale in the East”
 

Perang Krimea meletus di tahun 1853, melibatkan empat negara besar: Turki, Rusia, Inggris, dan Prancis. Sebagai warga Inggris Florence mencoba menggalang relawan perawat. Meskipun demikian langkahnya tidak mudah.

Masalahnya adalah soal budaya. Di zaman itu belum ada istilah “perawat” sebagai profesi. Gadis-gadis yang bekerja di rumah sakit adalah kelas pekerja, tidak terlatih, dan dipandang asusila. Oleh karena itu, ketika Florence berangkat ke medan perang, sebenarnya ia “melanggar adat” dua kali: sebagai putri tuan tanah menjadi perawat, dan sebagai wanita ke medan perang. (Bukan tanpa alasan citranya di masa kini sangat positif)

Bagaimanapun, Florence dan rombongannya (sejumlah 38 orang) akhirnya berangkat di tahun 1854.

Masa tugas Florence di Krimea penuh situasi menyedihkan. Sebagai Suster Kepala dia menyaksikan lebih banyak tentara meninggal karena penyakit daripada oleh musuh. Penyebabnya adalah kebersihan yang buruk dan situasi penuh-sesak. Bertahun-tahun kemudian ia membandingkan tingkat kematian tentara oleh penyakit dengan warga sipil di Manchester, dan angkanya lebih tinggi. “Kita mengirim tentara kita,” tulisnya dalam laporan, “untuk mati di dalam barak.” (Kopf, 1916)

[img] Nightingale in Crimean Hospital, 1854-55

Florence Nightingale digambarkan menginspeksi Rumah Sakit Tentara.
Menjadi perawat dalam perang membuatnya dijuluki “The Lady with the Lamp”.

(image credit: Wikimedia Commons)

Sebagaimana telah disebut, Florence percaya statistik dapat dipakai menganalisis gejala sosial. Semasa perang ia sudah menerapkan untuk administrasi rumah sakit, tapi tidak secara resmi. Meskipun begitu kesempatan datang di tahun 1857.

Ketika Kerajaan Inggris memerintahkan penyidikan kesehatan tentara, melalui Royal Commission on the Health of the Army, Florence ambil bagian. Secara khusus ia membuat laporan setebal 800 halaman — dicetak dengan dana pribadi — untuk dijadikan pertimbangan.

Mengandalkan catatan administrasi rumah sakitnya di Krimea, ia mengemas poin-poin antara lain:

  • Bahwa lebih banyak tentara meninggal karena sakit menular daripada luka perang di Krimea,
     
  • Bahwa tingkat kematian tentara sakit di Krimea lebih tinggi daripada tentara yang sakit di London, dan
     
  • Bahwa di masa damai, tingkat kematian tentara usia 20-35 lebih tinggi daripada warga sipil di Manchester
     

(Cohen, 1984; McDonald, 2014)

Catatan ini kemudian dirangkum berbentuk buku (berjudul Notes on Matters Affecting the Health, Efficiency, and Hospital Administration of the British Army) dan mengundang reaksi positif. Begitu detailnya paparan Florence hingga William Farr, statistikawan anggota Komisi, menyebutnya “the best … that ever was written”. (Cohen, 1984)

Singkat cerita catatan Florence diadaptasi dalam laporan Komisi tahun 1858, mendorong reformasi kesehatan di bidang militer. Peristiwa ini menandai awal penerimaan statistik sebagai landasan keputusan pemerintah.

Di sinilah Florence Nightingale mulai dikenal sebagai reformis dunia kesehatan. Menimbang hasil kerja di atas, di tahun yang sama ia dilantik menjadi anggota Royal Statistical Society — wanita pertama yang diterima dalam sejarah.

 
Menjadi Pelopor Infografis
 

Menariknya, biarpun Florence sangat teliti dengan angka, dia sadar bahwa tak semua orang bisa — atau tertarik — memahaminya. Betapapun lengkapnya data akan sia-sia jika disajikan dengan buruk. Secara khusus dia berkomentar pentingnya komunikasi visual.

“. . . to affect thro’ the Eyes what we fail to convey to the public through their word-proof ears.”

(Diamond & Stone, 1981)

Bahkan dalam laporan tahun 1858, yang telah kita bahas, prinsip itu sudah ia terapkan.

Satu contoh yang terkenal misalnya di bawah ini, di mana Florence membandingkan jumlah kematian tentara akibat penyakit, serangan musuh, dan lain-lain. Nama populernya adalah “coxcombs” — meskipun begitu sumber-sumber yang lebih romantis menyebutnya “Nightingale Rose Diagram”.

[img] Nightingale colored diagram

Diagram mortalitas tentara Inggris no. 1 — klik untuk memperbesar

(via Princeton University Thematic Maps)

Ada juga yang disebut sebagai “bat-wing”. Biarpun sudah tua namun variasinya sering muncul di zaman modern. (termasuk game sepakbola, tapi itu cerita lain)

[img] Nightingale bat-wing diagram

Diagram mortalitas tentara Inggris no. 2 — klik untuk memperbesar

(via Princeton University Thematic Maps)

Dan beberapa yang lebih konvensional bisa dibaca di makalah ini (mirror di University of York).

Jadi bolehlah dibilang bahwa, sekitar dua abad lalu, nenek moyang infografis sudah muncul di laporan ilmiah. :P Walaupun itu pernyataan yang anakronistik, sih.

Namun perlu dicatat, Florence bukanlah orang pertama yang menyajikan statistik lewat gambar. Hal itu sudah dirintis matematikawan Playfair di tahun 1796 dan 1801. Meskipun demikian dapat dibilang Florence termasuk pelopor penggunaan desain visual untuk komunikasi statistik. (Small, 1998; Kopf, 1916)

 
Proyek Lain Florence Nightingale
 

Keberhasilan di tahun 1858 menjadi titik tolak aktivitas Florence selanjutnya. Sekitar masa ini ia terkena penyakit brucellosis, membuatnya sulit keluar rumah. Meskipun demikian ia tetap rajin mendorong perbaikan sistem kesehatan.

Bersama dengan William Farr, yang dikenalnya sejak publikasi tahun 1858, Florence merancang beberapa proposal dunia kesehatan, yaitu:

  • Penerapan sistem kuesioner untuk pendataan pasien,
     
  • Tabulasi keluar-masuk dan durasi perawatan pasien,
     
  • Tabulasi angka kesembuhan dan kematian pasien,
     
  • Penyeragaman sistem pendataan untuk seluruh rumah sakit di London
     

(Cohen, 1984; Kopf, 1916)

Sebagaimana bisa dilihat gagasan Florence sangat masuk akal. Secara implisit menunjukkan kesadaran, bahwa data skala besar tak berarti jika metodologinya tidak konsisten. Sayangnya karena satu dan lain hal, formulasi itu tidak diterima luas di masa hidup beliau.

Ada juga yang sifatnya rekomendasi metodologi sensus. Florence menyarankan agar warga yang sedang sakit didata penyakitnya, lalu dikorelasikan dengan tempat tinggal. Lagi-lagi ide ini tak bersambut di Inggris. Namun menariknya, beberapa tahun kemudian diterapkan di Amerika Serikat dan Tasmania. (“Miss Nightingale, in her conception of census methods and results, was far ahead of her day and generation,” komentar E.W. Kopf)

Namun bukan berarti semua gagasan beliau rontok di birokrasi. Dua yang sukses terjadi di koloni Inggris, yaitu Australia dan India. Peristiwanya berlangsung di periode 1860-1869.

Menggunakan rangka-kerja yang mirip dengan pekerjaan di masa Perang Krimea, Florence melakukan tabulasi data kesehatan — baik untuk tentara dan warga lokal — secara detail. Menariknya, hasilnya juga tak jauh beda: lebih banyak kematian dan penyakit disebabkan sanitasi dan tempat tinggal yang buruk. Laporan itu akhirnya ditindaklanjuti dengan perbaikan infrastruktur di negara-negara koloni.

Secara khusus Florence menulis tentang hasil kerjanya:

“I find that every year . . . there are in the Home Army, 729 men alive every year who would have been dead but for Sidney Herbert‘s measures, and 5,184 men always on active duty who would have been ‘constantly sick in bed.’

. . . In India the difference is still more striking. Taken on the last two years, the death rate of Bombay is lower than that of London, the healthiest city in Europe. And the death rate of Calcutta is lower than that of Liverpool and Manchester.”

(Kopf, 1916)
(cetak tebal ditambahkan)

Tentu saja, sebagaimana disebut di awal, kontribusi Florence yang paling populer adalah membentuk profesi perawat. Melalui kerja kerasnya ia menciptakan pekerjaan yang mendorong emansipasi wanita. Meskipun begitu uraian sejauh ini harusnya cukup menunjukkan: bahwa di samping yang terkenal, ada juga sisi lain sumbangsih beliau, yaitu berhubungan dengan angka dan tabulasi.

 
Penutup
 

Pada tahun 1874, Adolphe Quetelet meninggal dunia di kota Brussels, Belgia, di usia 78 tahun. Berita ini sampai ke telinga Florence, yang menyebutnya dalam surat kepada William Farr.

“I cannot say how the death of our old friend touches me: the founder of the most important science in the whole world: for upon it depends the practical application of every other & of every other Art: the one Science essential to all Political & Social Administration . . . he did not live to see it perceptibly influence in any practical manner statesmanship—of which there is none without it or Government, tho’ it must be otherwise all guesswork or as the Germans would say “intuition”.”

(Diamond & Stone, 1981)

Sebagaimana telah dilihat, Quetelet adalah sosok yang menginspirasi Florence. Mereka jarang bertemu langsung; hanya beberapa kali lewat konferensi ilmiah. Meskipun demikian mereka rutin berkomunikasi lewat surat.

Secara menarik Florence menandai pentingnya statistik dalam ilmu sosial: “Sangat penting untuk politik dan administrasi… jika tidak, maka semua hanya bersifat tebak-tebakan.”

Di masa kini pandangan di atas sangat biasa, meskipun demikian di abad ke-19, bidang studi statistik masih sangat muda. Bahkan Universitas Oxford — salah satu yang terbaik di Inggris — saat itu belum punya jurusan statistik. Baru di tahun 1935 mereka mulai mengembangkan.

Mengenai yang disebut terakhir tak lepas dari perhatian Florence. Sejatinya ia hendak mendirikan bidang studi “fisika ilmu sosial” di Oxford, sambil menyandang dana sebesar 2000 poundsterling. Meskipun demikian akhirnya tidak terwujud. Florence bukan saja paham akan pentingnya statistik — dia juga paham pentingnya pendidikan statistik.

“Why? Because the Cabinet ministers . . . have received no education whatever on the point upon which all legislation and all administration must—to be progressive and not vibratory—ultimately be based. We do not want a great arithmetical law; we want to know what we are doing in things which must be tested by results.”

(McDonald, 2001)
(cetak tebal ditambahkan)

Menutup tulisan ini, dapatlah dikatakan bahwa sosok Florence Nightingale tak bisa dipisahkan dari passion di bidang statistik. Malah bisa dibilang: jika bukan karena statistik, takkan ada reformasi sosial yang mengharumkan nama beliau.

Di masa kini penilaian terhadap Florence sangat positif, meskipun begitu yang menarik adalah prosesnya. Di balik citra yang “bagai malaikat” terdapat landasan rasional-empiris yang kuat. Untuk membuat perubahan, sikap baik saja tidak cukup, melainkan harus ditunjang kemampuan teknis.

Sebagaimana Florence sendiri menulis di tahun 1872:

“On my part this passionate study is not in the least based on a love of science, a love I would not pretend I possessed. It comes uniquely from the fact that I have seen so much of the misery and sufferings of humanity, of the irrelevance of laws and of Governments, of stupidity, dare I say it?—of our political system . . . the only study worthy of that name is that of which [Quetelet] so firmly put forward the principles.”

(Diamond & Stone, 1981)

 

 

——

Pustaka:

 
Cohen, I.B. (1984). Florence Nightingale. Scientific American, 250(3), 128-137

Diamond, M., & Stone, M. (1981). Nightingale on Quetelet. Journal of Royal Statistical Society Series A, 144(1), 66-79

Kopf, E.W. (1916). Florence Nightingale as Statistician. Publications of the American Statistical Association, 15(116), 388-404

Lipsey, S. (1993). Mathematical Education in the Life of Florence Nightingale. Newsletter of the Association for Women in Mathematics, 23(4), 11-12

McDonald, L. (1998). Florence Nightingale: Passionate Statistician. Journal of Holistic Nursing, 16(2), 267-2­77

McDonald, L. (2001). Florence Nightingale and the early origins of evidence-based nursing. Evidence-Based Nursing 4, 68-69. doi:10.1136/ebn.4.3.68

McDonald, L. (2014). Florence Nightingale, statistics and the Crimean War. Journal of Royal Statistical Society Series A, 177(3), 569-586

O’Connor, J.J., & Robertson, E.F. (2003). Florence Nightingale. MacTutor History of Mathematics, University of St. Andrews. Diakses pada 20 Desember 2014

Small, H. (1998, Maret 18). Florence Nightingale’s Statistical Diagrams. Dipresentasikan dalam Stats & Lamps Research Conference, RS St. Thomas, London

Stone, M. (2011). The Owl and the Nightingale: The Quetelet/Nightingale Nexus. CHANCE 24(4), 30-34

Pemuda Sederhana Naik Tahta

$
0
0

Pada tahun 161 Masehi, Imperium Romawi tengah berjaya di seantero Eropa, membujur dan melintang berpusat di Italia. Batas baratnya Semenanjung Iberia, yang di masa kini wilayah Spanyol dan Portugis. Di ujung timurnya Jazirah Arab dengan kota besar Palmyra dan Antioch, berbatasan dengan Persia. Dengan armada kapalnya mereka menyeberang laut, sedemikian hingga setelah berabad-abad, Inggris yang dingin hingga Mesir yang terik ikut jatuh ke tangan mereka.

Imperium Romawi — bisa ditebak — adalah bangsa penakluk tanpa ampun. Di laut mereka jaya, dan di darat mereka menggila. Bahkan seluruh Laut Mediterania mereka lingkupi. Dari pantai Gibraltar ke Italia, hingga Balkan dan Asia, juga sisi seberangnya di Afrika Utara: semua milik Romawi.

Mare Nostrum, begitu bangsa Romawi menyebut Laut Mediterania. Dalam bahasa Latin berarti “Laut Kami”. Zaman dulu banyak peradaban kuno menyisirinya, namun sekarang semua milik Kaisar.

[img] Roman Map around time of Antoninus

Peta wilayah Romawi sekitar tahun 161 M

(adapted from: Wikimedia Commons)

Dengan konteks seperti itu, wajar jika dalam sejarah banyak orang ingin jadi Kaisar, bahkan jika perlu saling membunuh. Meskipun begitu selalu ada pengecualian.

Ketika Marcus Aurelius naik tahta, dia melakukan terobosan radikal: menunjuk saudara angkatnya, Lucius Verus, sebagai Kaisar Pendamping. Untuk pertama kalinya Imperium Romawi dipimpin oleh “Kaisar Kembar” — di mana yang satu berdiri setara dengan yang lain.

Secara resmi Marcus mengambil nama gelar “Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus”, sementara Lucius “Imperator Caesar Lucius Aurelius Verus Augustus”.

[img] Marcus Aurelius & Lucius Verus

Dua Kaisar Romawi: Marcus Aurelius (kiri) dan Lucius Verus (kanan)

(image credit: Wikimedia Commons [1], [2])

Untuk dicatat, dalam sejarah Romawi terdapat beberapa Kaisar yang menunjuk dua pewaris untuk naik tahta bersama, tapi tidak pernah terwujud. Meskipun begitu yang dilakukan Marcus tetap spesial, sebab dia sendiri yang membagi tahta miliknya.

Peristiwa ini jelas mengejutkan. Alih-alih merengkuh tahta seperti umumnya para raja, Marcus justru enggan dan berbagi. Pertanyaannya adalah, mengapa?

 
“A Grave Young Man”
 

Untuk menjelaskannya, ada baiknya kita mundur dulu sedikit ke tahun 138. Di masa ini Marcus berusia sekitar 17 tahun.

Marcus Aurelius berasal dari keluarga kelas menengah, klan Annius, yang berasal dari sekitar Cordoba di Spanyol. Klan ini cukup makmur biarpun bukan keluarga politik. Ada seorang kerabatnya pernah jadi konsul sebanyak tiga kali, namun di luar itu tak ada yang spesial.

Sedikit catatan tentang nama. Sebenarnya Marcus terlahir bernama Marcus Annius Verus. Meskipun demikian ayahnya mati muda, membuat ia diasuh pamannya bernama Titus Aurelius Antoninus. Menghormati peristiwa ini Marcus kemudian menambahkan nama marga “Aurelius”.

Marcus muda dikenal berpribadi lurus. Dia dijuluki Verissimus (“yang paling jujur”). Sejak mudanya belajar filsafat, Marcus adalah seorang Stoik, terbiasa hidup sederhana dan spartan. Hari-harinya diisi aktivitas fisik seperti berlatih gulat, berburu, dan bertinju. Meskipun begitu belakangan dia terbuka pada sastra, mempelajari Cicero dan Plautus.

Barangkali bukan kebetulan bahwa Kaisar Hadrian — yang waktu itu sedang berkuasa — melihat potensi Marcus. Hampir berusia 90 tahun, Hadrian tidak mempunyai anak kandung, dan di saat mengangkat anak meninggal pula di waktu muda. Hadrian lalu berdiskusi dengan Titus Antoninus membahas Marcus sebagai pewaris.

Namun untuk memimpin Imperium jelas butuh orang dewasa, tidak cocok untuk pemuda. Oleh karena itu, sementara Marcus menimba pengalaman, Antoninus berhak menjadi Kaisar.

Hadrian lalu berkisah tentang cucu angkatnya. Namanya Lucius, dan dia baru berumur 11 tahun. Bersediakah Antoninus mengadopsinya juga?

Singkat cerita Antoninus setuju. Di usia 52 tahun dia diangkat anak oleh Hadrian — membuat Marcus “terlempar” dalam jalur cepat menuju tahta.

* * *

Sementara itu Marcus kecewa.

Sebagaimana telah disebut, Marcus adalah penganut Filsafat Stoik. Doktrin Stoik mengatakan bahwa godaan dunia amat besar, dan sebaik-baiknya manusia adalah yang tidak diperbudak keinginan. Hidup yang ideal adalah secukupnya dan selaras dengan alam. Oleh karena itu, ketika mendengar dirinya ditunjuk Hadrian, hati Marcus terbelah.

Masalahnya Marcus seorang Romawi. Dia sadar bahwa tugas telah datang dan — dalam tanda kutip — “memilihnya”. Sebagaimana dalam legenda tiga putra Horatius ikhlas ke medan perang, mempertaruhkan nyawa mereka, demikian pula nurani Marcus terpanggil.

Sedikit gambaran tentang isi hati Marcus tersirat dalam jurnal pribadi, ditulis bertahun-tahun selewat peristiwa di atas. Mengutip penulis biografi Anthony Birley: “this is certainly a grave young man.”

Take care that thou art not made into a Caesar, that thou art not dyed with this dye; for such things happen. Keep thyself then simple, good, pure, serious, free from affectation, a friend of justice, a worshipper of the gods, kind, affectionate, strenuous in all proper acts. . . . Short is life. There is only one fruit of this terrene life—a pious disposition and social acts.

(Marcus Aurelius, “Meditations” VI.30, terj. George Long)

 
Pendidikan Calon Kaisar
 

Pada bulan Juli 138, Hadrian meninggal karena sakit. Dia relatif sukses sebagai Kaisar, tetapi akhir hidupnya tidak tenang. Banyak musuh, banyak pembunuhan, sampai-sampai timbul gosip Hadrian meracuni istrinya sendiri. Tidak aneh bahwa dia dimakamkan sambil “dibenci semua orang”. (Birley, 2000, hlm. 53)

Wafatnya Hadrian membuat Antoninus, paman Marcus, menjadi Kaisar. Berbeda dengan pendahulunya Antoninus adalah orang yang bersahabat. Ia disenangi oleh Senat, dan sepanjang kekuasaannya tidak ada perang sama sekali. Karena citranya yang baik dan saleh dia kemudian digelari “Antoninus Pius”.

[img] Antoninus Pius bust

Antoninus Pius (86-161 M)

(image credit: Wikimedia Commons)

Penting dicatat bahwa sebagai paman, sekaligus juga ayah angkat, didikan Antoninus berdampak besar pada Marcus. Dialah yang mengajari Marcus agar “teliti melihat masalah”, “tidak menganggap diri lebih dari orang lain”, dan “mengatur pengeluaran dengan hati-hati”. (Meditations I.16)

Sementara itu Marcus dipersiapkan sebagai ahli waris. Salah satu gurunya yang paling akrab bernama Fronto — pengajar teknik orasi dan retorika.

Filsafat mengajari apa yang harus dikatakan, tetapi retorika mengajari bagaimana menyampaikannya. Demikian Fronto menekankan pada sang murid.

Pun demikian, satu hal mengecewakan Fronto, sebab Marcus akhirnya memilih filsafat dan melupakan sastra. Terkait hal ini Marcus berterima kasih pada gurunya yang lain, Junius Rusticus: filsuf yang mengajari pentingnya kesederhanaan dan karakter moral.

From Rusticus I received the impression that my character required improvement and discipline; and from him I learned not to be led astray to sophistic emulation . . . and with respect to those who have offended me by words, or done me wrong, to be easily disposed to be pacified and reconciled, as soon as they have shown a readiness to be reconciled.

(Marcus Aurelius, “Meditations” I.7, terj. George Long)

Ada juga beberapa guru Marcus di luar itu, sebagai contoh Maecianus dan Herodes. Meskipun begitu tak banyak yang diceritakan tentang mereka.

Sampai di sini kiranya cukup menggambarkan ciri pribadi Marcus Aurelius. Sebagaimana bisa dilihat dia orang yang filosofis dan berhati-hati dengan keduniaan. Meskipun demikian rasa tanggung jawab mendorongnya menerima hidup sebagai calon Kaisar.

 
“Sang Mentor” Antoninus
 

Bahwa Marcus sangat hormat pada pamannya, hal itu cukup jelas. Sejatinya hubungan mereka lebih dari hormat. Antoninus adalah orang yang paling banyak disebut dalam buku harian Marcus — semua dengan nada positif. “Ingatlah keteguhannya dalam berbuat rasional, berlaku adil, dan bertindak saleh.” (Meditations VI.20)

Di bawah supervisi Antoninus Marcus berkembang sebagai seorang negarawan. Usianya baru 24, namun sudah dua kali menjabat konsul. Dapat dibilang bahwa hubungan Marcus dan Antoninus sangat harmonis.

Oleh karena itu, tidak heran jika Antoninus akhirnya memberikan putrinya — bernama Faustina — kepada Marcus. Mereka menikah di tahun 145 dengan perayaan cukup megah.

Annia Galeria Faustina, atau lebih dikenal “Faustina Minor”, adalah sosok yang enigmatik. Selama tiga puluh tahun ia menjadi istri yang baik dan tabah, termasuk menemani sang suami ke medan perang. Dia melahirkan 14 orang anak dengan enam mencapai usia dewasa. Meskipun demikian gosip buruk rutin menimpanya: dia disebut suka bermain pria, berselingkuh dengan gladiator dan pelaut, sementara suaminya sibuk bekerja. Mengenai hal ini bukti-buktinya tidak jelas, dan kemungkinan besar cuma fitnah.

Marcus sendiri mempercayai Faustina seumur hidup. Dalam jurnalnya dia bersyukur “mempunyai istri yang penurut, penuh kasih, dan sederhana”. Mengecualikan gosip di atas, kehidupan mereka bisa dibilang tenang dan bahagia.

* * *

Sepuluh tahun menjabat Kaisar, Antoninus mulai memberi wewenang lebih kepada Marcus. Dia meresmikan Marcus sebagai penanggung jawab tentara dan provinsi. Untuk selanjutnya Marcus menjadi tangan kanan Antoninus dalam memerintah.

Pengaturan di atas berlaku sampai Antoninus meninggal di tahun 161. Menarik dicatat bahwa Marcus begitu sabar menanti, biarpun dia tahu “jatahnya” sudah ditentukan sejak lama oleh Hadrian. Sebagaimana telah disebut masa pemerintahan Antoninus sangat tenang dan damai. Menimbang sejarah Romawi yang penuh pertikaian ahli waris — dengan contoh paling brutal Nero dan Caligula — keselarasan Marcus dan Antoninus ibarat angin segar.

Dan memang Marcus seorang yang penyabar. Hal itu dibentuk oleh filsafat yang dianutnya, yang mempercayai bahwa semua hal ada waktunya untuk muncul. Sebagaimana Marcus sendiri menulis:

Everything harmonizes with me, which is harmonious to thee, O Universe. Nothing for me is too early nor too late, which is in due time for thee. Everything is fruit to me which thy seasons bring, O Nature: from thee are all things, in thee are all things, to thee all things return.

(Marcus Aurelius, “Meditations” IV.23, terj. George Long)

 
Tahun-tahun Berkuasa
 

Marcus itu orang yang saleh — dalam pengertian luas. Sebagaimana telah dilihat sejauh ini, dia konsisten menghindar godaan. Ciri utama dalam dirinya adalah kesabaran, yang diinspirasikan oleh kepahaman di bidang filsafat.

Sifat-sifat itu tercermin ketika ia dilantik menjadi Kaisar sesudah pamannya meninggal. Ketika hendak mendapat tahta, ia teringat bahwa saudara angkatnya, Lucius, sebenarnya juga berhak: mereka sama-sama diasuh Antoninus atas restu Hadrian. Oleh karena itu, menjelang pelantikannya, ia sempatkan mengunjungi Senat untuk mengatur bagian Lucius.

Sebagaimana diindikasikan di awal tulisan, permintaan itu disetujui. Marcus mencatat sejarah Romawi dengan caranya sendiri: bukan dengan kejayaan, tapi dengan kesederhanaan-filosofis. Barangkali wajar jika akhirnya dia mendapat julukan “Kaisar Filsuf”.

Masa pemerintahan Marcus dan Lucius tidak mudah. Berkebalikan dengan Antoninus, periode mereka penuh perang dan bencana. Baru sebentar naik tahta, kota Roma dilanda banjir. Beberapa waktu kemudian keributan pecah di Armenia, memaksa Lucius turun tangan. Sebagai tambahannya adalah kelaparan yang menghinggapi kota. (Banyak petani gagal panen karena banjir)

Marcus sendiri, dengan ketabahan yang tipikal, berhasil mengontrol situasi. Secara umum ia mendapat simpati rakyat. Melengkapi kepopulerannya, terutama di mata Senat, adalah berbagai reformasi hukum buatannya.

Namun beratnya situasi terus menekan. Sembilan tahun memimpin bersama, Lucius wafat di perbatasan. Usianya baru 39 tahun. Aslinya ia hendak memimpin perang, namun jatuh sakit dan meninggal mendadak.

“Orang yang moralnya mendorong saya meningkatkan diri,” demikian kenang Marcus. Entah tulus entah ironi, sebab Lucius punya reputasi playboy dan suka pesta. Terlepas dari itu wafatnya Lucius membuat Marcus harus bekerja sendiri.

Jalan sendiri bukan berarti jadi masalah. Nyatanya dia administratur yang baik dan efisien. Sebuah peristiwa menarik menunjukkan kualitas diri Marcus.

Syahdan dalam satu perang, pemerintahannya kehabisan uang, sementara pasukan barbar sudah menanti. Marcus tak sampai hati menuntut pajak tambahan dari rakyat: mereka baru dilanda wabah, dan banyak orang meninggal. Untuk mengisi kas dia lalu mengumpulkan harta istana untuk dilelang — termasuk sutra dan perhiasan milik istrinya, Faustina.

Begitu seriusnya Marcus, hingga sebagian dekorasi dari Mausoleum Hadrian juga ikut dilelang. “Jika orang ingin menjual balik [ke istana sesudah perang] maka dia izinkan. Dia tak membuat masalah untuk orang lain”. (Birley, 2000, hlm. 160)

[img] Marcus Aurelius distributing bread to the people

Marcus Aurelius digambarkan membagikan roti kepada rakyat

(lukisan karya Joseph-Marie Vein, 1765)

(image credit: Wikimedia Commons)

Ironisnya, untuk ukuran Kaisar yang arif, sisa pemerintahan Marcus tidak tenang. Wabah dan perang seolah susul-menyusul. Namun yang paling kuat menghantam adalah masalah pribadi. Dia harus menyaksikan putranya, Annius Verus, meninggal di usia 7 tahun.

Masalah kehilangan anak sendiri rutin menimpa Marcus. Dia dan Faustina pernah mempunyai anak kembar, tapi tak sampai setahun dua-duanya meninggal. Putri sulung mereka senasib: lahir di tahun 148, berpulang sebelum 151. Pasangan Marcus dan Faustina dikaruniai 14 orang anak, namun sebagaimana telah disebut, hanya enam yang sampai usia dewasa.

Marcus adalah sosok yang tabah, tapi bukan berarti dia tidak sedih. Dalam buku harian Marcus menulis tentang kehilangan anak — biarpun dengan nada tawakal.

To look for the fig in winter is a mad-man’s act: such is he who looks for his child when it is no longer allowed. . . .

When a man kisses his child, said Epictetus, he should whisper to himself, “To-morrow perchance thou wilt die.”—But those are words of bad omen.—”No word is a word of bad omen,” said Epictetus, “which expresses any work of nature; or if it is so, it is also a word of bad omen to speak of the ears of corn being reaped”

(Marcus Aurelius, “Meditations” XI.33-34, terj. George Long)

 
Prahara dari Timur
 

Pada tahun 175, Imperium Romawi terguncang keras. Gubernur kepercayaan Marcus di Suriah, Avidius Cassius, menyatakan memberontak. Cassius adalah putra lokal yang populer; merasa basisnya kuat dia mengumumkan sebagai pemimpin baru Romawi.

Bisa dibilang inilah tantangan terbesar Marcus sejak dia memerintah. Gosip bertiup bahwa Cassius mendongkel Marcus karena perintah Faustina: mereka diceritakan terlibat asmara dan hendak merebut tahta.

Sejujurnya episode ini agak membingungkan dan kabur. Dugaan konservatif ahli sejarah adalah terjadi miskomunikasi. Marcus dalam beberapa tahun terakhir mulai dilanda sakit, dan dikhawatirkan segera meninggal. Ada kemungkinan Cassius mendengar dari Faustina, salah sangka mengira Marcus wafat, dan menyatakan diri Kaisar.

Mendadak sontak Romawi terancam perang sipil. Marcus awalnya berusaha menyembunyikan, tapi toh diumumkannya juga: bahwa gubernur Cassius telah memberontak, dan bahwa dia (Marcus) telah dikhianati oleh “seorang teman baik”. (Birley, 2000, hlm. 187)

Namun pemberontakan itu berumur pendek. Hanya tiga bulan berselang, prajurit yang loyal pada Marcus berhasil membunuh Cassius. Potongan kepala korban dikirim ke Roma, tetapi Marcus tak peduli dan menyuruh agar dikubur.

Menarik dicatat bahwa sesudah Cassius tewas, Marcus mengirim ajudan ke Suriah untuk membakar surat-suratnya. Mungkinkah Marcus khawatir isinya dapat menjatuhkan keluarga dan istana? Mengenai hal ini kemungkinan akan tetap jadi misteri.

 
Penutup
 

Pada tahun 180, Marcus meninggal dunia di tenda militer. Belakangan menjelang wafat, dia sering dilanda sakit, hingga sulit menelan makanan. Meskipun begitu Marcus tetap rajin mengorganisir di garis depan. (Mereka sedang melawan suku barbar dekat Sungai Danube)

Konon di saat terakhirnya Marcus mengurangi makan dan minum, seolah hendak mempercepat maut. Barangkali dia merasa tak usah memanjang-manjangkan umur — kondisinya toh sudah buruk sejak tahun 175.

Beberapa sumber menyebut Marcus meninggal terkena wabah. Ada juga yang menyebut kanker. Komentar yang lebih sinis menyebut bahwa ia diracun putranya, Commodus, tetapi ini spekulatif. (lihat juga: Birley, 2000, hlm. 209-210)

Kepergian Marcus sekaligus menandai akhir sebuah era. Pencatat sejarah Cassius Dio menyebut bahwa sepeninggal Marcus, Imperium Romawi “berubah dari kerajaan penuh emas menjadi kerajaan besi dan karat”. Respon ini banyak benarnya: sesudah Marcus meninggal Romawi akan diguncang intrik. Banyak pejabat saling bunuh, bahkan beberapa Kaisar tersambar nyawanya.

Sejarawan Inggris, Edward Gibbon, menyebut periode 96-180 Masehi sebagai “masa-masa bahagia”. Niccolo Machiavelli mengelompokkan Marcus sebagai “Lima Kaisar Hebat” — bersama dengan Trajan, Nerva, Hadrian, dan Antoninus. Secara umum dapat dibilang bahwa reputasi Marcus sangat positif, bahkan sampai ke zaman modern.

Barangkali agak ironis bahwa pria yang sukses ini justru menghindar jadi Kaisar. Sepanjang hidupnya dia orang yang sederhana. Bahkan sesudah ditunjuk pun dia masih enggan. Namun rasa tanggung jawab yang kuat mendorongnya: bahwa dia punya tugas, dan itu harus dijalankan.

Namun justru setelah dia naik terasa pilihan yang benar. Pemerintahan Marcus termasuk yang paling berat, tetapi mampu dilayarinya. Bencana alam banjir, gempa bumi, wabah; perang susul-menyusul; bahkan Imperiumnya hampir pecah — tapi dia selamat. Masa-masa berat menuntut pemimpin yang kuat. Marcus, dengan keteguhan batinnya, terbukti sepadan.

Mengenai yang disebut terakhir ada baiknya digarisbawahi. Sebagaimana beberapa kali disebut, Marcus adalah penganut filsafat Stoik. Mempelajari doktrin filsafat membentuknya jadi arif dan sabar. Berulangkali dalam hidupnya dia tertimpa masalah. Ayah kandungnya mati muda, demikian juga saudara angkatnya. Anak-anaknya banyak yang tak sampai dewasa. Bahkan istrinya, yang dia cintai, rutin dirundung gosip. Era pemerintahannya tunggang-langgang dilanggar bencana, dan seterusnya.

Akan tetapi Marcus tidak bermuram durja. Justru sebaliknya. Dia sadar dia punya tugas yang harus dijalani sebaik-baiknya, dan kalau perlu, sehabis-habisnya. Tugas sebagai Kaisar; tugas sebagai suami dan kepala keluarga. Tidak semuanya berhasil. Namun setidaknya lebih banyak yang sukses.

Bukan berarti Marcus tak punya kekurangan — ada juga tanda tanya besar. Marcus misalnya relatif diam ketika aparat Romawi menangkapi dan membunuh penganut Kristen. Dia juga gagal mendidik putranya, Commodus, jadi pewaris yang baik. Commodus sesudah sang ayah meninggal adalah Kaisar yang hambur dan inkompeten — begitu kacaunya hingga dibandingkan dengan Nero, Kaisar ‘gila’ dalam sejarah.

Marcus Aurelius, pada akhirnya, bukan sosok sempurna. Dia punya kelebihan dan kekurangan. Dia juga manusia, tetapi yang membedakan, dia selalu berusaha dengan keras. Marcus tak percaya idealisme dan utopia — baginya yang penting adalah berproses menuju ke sana.

Set thyself in motion, if it is in thy power, and do not look about thee to see if any one will observe it; nor yet expect Plato’s Republic: but be content if the smallest thing goes on well, and consider such an event to be no small matter.

(Marcus Aurelius, “Meditations” IX.29, terj. George Long)

Alangkah baiknya jika kita juga punya pemimpin seperti itu. Walaupun sepertinya masih jauuuuuh sekali. :P

 

 

——

Pustaka:

 
Birley, A.R. (2000). Marcus Aurelius: A Biography (Rev. ed.). New York, NY: Routledge

Cassius Dio (terj. Earnest Cary). Roman History, Bk. 69-72. Lacus Curtius.

Marcus Aurelius. (1914). The Meditations of Marcus Aurelius (terj. George Long). New York: P.F. Collier & Son

Scarre, C. (1995). Chronicle of the Roman Emperors. London: Thames & Hudson

Melestarikan Kenangan

$
0
0

Dalam literatur mitologi Yunani-Romawi, terdapat sebuah epik yang berjudul Aeneid. Epik ini berkisah tentang Aeneas, bekas prajurit Troya yang memimpin rakyatnya mencari tempat tinggal baru setelah kota mereka dihancurkan. Selama bertahun-tahun mereka berlayar dan mengembara, menjalani berbagai petualangan, sebelum akhirnya mendarat di tanah Latium (sekitar Italia modern).

Ada sebuah episode yang memorable di dalamnya, ketika Aeneas sedang berjalan-jalan di sebuah kota dan merasakan deja vu. Dia melihat kemiripan dengan kampung halaman yang telah lama ditinggalkan:

Proceeding on, another Troy I see,
Or, in less compass, Troy’s epitome.
A riv’let by the name of Xanthus ran,
And I embrace the Scæan gate again.

(Virgil, “Aeneid” Book III, terj. John Dryden)

Kota itu dibangun oleh pengungsi Troya yang lain — yang Aeneas tidak tahu juga selamat.

Syahdan, ketika kota Troya digasak Yunani, seluruh warga di dalamnya dibunuh atau dijadikan budak. Termasuk di dalamnya adalah Andromache, istri Pangeran Hector yang gugur dalam perang. Biarpun berstatus ningrat namun ia tak dianggap; dijadikan budak oleh Neoptolemus.

Agak menyakitkan sebab Neoptolemus adalah putra dari Achilles, ksatria yang membunuh Hector. Selanjutnya Andromache dijadikan selir dan melahirkan seorang anak dari Neoptolemus. Pun demikian, karena suatu intrik, Neoptolemus akhirnya terbunuh, membuat Andromache terlempar ke dalam petualangan, sebelum akhirnya bertemu dan menikah dengan pengungsi Troya bernama Helenus.

Berusaha meninggalkan kenangan buruk, Andromache dan Helenus kini menetap di Epirus. Mereka mendirikan kota tempat tinggal baru yang — sedapat mungkin — mencerminkan sisa-sisa kebudayaan Troya.

Namun Andromache tidak bisa melupakan Hector. Dalam hatinya hanya ada satu pria yang ia cintai, yang dapat mengisi hatinya, bahkan setelah melewati berbagai cobaan berat. (Helenus memahami perasaan ini; lagipula Hector sudah bagaikan dewa di mata rakyat)

Dengan latar belakang seperti itu, cukup mengena bahwa Aeneas bertemu Andromache sedang berdoa untuk Hector. Secara miris ia melihat sang putri menyiapkan persembahan di altar cenotaph (makam kosong).

By chance, the mournful queen, before the gate,
Then solemniz’d her former husband’s fate.
Green altars, rais’d of turf, with gifts she crown’d,
And sacred priests in order stand around,
And thrice the name of hapless Hector sound.
The grove itself resembles Ida’s wood;
And Simoïs seem’d the well-dissembled flood.

(Virgil, “Aeneid” Book III, terj. John Dryden)

Akan tetapi pertemuan itu tidak mulus. Andromache, menyaksikan Aeneas berseragam ksatria Troya, bereaksi seolah melihat hantu:

She faints, she falls, and scarce recov’ring strength,
Thus, with a falt’ring tongue, she speaks at length:
“ ‘Are you alive, O goddess-born?’ she said,
‘Or if a ghost, then where is Hector’s shade?’
At this, she cast a loud and frightful cry.

(Virgil, “Aeneid” Book III, terj. John Dryden)

 

[img] Aeneas meets Andromache, engraving by Wenceslas Hollar

Andromache bertemu dengan Aeneas

(ilustrasi karya Wenceslas Hollar, 1607-1677)

(image credit: Wikimedia Commons)

Bukan hantu, jawab Aeneas, melainkan hidup dan bernafas — biarpun dengan nestapa.

All of me that remains appears in sight,
I live, if living be to loathe the light.

(Virgil, “Aeneid” Book III, terj. John Dryden)

Menyadari perjodohan takdir, sesama warga terbuang di negeri asing, Andromache dan Helenus menerima rombongan Aeneas sebagai tamu. Dengan segera makanan dan minuman dihidangkan: selama dua hari mereka menginap dan dijamu.

“Troya Baru” Andromache, kalau boleh dibilang, adalah wujud kenangan lama. Di dalamnya terdapat hal-hal yang telah lewat — sedapat mungkin disarikan di masa kini. Barangkali tidak sempurna, tapi setidaknya tetap bermakna.

Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan. Mengapa Aeneas dan rombongan cuma tinggal dua hari, alih-alih menetap di “Troya Baru” versi Andromache? Bukankah mereka sama-sama pengungsi yang mencari tempat tinggal baru?

Masalahnya Aeneas, biarpun juga pengungsi, mempunyai jalannya sendiri. Ia ditakdirkan oleh dewa memimpin rakyatnya menciptakan sebuah dinasti. Dinasti yang terletak jauh di masa depan. Aeneas akan melanjutkan Troya, bukan dengan mengawetkan, tetapi menjadikannya titik tolak menuju sesuatu yang baru.

Sebagaimana Virgil, penyair yang menulis Aeneid, mengumandangkan dari baris awal:

Arms, and the man I sing, who, forc’d by fate,
And haughty Juno’s unrelenting hate,
Expell’d and exil’d, left the Trojan shore.
Long labors, both by sea and land, he bore,
And in the doubtful war, before he won
The Latian realm, and built the destin’d town;
His banish’d gods restor’d to rites divine,
And settled sure succession in his line,
From whence the race of Alban fathers come,
And the long glories of majestic Rome.

(Virgil, “Aeneid” Book I, terj. John Dryden)

Troya baru Aeneas, singkatnya, bukan Troya lama yang dipanjang-panjangkan. Jika ibaratnya Troya pohon besar yang dikapak Yunani, maka Aeneas — beserta rombongannya — sedang membawa tunggul dan akar untuk ditanam di tanah yang baru. Cikal-bakal itu kelak akan tumbuh menjadi Romawi: imperium yang besar dan terkenal dalam sejarah.

Andromache, dengan kenangannya yang kuat, berusaha mempertahankan. Aeneas, dengan gambaran masa depan, berusaha mencipta situasi baru. Bahwa dua-duanya ingin menyarikan peradaban Troya, itu tak bisa disangkal — namun arah mereka berbeda.

Bukan berarti mereka berselisih, sebab masing-masing memahami pendirian yang lain. Akhirnya Andromache dan Helenus melepas Aeneas pergi berlayar. Beberapa tanda persahabatan disampaikan oleh mereka yang memilih tinggal:

Bounteous of treasure, he supplied my want
With heavy gold, and polish’d elephant;
Then Dodonæan caldrons put on board,
And ev’ry ship with sums of silver stor’d.
A trusty coat of mail to me he sent,
Thrice chain’d with gold, for use and ornament;

. . .

And large recruits he to my navy sends:
Men, horses, captains, arms, and warlike stores;
Supplies new pilots, and new sweeping oars.

(Virgil, “Aeneid” Book III, terj. John Dryden)

Masih bertahun-tahun sebelum takdir Aeneas terwujud. Dia tidak akan menyaksikan kejayaannya — hampir tiga abad terpisah antara dia dan kembar legendaris, Remus dan Romulus, pendiri kota Roma. Hanya keturunannya yang akan menikmati. Akan tetapi itu tidak masalah.

Aeneas telah pergi berlayar, meninggalkan yang lalu dan takkan balik berulang. Pangkalnya jauh, dan ujungnya belum tiba — namun di situ ada harapan menciptakan sejarah yang baru.

 

——

Referensi Mitos:

 
Euripides, “Andromache”, terj. E.P. Coleridge (1891)
(public domain)

Homer, “Iliad” Bk. XXII, terj. Samuel Cowper (1791)
(public domain)

Virgil, “Aeneid” Bk. III, terj. John Dryden (1697)
(public domain)

Fun with Math: Menggelinding tapi Tidak Bulat

$
0
0

Di dunia sehari-hari, kita sering melihat benda bulat, sebagai contoh roda dan bola sepak. Benda bulat mempunyai keunikan: apabila didorong dia tidak cuma bergeser, melainkan juga berputar. Secara umum geraknya disebut “menggelinding”.

Nah, tapi ada yang menarik.

Biarpun gerak menggelinding sering diasosiasikan dengan lingkaran, ternyata ada juga bentuk lain yang bisa melakukannya. Namanya segitiga Reuleaux — animasinya bisa dilihat di bawah.

[gif] segitiga reuleaux

(GIF diadaptasi dari: Youtube / Jill Britton)

Sebuah ban yang berbentuk segitiga! Luar biasa bukan? :D Sebagaimana bisa dilihat pergerakannya mirip dengan ban biasa, cuma bentuknya yang berbeda.

Nah, ditinjau secara matematika, segitiga Reuleaux di atas termasuk dalam keluarga “bangun berlebar konstan”, atau dalam bahasa Inggrisnya curves of constant width. Bangun jenis ini mempunyai keistimewaan: diputar bagaimanapun diameternya tidak berubah. Makanya dapat menggelinding dengan stabil. Jika kita tumpangkan papan, seperti dalam animasi, maka takkan bergoyang-goyang naik dan turun.

Contoh-contoh bangunnya bisa dilihat sebagai berikut.

[img] poligon reuleaux

(image credit: Wikimedia Commons)

Tentunya sampai di sini timbul pertanyaan. Telah disebut bahwa bangun-bangun di atas mempunyai diameter yang tetap. Akan tetapi mereka bukan lingkaran. Jika bukan lingkaran… mengapa diameternya bisa tetap?

 
Mengadaptasi Busur
 

Untuk menjelaskannya, ada baiknya jika langsung ke ilustrasi. Kita mulai dari contoh yang paling simpel, yaitu yang mirip segitiga (segitiga Reuleaux).

Pada dasarnya segitiga Reuleaux bisa dibuat dari segitiga samasisi. Meskipun begitu terdapat sebuah tambahan.

[img] segitiga reuleaux vs. segitiga samasisi

(image adapted from: Paul Kunkel / Whistler Alley Mathematics)

Mulai dari titik A, kita tancapkan sebuah jangka. Kemudian dengan jangka tersebut kita gariskan lengkung menghubungkan B dan C. Busur ini kita beri nama a.

Kemudian kita ulangi prosesnya untuk titik B dan C, sedemikian hingga hasil akhirnya seperti di bawah.

[img] membuat segitiga Reuleaux

(image adapted from: Wikimedia Commons)

Nah, kira-kira begitulah cara membuat segitiga Reuleaux. Awalnya segitiga samasisi biasa — namun dengan bantuan jangka maka bisa terbentuk. :D

Sekarang kita perhatikan segitiga Reuleaux di atas. Karena kita menggunakan jangka, maka jarak dari titik A ke busur a (radius) selalu sama. Demikian pula titik B ke busur b, dan titik C ke busur c.

Kemudian kita lihat bentuk sisinya yang melengkung. Sisi lengkung itu membuat dia bisa menggelinding.

Di sinilah kita paham mengapa segitiga Reuleaux bisa menggelinding bagai roda. Dia memang tak jauh beda dengan lingkaran — sama-sama bersisi lengkung, dan sama-sama berdiameter konstan! :o

 
Bentuk-bentuk Lainnya
 

Bisa ditebak, prinsip pembuatan segitiga Reuleaux di atas dapat diterapkan ke berbagai bangun lain. Meskipun begitu ada syaratnya: harus bersegi ganjil. Sebagai contoh misalnya segilima atau segitujuh.

[img] 5-gon dan 7-gon Reuleaux

Segilima dan segitujuh dimodifikasi menggunakan jangka

(image credit: Ivars Peterson)

Yang juga menarik adalah membuat bangun berlebar konstan berdasarkan bentuk bintang. Prinsipnya sama, yaitu menggunakan jangka menghubungkan sudut-sudut bintang. Bentuk bintangnya tak harus beraturan — bisa saja mencong ke sana-sini. Namun ada dua syaratnya, yaitu: (1) jumlah seginya ganjil, dan (2) panjang rusuk bintangnya seragam.

[img] constant width curves from stars

Dua bintang di atas agak berbeda — tetapi hasilnya sama-sama constant width curves

(image credit: A. Bogomolny & Wikimedia Commons)

Namun ada lagi yang lebih mencengangkan. Kita bisa menciptakan bangun berlebar konstan — yang diameternya selalu sama — dengan garis-garis sesuka kita. Berapa jumlah garisnya terserah, miringnya seperti apa juga terserah. Syaratnya cuma satu, yakni seluruh garisnya harus saling memotong.

Mengapa harus saling memotong? Karena kita perlu titik untuk menancapkan jangka. Kalau tidak ada, ya, tak bisa digambar. :lol:

Ilustrasi pembuatannya di bawah ini. Pertama-tama kita tancapkan jangka di titik pertemuan dua garis. Kemudian dua garis tersebut kita sambungkan berbentuk lengkung. Ketika berpindah ke titik lain, sesuaikan radius jangka, supaya lengkungnya tetap bersambung dengan sebelumnya.

[img] constant width curve from intersecting lines

Ilustrasi: tiga langkah pertama ditunjukkan; kemudian hasil akhir

(image credit: D. Taimina & D.W. Henderson, Cornell University)

Jika dilihat sekilas, gambar di atas kacau, tapi sebenarnya tidak juga. Ada aturan samar yang berlaku di baliknya. Sedemikian hingga sesudah prosesnya selesai, muncul sebuah bangun yang berdiameter konstan.

Eh, tapi benarkah begitu? Coba dipastikan dengan penggaris… :-?

 
Dilanjutkan ke Tiga Dimensi
 

Nah, menyikapi sifatnya yang mirip roda (biarpun ada bedanya juga), beberapa orang tertarik mengadaptasi bangun berlebar konstan ke dunia tiga dimensi. Salah satunya adalah matematikawan Jerman bernama Ernst Meissner.

Meissner menemukan bahwa dengan sedikit modifikasi, prinsip pembuatan segitiga Reuleaux bisa diterapkan di dunia tiga dimensi. Hasilnya adalah bangun ruang yang diameternya selalu konstan — jadi tidak jauh beda dengan bola. Namanya adalah Meissner Tetrahedron.

[img] Meissner Tetrahedron

(image credit: T. Lachand-Robert & É. Oudet)

Ada juga cara yang lebih straightforward membuatnya. Kita sudah tahu bahwa segitiga Reuleaux (dan kawan-kawannya) bersifat mirip lingkaran. Sebuah lingkaran, jika dirotasi mengikuti sumbu, akan menjadi bola. Sementara itu bola dapat menggelinding di dalam ruang.

Jadi kalau kita ingin membuat bangun ruang yang bisa menggelinding…

[img] rotasi poligon Reuleaux

(image credit: Christof Weber)

…tinggal dibuat saja rotasi mengikuti sumbu. Iya kan? Lingkaran dirotasi menjadi bola, diameternya sama dalam tiga dimensi. Segitiga Reuleaux dan teman-temannya mirip lingkaran, maka mereka juga begitu. :lol:

Sebagian pembaca mungkin tidak yakin, apa iya bangun-bangun terakhir di atas bisa menggelinding dengan mulus? Oleh karena itu berikut ini akan kita lihat videonya.

Ternyata… memang bisa! Ajaib bukan? ;)

 
Penutup
 

Seperti biasa di seri tulisan ini, saya harus menyebut bahwa penjelasan di atas sangat menyederhanakan dan tidak teknis. Boleh dibilang sama sekali tidak rigorous — meskipun begitu mudah-mudahan cukup efektif menyampaikan materi.

Intinya sendiri sederhana. Sering kali ada hal-hal di dunia matematika yang bertentangan dengan keyakinan umum, sepertinya kok mustahil, tapi setelah diteliti… ternyata bener loh. :lol: Yang semacam ini membuat orang merasa lebih fun dan tertarik mempelajarinya.

Kalau katanya Hamlet, “more things in heaven and earth than are dreamt of in our philosophy.” Yah, sedikit-sedikit kejutan bagus juga untuk membuat kita rendah hati. :lol:

 

 

——

Pustaka:

 
Gardner, M. (1963). Curves of Constant Width, One of which Makes it Possible to Drill Square Holes. Scientific American 208, 148–156.

Lachland-Robert, T. & Oudet, E. (2007). Bodies of constant width in arbitrary dimension. Mathematische Nachrichten 280(7), 740-750. doi:10.1002/mana.200510512

Weisstein, Eric W. “Reuleaux Triangle.” From MathWorld–A Wolfram Web Resource. http://mathworld.wolfram.com/ReuleauxTriangle.html


Masa Kejayaan dengan Banyak Pengaruh

$
0
0

Beberapa waktu sekali, jika sedang ngobrol dengan teman yang Muslim konservatif, muncul topik tentang “masa keemasan Islam”. Bukan berarti mereka radikal, sih — orangnya moderat saja, namun karena satu dan lain hal merasa punya identitas keagamaan yang kuat. Jadinya suka berkaca dan membandingkan dengan masa lalu.

Permasalahannya tentu, apakah klaim “masa keemasan” itu valid atau tidak? Nah ini yang perlu ditelusuri. Periode yang dimaksud adalah sekitar abad ke-9 hingga 12 Masehi, di mana kekuasaan Khilafah Abbasiyah mencapai puncaknya, dan menghasilkan kemajuan sains, teknologi, dan budaya.

Kaum Muslim yang religius, apalagi yang jarang baca sejarah, biasanya gampang terpancing klaim di atas. Seolah-olah semua kejayaan itu berasal murni dari Islam; tidak ada sumbangan kebudayaan lain. Kenyataan sebenarnya agak lebih rumit. Sebagaimana pernah diuraikan dalam posting tentang alkimia zaman dulu: warisan ilmiah Islam merupakan campur-baur Yunani, Romawi, India, dan Persia.

Oleh karena itu, sebagai orang yang kebetulan cukup sering baca tentang sejarah ilmu, ada baiknya kalau saya berbagi sedikit lewat posting ini. Di satu sisi, betul bahwa Islam Abbasiyah mempunyai kemajuan ilmiah yang mumpuni. Namun di sisi lain kemajuan itu dibangun oleh kontribusi lintas bangsa dan budaya.

 
Awal Mula: “Simpang Intelektual” di Mesopotamia
 

Pada tahun 762 Masehi, Khalifah Jafar Al-Mansur memindahkan ibukota pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Peristiwa ini penting sebab dia sedang berusaha mendirikan dinasti baru, Abbasiyah, jauh dari pengaruh lawan politik dari Dinasti Umayyah.

Masalahnya Al-Mansur naik tahta dengan berdarah-darah. Banyak fitnah, banyak pembunuhan, termasuk di antaranya yang berbau sektarian. Biarpun Damaskus kota besar namun mereka penuh loyalis Umayyah. Bisa dimengerti mengapa Al-Mansur memilih menjauh.

Al-Mansur mungkin tidak menyadari, namun lokasi ibukota yang baru sangat kondusif untuk perkembangan ilmu. Posisi Baghdad di antara sungai Tigris dan Eufrat mempertemukan pengaruh empat budaya, yaitu:

  1. Persia,
  2. Romawi Timur (Byzantium),
  3. India,
  4. Tiongkok

 
Pertemuan itu difasilitasi oleh jalur dagang yang ramai di Asia Barat, yang petanya bisa dilihat sebagai berikut.

[img] Rute dagang Islam Abbasiyah

Jalur perdagangan di era Abbasiyah

(image credit: Pearson Education)

Persilangan budaya inilah yang kemudian membawa dampak besar ke dunia Islam.

Persia dengan tradisi filsafatnya yang panjang menginspirasi pemikiran Islam yang lebih luwes dan dialektik. Di kemudian hari akan menyumbang tokoh-tokoh besar seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina, dan Al-Biruni.

Romawi Timur, atau sering disebut Byzantium, kadang dianggap sebagai musuh. Namun interaksi dengan mereka akan memerantarai masuknya tradisi ilmiah Yunani-Romawi ke tanah Arab. (Soal ini dibahas lebih detail di bawah)

India terkenal dengan kemajuan di bidang matematika dan trigonometri, namun yang terpenting ada dua: sistem basis-10 dan angka nol. Dapat dibilang bahwa ilmu matematika Abbasiyah berdiri di atas landasan mereka. Kemajuan matematika Islam ibaratnya “anak kandung” dari India.

Adapun dari Tiongkok bangsa Arab mendapatkan teknologi penciptaan kertas. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 751 M. Adanya kertas memudahkan pengopian dan penerjemahan naskah-naskah ilmiah dari berbagai penjuru, yang kemudian dikumpulkan dalam perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad.

Tentunya yang di atas itu adalah ringkasan, dan banyak melewatkan detail. Namun kiranya cukup menunjukkan: bahwa peletakan ibukota Baghdad membawa keuntungan besar tersendiri.

Sekarang kita akan masuk pada topik yang lebih khusus, yaitu masuknya ilmu dari Byzantium.

 
Peran Kristen Nestorian
 

Uniknya, biarpun sering disebut “Peradaban Islam”, inspirasi terbesar Abbasiyah di dunia ilmu diperantarai oleh pemeluk agama Kristen. Atau lebih tepatnya: pemeluk Kristen Nestorian yang tinggal dekat Baghdad.

Mengenai kelompok ini ada baiknya diperkenalkan. Mereka adalah minoritas religius yang cukup terpelajar. Aslinya mereka dari Byzantium, namun karena perpecahan agama terpaksa mengungsi ke wilayah Persia.

Kehadiran pemeluk Kristen Nestorian bersifat kunci dalam pembahasan kita. Merekalah yang membawa pengetahuan Byzantium ke tanah Arab, dan kelak, memperkenalkannya ke dunia Islam.

[img] Konsili Ephesus (431)

Konsili Ephesus (431) yang melarang agama Kristen Nestorian.
Kaum Muslim secara tidak langsung berhutang pada peristiwa ini.

(image credit: Philippe Alès @ Wikimedia Commons)

Komunitas Kristen Nestorian terkenal sebagai penghasil dokter. Banyak anggotanya bertugas di istana bangsawan, termasuk di antaranya (kelak) jadi dokter pribadi Al-Mansur. Hal itu karena perpustakaan mereka mengandung banyak materi ilmu kesehatan Yunani, sebagai contoh karya Hipokrates dan Galen.

Pertanyaannya sekarang: seluas apa literatur yang dimiliki Kristen Nestorian? Sayangnya tidak begitu jelas. Meskipun begitu kita bisa menalar bahwa setidaknya terdapat beberapa karya matematika. Tak lama sesudah Al-Mansur naik tahta, dia mendapat terjemahan buku Elements karya Euclid. (Gutas, 1998, hlm. 30-31)

Barangkali bisa dibilang ini salah satu momen paling menentukan. Terjemahan buku Yunani milik Al-Mansur menunjukkan satu hal: bahwa literatur Yunani dapat diterjemahkan ke bahasa Arab.

Kaum Kristen Nestorian tidak dapat berbahasa Arab: apabila menerjemahkan hanya ke dalam bahasa Syriac. Namun di dataran Persia terdapat banyak orang Arab yang bisa berbahasa Syriac. Orang-orang inilah yang kemudian menghantarkan berbagai literatur Yunani ke dalam bahasa Arab.

Dan dengan demikian…

…dimulailah sebuah ombak besar menerjang dunia Arab. Buku-buku karya Euclid, Aristoteles, dan Ptolemaeus kini mengisi pemikiran Muslim. Dua peradaban yang terpisah ratusan tahun mulai berkombinasi! :shock:

[img] Euclid's Elements (Arab Manuscript)

Terjemahan Arab buku “Elements”

(image credit: Don Skemer @ Princeton University Library)

Bisa ditebak, arus penerjemahan itu merangsang dunia Islam. Untuk pertama kalinya mereka berkenalan dengan pengetahuan Yunani. Ibarat anak kecil diberi permen, mereka penasaran dan ingin lebih. Bagaimana kalau semua karya Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab?

Di sinilah awal munculnya sebuah proyek. Dinasti Abbasiyah akan memfasilitasi penerjemahan skala besar: tidak tanggung-tanggung, selama dua abad dengan dukungan pemerintah.

 
Penerjemahan Abbasiyah: Lintas Agama, Kultur, Etnis
 

Orang di zaman modern biasanya menganggap politisi berpikiran sempit, malas belajar, dan tidak berilmu. Terdapat kesan bahwa politik dan intelektualitas bertolak belakang. Pun demikian, itu tidak berlaku untuk Khalifah Al-Mansur.

Bertahta di Baghdad di usia 48 tahun, Al-Mansur adalah pemimpin yang respek pada dunia ilmu. Minat utamanya adalah literatur Yunani, meskipun demikian dia juga hormat pada Persia dan India. Di bawah kekuasaannya dia memprakarsai penerjemahan buku dari berbagai negeri.

Mulai dari tabel astronomi India, kisah hikayat Persia, hingga risalah astronomi Ptolemaeus tak lepas dari pengejarannya. Begitu cintanya Al-Mansur pada buku, sedemikian hingga dia pernah meminta langsung kepada Kaisar Byzantium. (Gutas, 1998, hlm. 32)

Visi besar Al-Mansur dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Mahdi, dan akan terus berlangsung sampai abad ke-11. Perlahan tapi pasti buku-buku asing diterjemahkan, direvisi, dan dikomentari. Rangkaian aktivitas ini adalah tulang punggung kehidupan ilmiah di Baghdad.

* * *

Menariknya, biarpun pemerintahnya teokratis, proyek penerjemahan Abbasiyah sangatlah kosmopolitan. Tidak ada ketentuan bahwa yang bekerja cuma boleh Muslim atau Arab. Sangat banyak tokoh yang beragama Kristen, Yahudi, atau bahkan pagan (!).

Penerjemah yang paling terkenal misalnya Hunayn bin Ishaq (w. 873 M). Dia adalah seorang dokter Arab beragama Kristen. Lewat kerja kerasnya Hunayn menerjemahkan 95 jilid karya Galen, 15 jilid Hipokrates, di samping beberapa karya filsafat Plato dan Aristoteles.

Anak laki-laki Hunayn, Ishaq bin Hunayn bin Ishaq (w. 901), lebih fokus pada karya non-kedokteran. Dari tangannya muncul versi Arab Elements dan Almagest — karya besar Euclid dan Ptolemaeus. Ishaq juga banyak menerjemahkan karya Aristoteles.

Al-Kindi, seorang Muslim yang belakangan menjadi filsuf, menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles. Dia sezaman dengan tiga bersaudara Banu Musa yang menerjemahkan teks astronomi. Hanya saja karena masalah politik mereka bermusuhan dengan Al-Kindi.

Thabit Ibn Qurra adalah seorang pagan dari Irak. Dia tidak percaya agama Islam, Kristen, ataupun Yahudi, namun tidak menghambat dia berkontribusi. Bidang kerjanya adalah manuskrip matematika dan astronomi — termasuk di antaranya karya Archimedes.

Dan masih banyak sosok lainnya, sebagai contoh Sahl Ibn Rabban (beragama Yahudi) dan Yahya bin ‘Adi Al-Mantiqi (Kristen Nestorian). Lebih jauh mengenai para penerjemah dapat dibaca dalam O’Leary (1949).

Di sinilah kita melihat bahwa masuknya ilmu pengetahuan ke dunia Islam — sejatinya — merupakan kerjasama lintas batas. Sebagaimana bisa dilihat latar belakang penerjemahnya macam-macam. Agamanya berbeda, asal sukunya berbeda, bidang ilmunya pun beragam. Meskipun demikian hal itu tidak menghambat mereka bekerjasama.

 
Berdiri di Atas Bahu Raksasa
 

Seiring dengan maraknya penerjemahan, output ilmiah dunia Islam ikut terangkat. Para ilmuwan tidak lagi harus meraba-raba di tingkat rendah. Dalam waktu singkat mereka mendapat warisan ilmu tiga bangsa: Yunani, India, dan Persia.

Nah, di sinilah terjadinya kemajuan sains yang sangat terkenal. Beberapa contohnya sebagai berikut.

Di bidang matematika, Al-Khwarizmi meneliti sifat matematika angka India dan mengembangkannya. Karya pertamanya, Kitab al-Jam wal Tafriq bi Hisab al-Hind, dalam bahasa Indonesia berarti “Buku Tambah-Kurang berdasarkan Perhitungan Hindu”. Al-Khwarizmi menjelaskan beberapa terobosan:

  • penggunaan angka 1-9 beserta lingkaran sebagai angka nol,
  • metode operasi penjumlahan dan pengurangan,
  • metode operasi perkalian dan pembagian,
  • metode operasi melibatkan (akar 2)
  •  
    (Katz, 2008, hlm. 268)

Inovasi Al-Khwarizmi memberinya ketenaran di Arab dan Eropa. Teknik perhitungan yang runtut membuat namanya diasosiasikan, dan di masa kini menjadi kata “algoritma”.

Selesai dengan angka India Al-Khwarizmi lalu mengembangkan konsep “aljabar”. Dia berkutat dengan pertanyaan berikut, bagaimana cara mencari akar persamaan kuadrat? (Tidak kita bahas di sini)

[img] Al-Khwarizmi statue at Khiva, Uzbekistan

Al-Khwarizmi (c. 780-850)

(image credit: Theodore Liebersfeld @ Flickr)

Bergeser ke bidang astronomi, terdapat sosok bernama Al-Battani. Terinspirasi oleh Almagest karya Ptolemaeus, dia menciptakan (antara lain) katalog bintang dan tabel pergerakan benda angkasa. Kualitas kerjanya sangat masyhur, sedemikian hingga diperbincangkan oleh Copernicus dan Kepler. (Lindberg, 2007, hlm. 177-180)

Sementara itu Ibnu Haytham dan Nasiruddin Al-Tusi merasa model angkasa dalam Almagest kurang akurat. Mereka lalu berusaha membuat penyempurnaan lewat — salah satunya — modifikasi episiklus. Mirip dengan Al-Battani karya mereka juga masyhur sampai Eropa.

Di bidang kesehatan hampir semua tokoh Muslim membaca karya Galen, dokter besar peradaban Romawi. Berangkat dari situlah mereka membuat penemuan. Ibnu Al-Nafis menjelaskan peredaran darah di paru-paru. Al-Zahrawi mengembangkan teknik dan peralatan bedah. Sementara untuk kesehatan umum tokoh besarnya adalah Ibnu Sina dan Al-Razi.

Dan tentunya masih banyak yang belum disebut. Meskipun demikian karena keterbatasan ruang terpaksa kita tinggalkan.

* * *

Melalui uraian di atas, jadi terlihat sebuah pola. Bahwasanya penemuan para tokoh Muslim tidak muncul dari nol, melainkan berangkat dari literatur asing. Baru sesudah literaturnya diterjemahkan mereka “lepas landas” — menghasilkan kemajuan yang fenomenal.

Inilah yang disebut Isaac Newton sebagai “berdiri di atas bahu raksasa”. Seiring jalannya waktu ilmu pengetahuan manusia berakumulasi. Untuk melangkah maju tidak bisa hanya bergantung diri sendiri. Harus mau terbuka dan menerima! :)

Sebagaimana bisa dilihat, kesuksesan Islam Abbasiyah ditunjang oleh kerjasama lintas budaya. Baik pada level penerjemahan maupun penelitian. Islam menjadi besar bukan karena menutup diri, apalagi menolak yang berbeda. Islam menjadi besar karena mau menyerap dan mengakui budaya lain.

Pada akhirnya penemuan ilmiah sehebat apapun tidak muncul dalam vakum. Selalu ada fondasi yang dipakai — dan itu yang harus dihargai serta diakui.

 
Penutup
 

Pada tahun 1258, setelah bertahun-tahun dilanda perpecahan, Khilafah Abbasiyah tumbang oleh Mongol. Hampir seluruh kota Baghdad rata dan perpustakaannya dihancurkan. Sebagian penakluk Mongol kelak masuk Islam dan merekonstruksi, meskipun begitu kerusakan sudah terjadi.

Barangkali terkesan bahwa inilah tamatnya kemajuan Islam. Sebenarnya tidak juga. Sesudah Baghdad jatuh pusat pemikiran Muslim akan bergeser ke Mesir dan Andalus. Akan tetapi namanya kultur intelektual, dia tak bisa dipindah. Runtuhnya Abbasiyah menandai akhir rezim yang proaktif di bidang ilmu.

Ibaratnya tak ada lagi political will yang mendukung dunia riset. Para ilmuwan Muslim masih akan berkarya — namun dengan jumlah dan intensitas lebih kecil.

Dipandang seperti ini, kita melihat bahwa kesuksesan Islam Abbasiyah bukan sesuatu yang ajaib atau eksklusif. Dia terwujud lewat kombinasi berbagai hal: dukungan pemerintah, lokasi strategis, hingga interaksi antar budaya. Yang juga perlu digarisbawahi adalah semangat kosmopolitan di dalamnya. Mulai dari Arab sampai Persia, India sampai Yunani, bahkan penganut Kristen dan Yahudi — berbagai elemen itu berkontribusi dengan harmonis.

Islam Abbasiyah, pada akhirnya, bisa maju bukan karena membatasi “segala-gala mesti Islam atau Arab”. Justru sebaliknya: Islam Abbasiyah bisa maju karena sumbangan berbagai pihak. Ini dia detail yang sering terlewat.

Alhasil, justru meleset kalau orang membangga-banggakan diri: “Peradaban Islam, hebat semua! Lihat saja abad 9-12 Masehi.” Sementara kenyataannya… ya, begitu deh… :lol:

 

 
——

Pustaka:

 
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture. New York: Routledge

Katz, V.J. (2008). A History of Mathematics (3rd ed.). Boston, MA: Addison-Wesley

Lindberg, C.D. (2007). The Beginnings of Western Science (2nd ed.). Chicago: Chicago University Press

O’Leary, D.L.E. (1949). How Greek Science Passed to the Arabs. London: Routledge & Kegan Paul

Saunders, J.J. (1965). A History of Medieval Islam. London: Routledge & Kegan Paul

Schlager, N., & Lauer, J. (Eds.). (2001). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2: 700-1449. Farmington Hills, MI: Gale Group

Penakluk yang Kurang Berbudaya

$
0
0

Peradaban Romawi adalah pemain kunci dalam sejarah. Mengenai hal ini semua orang sudah tahu. Bahkan di Indonesia, yang relatif tidak berhubungan, nama Romawi sedikit-banyak disinggung di pelajaran sekolah.

Romawi dengan angkatan perangnya berkuasa di Eropa, Afrika Utara, dan sebagian Asia. Adapun rentang terjauh dicapai oleh pemimpinnya, Kaisar Trajan, di tahun 117 Masehi. Dari Semenanjung Iberia di Spanyol sampai Laut Kaspia di Asia Tengah; dari Inggris di utara sampai Mesir di selatan. Dapat dibilang bahwa mereka kekuatan adidaya zaman kuno.

[img] Imperium Romawi di tahun 117 M

Puncak kekuasaan Romawi di bawah Trajan (117 M)

(image credit: Tataryn77 @ Wikimedia Commons)

Adapun di zaman modern, banyak warisan Romawi mewarnai kehidupan kita. Mulai dari huruf Latin, sistem legislatif, profesi pengacara, sampai bentuk jembatan lengkung termasuk di dalamnya. Bukan berarti semua murni Romawi, sih. Sebagian diadaptasi dari peradaban terdahulu; sebagian mereka temukan sendiri. Meskipun begitu intinya tetap: banyak elemen kehidupan mereka terhantar sampai ke kita.

Ironisnya, biarpun sukses sebagai penguasa, Romawi bukannya tanpa kekurangan. Salah satunya masalah budaya. Di bidang ini Romawi berhutang pada bangsa yang mereka taklukkan, yaitu Yunani Kuno.

Syahdan, Romawi tadinya mempunyai satu set dewa-dewi yang khas. Meskipun begitu interaksi dengan Yunani membuat keyakinan mereka saling bercampur dan bersinkretisasi. Proses ini berlangsung berabad-abad, sedemikian hingga pada akhirnya, dewa-dewi Romawi dan Yunani tak bisa dibedakan.

Jika pembaca akrab dengan mitologi pasti tahu bagaimana perhubungannya. Sebagai contoh Jupiter disamakan dengan Zeus. Kemudian Minerva sama dengan Athena, dan Artemis sama dengan Diana. Adapun yang agak lebih ‘rendahan': Merkurius sama dengan Hermes dan Vesta sama dengan Hestia.

Dengan satu dan lain cara, duabelas penghuni Olympus bertransformasi jadi duabelas dewa Romawi. Dewa-dewi inilah yang kemudian mewarnai mitologi yang kita kenal.

[img] Pallas Athena statue at Vienna Parliamentary Building

Patung Pallas Athena (Minerva) di kota Wina, Austria

(image credit: Yair Haklai @ Wikimedia Commons)

To their credit, bangsa Romawi sendiri bukannya tidak sadar. Mereka sangat mengakui hutang kepada Yunani. Bahkan penyair besar, Virgil terang-terangan menyebut: leluhur bangsa Romawi adalah pengungsi Perang Troya. Pandangan itu tertuang dalam epik berjudul Aeneid.

Menurut Virgil, garis keturunan Romawi bersumber dari Aeneas, Pangeran Troya yang mengungsi ketika kotanya dihancurkan. Aeneas bersama rombongan berusaha melanjutkan kebudayaan di tempat yang baru. Setelah bertahun-tahun berlayar mereka akhirnya tiba di Italia. Rombongan Aeneas kelak akan berketurunan, dan dari situ muncul kembar legendaris: Remus dan Romulus, pendiri kota Roma.

Remus dan Romulus terkenal karena — konon — sewaktu kecil disusui oleh serigala. Legenda ini bertahan selama ribuan tahun, dan di masa kini menginspirasi logo klub sepakbola asal Roma.

[img] Capitoline Wolf with Remus & Romulus

Patung perunggu: Remus dan Romulus menyusu pada serigala

(image credit: Mary Ann Sullivan @ Bluffton College)

Perlu diketahui bahwa Virgil sangat respek pada dua epik Yunani, Iliad dan Odyssey. Dia memodelkan Aeneid mengikuti keduanya. Oleh karena itu wajar jika di sana-sini terdapat referensi.

Mulai dari perjalanan di laut, perang karena masalah wanita, sampai kemunculan ‘tokoh penggoda’ sang protagonis tak lupa beliau cantumkan. Lewat Aeneid Virgil seolah menyiratkan: adanya Romawi ditunjang oleh landasan Yunani.

Menariknya, biarpun terkesan fanfic, pendekatan Virgil di atas sangat populer. Banyak penulis Romawi membuat adaptasi legenda Yunani. Sebagai contoh Statius: dia menulis ‘sekuel’ sesudah Oedipus meninggal. Kemudian Catullus berkisah tentang Ariadne dan Dionysius. Sementara itu, Ovid mendaur-ulang berbagai kisah metamorfosis.

Pada akhirnya elemen kebudayaan Yunani sangat kuat mewarnai identitas Romawi. Bukan saja dewa-dewinya mirip — leluhur bangsanya pun dari legenda Yunani! :P

 
Intelektualnya Juga Warisan
 

Di sisi lain, pengaruh Yunani terhadap Romawi tak hanya di mitologi. Ada juga di bidang filsafat. Kita sering mendengar nama filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles, namun bagaimana dengan filsuf Romawi?

Sayangnya agak susah dibanggakan. Tradisi filsafat Romawi hampir total bergantung pada Yunani Kuno. Dibandingkan dengan pendahulunya, filsuf Romawi ibaratnya “tukang melanjutkan”.

Mengapa seperti itu? Penjelasannya di bawah ini.

Sepanjang berdirinya Imperium Romawi, mazhab filsafat yang paling populer adalah Stoikisme. Mazhab ini didirikan di Yunani oleh Zeno dari Citium di abad ke-3 SM. Mazhab Stoik menekankan ajaran sikap moral dan ketenangan batin. Sebenarnya ada juga ajaran terkait logika dan metafisika, namun hal itu relatif tak dibahas di zaman Romawi.

Hampir seluruh pemikir Romawi menganut — atau minimal menginkorporasi — pandangan Stoik. Sebagai contoh Cicero, dia adalah orator dan penggagas sistem politik. Kemudian berturut-turut Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Menarik dicatat bahwa range profesi mereka cukup lebar. Epictetus misalnya seorang budak. Seneca adalah pengajar di Istana. Sementara Marcus Aurelius menjabat Kaisar dalam periode 161-180 M.

[img] Para filsuf Stoik

Filsuf Stoik dari masa ke masa:
Zeno dari Citium, Posidonius, Seneca, dan Marcus Aurelius

(image credit: Wikimedia Commons)

Di luar aliran Stoik terdapat beberapa pemikir, namun sebagaimana dijelaskan, mereka juga mengikuti tradisi Yunani. Lucretius bermazhab Epicurean. Sextus Empiricus seorang skeptis. Sementara itu Plotinus, Porphyry, dan Proclus menganut Neoplatonisme.

Sejujurnya agak membingungkan mengapa Romawi kering-kerontang di bidang filsafat. Mereka jauh lebih besar, lebih luas, dan lebih makmur daripada Yunani. Akan tetapi pencapaian intelektualnya rendah. :-?

Jadi semakin terbanting bila dibandingkan dengan Yunani. Biarpun mereka kecil namun sangat banjir dengan filsafat. Platonisme, Aristotelianisme, Epicurean, Stoik, hingga bahkan Atomisme dan Skeptisisme.

 
Balada “Tukang Insinyur” ?
 

Menilik uraian sejauh ini, barangkali terkesan saya tidak adil, dari tadi menjatuhkan Romawi melulu. Sebenarnya tidak juga. Nyatanya Romawi punya kelebihan yang akan segera kita lihat.

Beberapa waktu lalu di blog ini, saya menulis tentang bentuk struktur lengkung. Struktur lengkung adalah teknologi yang luar biasa: dengan materi yang sedikit dapat menanggung beban yang berat. Teknologi ini didapat dari peradaban Etruska, namun disempurnakan oleh para insinyur Romawi, menghasilkan bangunan kokoh yang hingga kini masih berdiri.

[img] Aqueduct of Segovia

Salah satu peninggalan Romawi: Saluran Air Segovia.
Bangunan ini sudah berdiri selama hampir 2000 tahun.

(image credit: Bernard Gagnon @ Wikimedia Commons)

Seni arsitektur Romawi sangat layak dibanggakan. Hasil kerja mereka bervariasi: sebagai contoh ampiteater, koloseum, jembatan. Bahkan di abad ke-21, banyak wisatawan berkunjung dan mengagumi peninggalan mereka. Termasuk yang paling hebat adalah Pantheon di kota Roma.

Peradaban Romawi juga cukup ahli di bidang kimia. Biarpun bangsa kuno namun telah mampu menciptakan semen dan gelas kaca. Mereka juga telah mampu menambang dan memurnikan (smelting) logam mulia seperti emas dan perak. Hasil arkeologi menunjukkan peninggalan tambang Romawi berukuran kolosal di Rio Tinto (Spanyol) dan Dolaucothi (Wales).

Namun lebih dari itu semua, Peradaban Romawi memahami pentingnya drainase dan penyaluran limbah. Berbagai akuaduk Romawi berperan vital menyangga kehidupan di kota. Adapun satu contohnya ditampilkan dalam foto di atas.

 
Tentunya di sini timbul pertanyaan. Sebagaimana telah kita lihat, bangsa Romawi itu tidak bodoh. Justru mereka sangat pintar. Akan tetapi, dengan kepintaran itu… mengapa kok intelektualnya melempem? :-?

Saya ingin menggarisbawahi bahwa “intelektual” di sini tidak cuma terbatas kultur dan filsafat. Nyatanya bangsa Romawi juga mengabaikan ilmu murni. Tidak ada astronom hebat berkebangsaan Romawi, dan di bidang matematika, levelnya “sedikit di atas mengukur dan berhitung”. (Katz, 2008, hlm. 157)

Yunani punya Euclid (matematikawan), Archimedes (insinyur/matematikawan), dan Eudoxus (astronom). Romawi tidak punya — mengecualikan Ptolemaeus, yang hidup di zaman Romawi, tetapi keturunan Yunani-Mesir. What went wrong? Bagaimana mungkin bangsa sebesar itu bisa sangat kerontang di bidang ilmu!? :o

Terkait hal ini, sejarahwan David Lindberg (2007) punya penjelasan. Menurut Lindberg:

Generations of historians have sought to explain the Roman failure to master the more abstruse or technical aspects of Greek learning in terms of intellectual inferiority, moral weakness, or temperamental defect. It is often said that Romans simply did not have theoretical minds—though it is then quickly added (because everybody has to be good at something) that they made up for this deficiency with administrative and engineering talent. In fact, there is no mystery about the level or the degree of Roman intellectual effort and no reason to be surprised or critical. We need always to remember that the Roman aristocracy regarded learning, except for clearly utilitarian matters, as a leisure-time pursuit. . . . Members of the Roman upper class had about the same level of interest in the fine points of Greek natural philosophy as the average American politician has in metaphysics and epistemology. At best, their desire was, as the Roman playwright Ennius put it, “to study philosophy, but in moderation.”

 
(Lindberg, 2007, hlm. 136)
(cetak tebal ditambahkan)

Akar masalahnya, menurut Lindberg, bukan karena bangsa Romawi tidak mampu, melainkan karena mindset. Bangsa Romawi terbiasa menilai dengan kacamata praktis. Semua-semua ditimbang dari kepraktisan. Apabila sebuah ilmu bermanfaat langsung dalam hidup, mereka pelajari. Namun jika tidak bisa dikesampingkan.

Dipandang seperti ini, jadi jelas mengapa Romawi begitu timpang antara kesuksesan dan intelektual. Bangsa Romawi — entah karena apa — malas ambil pusing dengan hal yang mengawang.

Legenda dan mitologi mereka “tambal-sulam” dari Yunani. Matematika cukup dari Euclid dan Archimedes; astronomi paham sedikit juga tak apa. Bahkan filsafat dan pandangan hidup pun mereka ambil dari Yunani: sebagaimana telah kita lihat mereka tak punya sumbangan orisinil. Filsuf-filsuf terbesar Romawi adalah filsuf yang melanjutkan tradisi Yunani.

Barangkali jika hendak diibaratkan, bangsa Yunani itu seperti ilmuwan, sementara Romawi adalah insinyur. Yang satu meneliti hal-hal yang jauh, fundamental, mengawang — sementara yang lain berfokus menyelesaikan masalah. Yang satu lebih pure dan elegan, sementara yang lain cenderung ‘brutal’ dan bongkar-pasang. :lol:

Saya sendiri, sebagai orang teknik, kadang merasa agak tersindir. Benarkah kelakuan insinyur seperti itu? Sepertinya kok ada benarnya. Hampir semua mahasiswa teknik yang pernah saya kenal seperti itu: brutal, bongkar-pasang, dan mengabaikan hal-hal di luar engineering. Sangat jarang ada mahasiswa teknik — atau bahkan insinyur — yang terbiasa membaca sejarah, filsafat, atau sastra. (Kalau membaca matematika atau fisika sih ada saja)

To be fair, ada juga pengecualiannya. Adik kelas saya dulu misalnya membawa buku William Blake ke kelas. Jadi stereotip di atas bisa meleset juga. :lol:

[img] William Blake (1757-1827)

Penyair yang menembus batas (!)

(image credit: Wikimedia Commons)

Hanya saja, kembali menyoal Romawi, kita harus ingat bahwa mereka sangat sukses. Berabad-abad menguasai Eropa dan pengaruhnya terasa sampai sekarang. Setidaknya dari perspektif ini harus diakui: mereka melakukan sesuatu hal dengan benar.

Sayangnya dalam meraih kesuksesan itu mereka cenderung “kacamata kuda”, dalam arti kurang meluaskan wawasan. Jadinya agak tanggung: sukses secara materi tapi intelektualnya tertinggal.

Sebagaimana telah disebut, bukan masalah bodoh atau pintar, melainkan soal mindset. Yah, mungkin memang budaya mereka seperti itu… ^^;

 

 
——

Pustaka:
 

Katz, V.J. (2008). A History of Mathematics: An Introduction (3rd ed.). Boston, MA: Addison-Wesley

Lindberg, D.C. (2007). The Beginnings of Western Science (2nd ed.). Chicago: Chicago University Press

Roman, L., & Roman, M. (2010). Encyclopedia of Greek and Roman Mythology. New York: Facts on File

Russell, B. (1946). History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin

Wesson, D.L. (2013). Roman Religion. Ancient History Encyclopedia, diakses pada 25 April 2015.

Menyingkap Wajah Saturnus (1610-1660)

$
0
0

Siapa yang tidak tahu planet Saturnus? Dibandingkan dengan tetangganya di tata surya, planet yang satu ini sangat unik, sebab punya cincin besar yang mengitarinya.

Bisa dilihat dalam foto di bawah, cincin pengiring Saturnus mempunyai pola belang-belang yang teratur. Sepintas lalu planet ini tampak unik dan artistik.

[img] Planet Saturnus

(image credit: NASA JPL Photojournal)

Menariknya, biarpun sekarang populer, planet Saturnus dulunya kontroversial. Butuh waktu puluhan tahun sejak pertama kali diamati lewat teleskop, di tahun 1610, hingga para ahli memahami bentuknya yang unik.

Minimnya kualitas teleskop generasi awal, ditambah perilaku Saturnus yang ‘ajaib’, membuat astronom di seluruh Eropa kebingungan. Planet yang satu ini bentuknya terus berubah. Kadang bulat, kadang lonjong, namun yang paling misterius: kadang-kadang memunculkan telinga! Tidak kurang tokoh besar seperti Galileo, Johannes Hevelius, sampai Christiaan Huygens dibuat penasaran.

Tentunya zaman sekarang kita sudah punya teleskop canggih, bahkan bisa mengirim wahana angkasa ke planetnya. Namun berbeda dengan zaman dulu.

Suatu hari di bulan Juli 1610, Galileo Galilei mengarahkan teleskop untuk meneliti Saturnus, dan melihat penampakan mengejutkan.

 
Awal Mula: Pengamatan Galileo
 

Galileo Galilei (1564-1642) adalah tokoh yang merevolusi dunia astronomi. Lewat buku karyanya, Sidereus Nuncius, Galileo memperkenalkan teleskop sebagai alat bantu astronomi. Secara akurat dia menggambarkan permukaan bulan dan empat satelit Jupiter.

Galileo sendiri bukanlah penemu teleskop. Perkakas ini awalnya ditemukan perajin Belanda, Hans Lipperhey dan Zacharias Jansen. Meskipun begitu Galileo berperan besar menyempurnakannya. Di tangan Galileo, teleskop Lipperhey/Jansen berevolusi hingga mencapai perbesaran 30x, cukup kuat untuk mengamati nebula dan bintang redup.

[img] Galileo Galilei

Galileo Galilei (1564-1642)

(image credit: Wikimedia Commons)

Hanya saja, namanya juga evolusi, teleskop Galileo tidak langsung sempurna. Pada tahun 1610 dia masih terpaku pada perbesaran 20x. Teleskop inilah yang digunakan mengamati planet Saturnus.

Deskripsi Galileo tentang Saturnus ditulis dalam bahasa Latin, mengikuti tradisi Renaissance:

Altissimum planetam tergeminum observavi.

(“I have observed that the farthest planet is threefold.” — terj. S.J. Gould)

Perlu diingat bahwa di tahun 1610 orang belum tahu planet Uranus dan Neptunus. Oleh karena itu istilah “planet terjauh” (altissimum planetam) merujuk pada Saturnus.

Satu hal yang aneh adalah, Galileo menyebut Saturnus berbentuk tergeminum — dalam bahasa Indonesia berarti “tiga serangkai”. Bentuk ini berbeda dengan yang kita tahu. Amatan itu bukan karena Galileo silap, melainkan karena masalah teleskop.

Sebagaimana telah disebut teleskop Galileo mempunyai perbesaran 20x. Lokasi Saturnus yang jauh dari Bumi (sekitar 1.2 milyar km) membuat citra teleskop menjadi kabur.

Oleh karena itu, ketika sinar matahari berefleksi pada cincin, kedua sisinya berpendar, mengesankan seolah terdapat tiga buah planet! :o Padahal sebenarnya tidak — cuma kelihatannya saja seperti itu. Pada akhirnya Galileo dikalahkan oleh keterbatasan teknis.

[img] Galileo's Saturn simulated via Astromatic.net

Simulasi penampakan Saturnus oleh Galileo (CGI)

(image credit: Astromatic.net)

Sayangnya, biarpun tidak akurat, teleskop Galileo adalah yang terbaik di zamannya. Oleh karena itu tak ada yang bisa menyangkal. Alhasil, untuk sementara, kesimpulan beliau diterima — biarpun bukan tanpa kritik.

 
Saturnus Berubah Bentuk
 

Di tahun 1612, Galileo kembali mengarahkan teleskop ke arah Saturnus. Namun yang dilihatnya sekarang tampak berbeda. Alih-alih kembar tiga, Saturnus kini tampak bulat dan sendiri.

Sebenarnya itu karena posisi cincin Saturnus sedang horizontal, jadi tidak terlihat dari Bumi. Meskipun begitu Galileo tidak tahu.

Peristiwa di atas membuat sang astronom terperanjat:

I had discovered Saturn to be three-bodied. . . . When I first saw them they seemed almost to touch, and they remained so for almost two years without the least change. It was reasonable to believe them to be fixed. . . . Hence I stopped observing Saturn for more than two years. But in the past few days I returned to it and found it to be solitary, without its customary supporting stars, and as perfectly round and sharply bounded as Jupiter. Now what can be said of this strange metamorphosis? That the two lesser stars have been consumed?

(dikutip dalam Gould, 2011)

Bagaimanapun Galileo seorang ilmuwan. Oleh karena itu di bagian selanjutnya dia menulis:

Has Saturn devoured his children? Or was it indeed an illusion and a fraud with which the lenses of my telescope deceived me for so long—and not only me, but many others who have observed it with me? . . . I need not say anything definite upon so strange and unexpected an event; it is too recent, too unparalleled, and I am restrained by my own inadequacy and the fear of error.

(dikutip dalam Gould, 2011)

* * *

Pun demikian, yang melihat keanehan Saturnus bukan cuma Galileo.

Selama puluhan tahun berikutnya, para astronom Eropa mengamati bahwa Saturnus memang — kelihatannya — berubah bentuk. Catatan penting dibuat Pierre Gassendi, pendeta asal Prancis, yang mengamati Saturnus selama dua dekade. Buku gambarnya menunjukkan variasi sebagai berikut.

[img] Gassendi's Saturn

Pierre Gassendi, pengamatan teleskop, 1633-1656

(image credit: Royal Society, digitized by NASA ADS)

Dari Danzig, Polandia, Johannes Hevelius menyampaikan sketsa:

[img] Hevelius' Saturn

Johannes Hevelius, “Selenographia”, 1647

(dikutip dalam Van Helden, 1974b)

Adapun dari Italia, astronom Fontana dan Divini melihat bentuk yang khas — sekilas mirip mata manusia.

[img] Saturn by Fontana & Divini (1640s)

Hasil pengamatan Fontana (atas) dan Divini (bawah), c. 1645

(dikutip dalam Van Helden, 1974b)

Pada dasarnya semua setuju bahwa bentuk Saturnus bervariasi. Yang diketahui teratur hanya periode: sesudah beberapa waktu akan kembali seperti semula. Namun bagaimana prosesnya — dan apa penyebabnya — masih jadi misteri.

 
Hipotesis dan Solusi
 

Sepanjang periode 1610-1660, para ahli berlomba-lomba mengajukan hipotesis. Bagi kita di zaman modern, sebagian mungkin terdengar aneh. Akan tetapi kita harus ingat bahwa ilmuwan sehebat apapun adalah produk zaman mereka hidup.

Astronom Polandia, Hevelius, menduga bahwa bentuk asli Saturnus mirip bola-berkuping-dua. Ketika Saturnus sedang mengorbit, dari Bumi akan terlihat bentuknya berubah-ubah sesuai sketsa. (Lihat gambar di atas)

Dari Italia, Giovanni Battista Odierna menyebut Saturnus berbentuk lonjong dengan dua bercak hitam. Di saat posisi normal akan mirip gambaran Hevelius. Namun di saat berotasi 90° akan tampak bulat. (Analoginya kira-kira seperti timun berputar)

Matematikawan Prancis Roberval berkomentar bahwa — mungkin — planet Saturnus rutin menyemburkan uap gas. Tergantung situasi, semburan gas dapat menghasilkan penampakan bulat/lonjong/kembar tiga.

Adapun solusi nyaris-benar diberikan oleh Christopher Wren. Wren menduga dua hal, yaitu: (1) bahwa Saturnus mempunyai korona berbentuk pipih, dan (2) bahwa Saturnus berputar seperti gasing. Sayangnya dia tidak yakin korona terbuat dari apa. Akhirnya Wren meminjam ide Roberval, yaitu “cincin” Saturnus berupa uap gas.

 

Meninjau silang pendapat di atas, boleh jadi, pembaca sekarang penasaran: kalau begitu, kapan munculnya jawaban yang “benar”, dan siapa yang menemukan?

Nah, soal itu takkan kita tunda lagi. Pada tahun 1659, muncul sebuah gebrakan dari Christiaan Huygens — ahli matematika, astronom, sekaligus pembuat teleskop asal Belanda.

[img] Christiaan Huygens

Christiaan Huygens (1629-1695)

(image credit: Wikimedia Commons)

Dilahirkan 65 tahun sesudah Galileo, Huygens adalah sosok serba bisa. Bakat matematika yang kuat membantu dia merancang peralatan optik, menghasilkan teleskop generasi baru. Kesukaan pada mekanika mendorongnya menggeluti horologi (teknik pembuatan jam). Adapun secara sosial Huygens adalah sosok terpandang: keluarganya turunan bangsawan dan adiknya seorang diplomat.

Terkait pembahasan kita, peran Huygens sedikit berhubungan dengan teleskop. Lewat kerja kerasnya Huygens merancang teleskop besar — sepanjang 12 kaki — dengan perbesaran 50x. Teleskop inilah yang membantunya memecahkan misteri Saturnus.

Huygens mengamati bahwa biarpun teleskopnya lebih tajam, namun pengamatan astronom generasi sebelumnya tidak buruk. Secara garis besar mereka benar — hanya kurang detail, tapi tidak krusial. Oleh karena itu dia menilai masalah utamanya di interpretasi.

Diketahui bahwa planet Saturnus berubah bentuk dengan ketentuan begini-dan-begitu. Lalu bagaimana solusinya?

Di sinilah Huygens merumuskan ide cemerlang. Secara kebetulan idenya mirip dengan Christopher Wren: bahwa Saturnus mempunyai cincin padat (bukan gas) yang mengitarinya. Apabila dipandang dari sudut yang berbeda, maka penampakannya juga akan berbeda.

Dengan cerdik Huygens menginkorporasi idenya ke dalam teori heliosentris. Bisa dilihat dalam gambar di bawah, apabila Bumi berada di titik E, maka Saturnus akan tampak berubah secara periodik.

[img] Huygens Saturn model

AAAAAAAAHHHHH!!!!

(image credit: C. Huygens, “Systema Saturnium”, via Galileo Project)

Dalam sekejap kesan ajaib yang melingkupinya runtuh. Planet Saturnus tidak berubah secara fisik. Yang berubah adalah sudut pandang kita! :o

Bisa dibilang inilah momen seminal dunia astronomi. Awalnya publikasi Huygens ditanggapi dingin, meskipun begitu belakangan situasi berbalik. Dalam waktu singkat gagasan beliau menjadi mainstream di seluruh Eropa.

Di belakang hari, seiring meningkatnya kualitas teleskop, detail Saturnus akan semakin jelas. Salah satunya corak pada cincin yang ditemukan Cassini tahun 1664. Meskipun begitu kisah penyingkapan wajah Saturnus kita akhiri sampai di sini.

 
Penutup: Menyoal Pencarian Ilmiah
 

Di dunia sehari-hari, sering ada klaim bahwa kemajuan sains bersifat linear. Dari waktu ke waktu pengetahuan manusia terus bertambah dan semakin sempurna. Narasi seperti ini ada benarnya, dan cukup menggugah, tetapi agak terlalu menyederhanakan.

Kenyataan sebenarnya agak lebih bernuansa — kalau boleh disebut begitu. Contohnya tentu saja planet Saturnus yang sudah kita uraikan. Alih-alih garis lurus menuju kesempurnaan, ‘jalan’ penemuannya silang-sengkarut. Ada yang salah lihat; ada yang salah duga; beberapa tokohnya bahkan saling meminjam ide.

Berangkat dari hasil pengamatan (yang kualitasnya bervariasi), berbagai hipotesis saling berkompetisi. Masing-masing berusaha menjelaskan penyebab di balik layar — dalam istilah bahasa Inggrisnya, to save the phenomenon. Tentu saja mekanismenya tergantung yang merumuskan.

Mulai dari semburan gas, Saturnus berbentuk lonjong, hingga Saturnus mempunyai korona pernah dipertimbangkan. Kemudian muncul solusi elegan (milik Huygens) yang sudah disinggung.

Di sinilah kita melihat bahwa ilmuwan hebat itu — sejatinya — tidak cuma harus pintar, tapi juga kreatif. Diberikan data pengamatan A, B, dan C. Bagaimana cara menjelaskannya?

Filsuf Prancis Voltaire pernah menyebut bahwa benak Archimedes lebih kreatif daripada Homer, penyair Yunani Kuno yang menulis Iliad. Itu karena Archimedes menjelajah dunia ‘lain’. Mulai dari cara menghitung volume bola; menemukan prinsip tuas; membuat sekrup ulir. Setiap “Eureka!” Archimedes adalah momen pencapaian kreatif. Ini dia aspek dunia ilmu yang sering terlewat. :D

Pada akhirnya, sains adalah upaya manusia dan mencerminkan sifat manusia. Bisa salah, bisa meleset, tapi bisa juga sangat benar dan monumental.

Human, all too human, snatching slow arrow of beauty….

 

 
——

Pustaka:

 
Gould, S.J. (2011). The Sharp-Eyed Lynx, Outfoxed by Nature. Dalam The Lying Stones of Marrakech: Penultimate Reflections in Natural History (hlm 27-51). Cambridge, MA: Harvard University Press

Heilbron, J.L. (2010). Galileo. New York: Oxford University Press

Hockey, T., Trimble V., Williams, T.R. (Eds.). (2007). Biographical Encyclopedia of Astronomers. New York: Springer

van Helden, A. (1974a). “Annulo Cingitur”: The Solution to the Problem of Saturn. Journal for the History of Astronomy 5, 155-174

van Helden, A. (1974b). Saturn and His Anses. Journal for the History of Astronomy 5, 105-121

van Helden, A. (2004, Oktober 27). Huygens’ Ring, Cassini’s Division & Saturn’s Children. Dipresentasikan dalam Dibner Library Lecture, Smithsonian Institution, Washington DC.

Peta Bintang Al-Sufi

$
0
0

Dalam posting beberapa waktu lalu, kita membahas tentang transmisi pengetahuan Yunani-Romawi ke peradaban Islam Abbasiyah. Melalui serangkaian peristiwa yang kompleks, termasuk diantaranya geopolitik, berbagai manuskrip karya Euclid, Galen, dan Ptolemaeus dapat masuk ke tanah Arab. Berbagai manuskrip ini kemudian diterjemahkan dan dipelajari, sedemikian hingga akhirnya dunia sains Muslim maju pesat.

To be clear, yang berperan di situ bukan hanya Yunani-Romawi. Ada juga sumbangsih matematika dari India, plus filsafat Persia. Akan tetapi soal mereka tidak kita bahas di sini.

Sebagaimana Isaac Newton pernah menyebut, “berdiri di atas bahu raksasa”, demikian pula dengan sains Islam Abbasiyah. Kemajuan mereka sedikit-banyak ditunjang masukan ilmu bangsa lain. (Selanjutnya bisa dibaca dalam posting yang di-link)

Nah, termasuk bidang ilmu yang mendapat pengaruh luar itu adalah astronomi. Sekitar abad ke-9 Masehi, banyak astronom Muslim membaca buku Almagest karya Ptolemaeus. Ptolemaeus dalam karyanya menggolongkan 48 rasi bintang yang terlihat dari Yunani. Berbagai rasi itu kemudian diadaptasi astronom Muslim, diberi nama Arab, dan ditambahi hasil pengamatan baru.

Sebagai contoh, rasi Aquila (Elang) diberi nama Okab; bintang paling terangnya disebut Al-Nasr Al-Tair (sekarang jadi Altair). Cassiopeia menjadi dzat-al-kursi (“perempuan duduk”) mengikuti ilustrasi. Sementara itu Orion menjadi al-Jabbar — dalam bahasa Indonesia berarti raksasa.

Bisa ditebak, silang-ilmu lintas-budaya itu kemudian tercermin dalam peninggalan arkeologi. Salah satunya peta bintang yang akan kita bahas. Berjudul Kitab Suwar al-Kawakib al-Tsabitah, buatan astronom Persia Abdul Rahman Al-Sufi. Karya ini mempunyai keunikan: menampilkan rasi bintang Yunani, tetapi dengan ilustrasi dan dekorasi Islam.

Yes, you heard that right. Percampuran budaya Yunani dan Islam! :D Soal ini akan dibahas lebih detail di bawah.

Zaman internet begini, kita beruntung, sebab banyak museum membuka konten mereka secara online. Demikian pula peta bintang Al-Sufi — bisa dibaca di BNF Gallica. Meskipun begitu kalau pembaca punya program Stellarium bisa langsung melihatnya. Cukup set starlore ke versi Arabic. Hasilnya akan tampak seperti berikut.

[img] Stellarium Arabic sky culture

Peta Bintang Al-Sufi di Stellarium. Ada centaurus pakai sorban!!
(klik untuk memperbesar)

Nah, sekarang kita akan mulai membahas isi bukunya. Kitab Suwar al-Kawakib al-Tsabitah dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Book of Fixed Stars.

Satu hal yang mencolok adalah teknik Al-Sufi menjelaskan legenda Yunani yang tidak ada versi Islamnya. Misalnya rasi Perseus. Alih-alih bercerita tentang pahlawan yang mengalahkan Medusa, Al-Sufi mendeskripsikan sebagai “Hamil Ra’s Al-Ghul” — pembawa kepala setan.

[img] Perseus, Al-Sufi star map

Perseus versi Al-Sufi
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Legenda lain yang ikut diadopsi adalah Andromeda. Mirip dengan versi Yunani, Andromeda digambarkan terikat oleh rantai, meskipun begitu namanya dijadikan versi Arab. (“Al-Mara’ah Al-Musalsalah” — perempuan yang dirantai)

[img] Andromeda, Al-Sufi star map

Andromeda (“Al Mara’ah Al-Musasalah”)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Untuk rasi berbentuk hewan umumnya tidak berubah. Bentuk dan deskripsinya tetap — yang berbeda hanya ilustrasi.

[img] Cancer, Al-Sufi star map

Cancer (Kepiting)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

[img] Cygnus, Al-Sufi star map

Cygnus (Angsa)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

[img] Leo, Al-Sufi star map

Leo (Singa)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Menariknya, Virgo digambarkan sebagai malaikat perempuan. Ada sayapnya juga. :P

[img] Virgo, Al-Sufi star map

Virgo versi Al-Sufi (nama Arab: “Al-Athra”)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Meskipun begitu yang paling unik adalah Sagittarius. Entah bagaimana, Al-Sufi memilih penggambaran Centaurus pakai sorban. Bukan orang bersorban naik kuda atau sebagainya, tapi terang-terangan Centaurus bergaya Timur Tengah. Di sini terlihat elemen akulturasi budaya Yunani-Arab.

[img] Sagittarius, Al-Sufi star map

Sagittarius (“Ar-Rami” — sang pemanah)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

To be fair, beliau cukup konsisten. Ketika menggambarkan rasi Centaurus penampakannya juga begitu. Berbeda dengan tokoh mitos lain, namanya tidak diganti: dieja begitu saja dengan huruf Arab (“Qanttorus”).

[img] Centaurus, Al-Sufi star map

Centaurus (“Qanttorus”)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Dua makhluk legenda masih mengikuti versi Ptolemaeus, yaitu Draco (naga) dan Cetus (monster laut). Dilihat-lihat gambarnya cukup badass. :P

[img] Draco, Al-Sufi star map

Draco (“At-Tinniin” — Naga)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

[img] Cetus, Al-Sufi star map

Cetus (“Qaytthos”)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Sebagai penutup adalah dua rasi yang tidak mengikuti Ptolemaus. Lyra (alat musik) berubah jadi kura-kura, dan Ara (altar) berubah jadi mangkok panas. Alasan di baliknya kurang jelas — meskipun begitu intinya sama dengan versi Yunani.

[img] Lyra, Al-Sufi star map

Mengapa jadi kura-kura? (Wallahu a’lam…)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

[img] Ara, Al-Sufi star map

Mangkok Panas versi Al-Sufi (“Al-Mijmarah”)
(klik untuk memperbesar)

(manuscript digitized by Gallica)

Dan tentunya masih banyak yang belum disebut. Meskipun begitu uraian sejauh ini harusnya cukup menunjukkan: bahwa di satu waktu pernah ada percampuran budaya antara Arab dan Yunani, yang secara menarik, diperantarai ilmu astronomi.

Pembaca yang hendak menelusuri lebih lanjut bisa mengecek koleksi digital di BNP Gallica. Meskipun begitu saya harus mengingatkan: ukuran berkasnya sangat besar. Jika koneksi internet bergantung pada kuota, sebaiknya jangan lihat — dan jangan download ebook lengkapnya.

(Sekadar info, PDF versi full di sana berukuran 162 MB. Yes, it’s that big!)

Bagaimanapun, terlepas dari itu, menarik dicatat bahwa Peta Bintang Al-Sufi berperan besar dalam dunia ilmu. Seiring populernya astronomi di dunia Islam, peta bintang beliau menyebar dan banyak dikopi. Bahkan tidak cuma di dunia Islam — melainkan sampai ke Eropa.

Memasuki abad ke-13, Peta Bintang Al-Sufi akan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, memperkenalkan kosakata astronomi Arab ke Eropa. Dari sinilah munculnya nama-nama bintang “setengah-Arab” yang kita kenal. Salah satunya sudah disebut: Al-Nasr Al-Tair, yang di masa kini disebut Altair, dan akhirnya dijadikan nama tokoh video game. :lol:

[img] AC Altair's Chronicle

Tidak berhubungan dengan astronomi

(image credit: AC Wiki)

Sampai di sini kiranya terlihat sebuah perjalanan yang panjang. Bukan hanya lintas bangsa, tetapi juga lintas abad dan budaya. Hal-hal semacam ini membuat orang merasa kecil dan — yang paling penting — menyadarkan bahwa bangsa manapun tidak bisa maju sendirian. Transmisi ilmu pengetahuan itu cair, dan mustahil bisa dikotak-kotakkan.

Selalu ada sumbangan dan inspirasi dari pihak lain, dan itu dia yang harus diingat serta dihargai. :)

 

 
——

Bacaan Terkait:

 
Kunitzsch, P. (2007). Ṣūfī: Abū al-Ḥusayn Abd al-Raḥmān ibn Umar al-Ṣūfī. Dalam Hockey, T., Trimble V., Williams, T.R. (Eds.). Biographical Encyclopedia of Astronomers (hlm. 1110). New York, NY: Springer

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th/5th-10th c.). New York: Routledge

Xenophanes: Pemikir Bebas dari Colophon

$
0
0

Sekitar abad ke-6 sebelum Masehi, peradaban Yunani Kuno mulai menggeliat di bidang ilmu. Di berbagai wilayahnya muncul tokoh-tokoh yang menyebarkan gagasan. Dimulai oleh Thales di kota Miletus, kemudian muncul Pythagoras dari Samos, Alcmaeon dari Croton, serta Heraclitus dari Ephesus. Detail ajaran mereka bervariasi, namun semangat intinya sama: mencoba memahami dunia lewat rasio.

Dari yang tadinya takhayulan, mempercayai ramalan dan dewa-dewi, menjadi lebih kritis dan logis. Mereka juga memperkenalkan cara berpikir naturalistik: bahwa alam semesta bersifat teratur dan mengikuti hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, wajar jika Yunani abad ke-6 SM dipandang sebagai tempat lahirnya ilmu filsafat.

Nah, termasuk di antara tokoh yang mendorong perubahan tersebut adalah Xenophanes dari Colophon. Dia terkenal sebagai pengkritik agama Yunani Kuno, yakni penyembahan dewa-dewi di Gunung Olympus.

[img] Xenophanes engraving

Xenophanes dari Colophon (c. 570-475 SM)

(image credit: Wikimedia Commons)

Bagi kita di zaman modern, agak susah membayangkan bahwa — di satu masa — pernah ada yang menyembah Zeus dan kawan-kawan. Seolah-olah mereka hanya tokoh dunia mitologi. Pun demikian, faktanya memang mereka dulu disembah. Penggalian arkeologi menemukan reruntuhan kuil dan altar di berbagai kota. Menyebut dua di antaranya: Kuil Artemis di Ephesus serta Kuil Apollo di Delphi.

Di lingkungan seperti itulah Xenophanes hidup dan berkarir. Sebagaimana telah disebut, dia menolak politeisme, meskipun begitu yang menarik adalah argumennya. Dapat dibilang merupakan versi awal gagasan yang terkenal di zaman modern, yaitu skeptisisme dan relativisme.

Seperti apa detailnya akan segera kita lihat. Meskipun begitu, sebelum lanjut, kita akan berkenalan dulu dengan sosok pemikirnya.

 
Sang Pemikir Nomaden
 

Xenophanes dilahirkan di kota Colophon, Semenanjung Anatolia, sekitar tahun 570 SM. Sehari-harinya dia seorang penyair, termasuk di antaranya membuat karangan satir (silloi). Selama 25 tahun pertama hidupnya dihabiskan di kampung halaman.

Sayangnya malang tak dapat ditolak. Di tahun 545 SM, kota Colophon dijajah oleh Persia, membuat Xenophanes terusir. Puluhan tahun berikutnya dia hidup sebagai pengungsi, berpindah-pindah tempat, hingga akhirnya tiba di Italia.

Agak menyedihkan bahwa biarpun panjang umur, Xenophanes tak pernah kembali ke Colophon. Baru di akhir hayatnya dia menetap di kota Elea — terletak di Italia Selatan.

Now seven and sixty years have tossed my cares
Throughout the length and breadth of Hellas’ land.
To these add five and twenty from my birth,
If I can know and truly speak of that.

(dikutip dalam Guthrie, 1962, hlm. 363)

Menurut filsuf Yunani, Plato, Xenophanes punya murid bernama Parmenides. Parmenides adalah filsuf pendiri mazhab Eleatik — dia meyakini bahwa alam semesta bersifat tunggal, diam, dan seragam. Di satu sisi memang ajaran mereka mirip. Meskipun begitu para ahli umumnya menganggap testimoni Plato di atas meleset/tidak mempunyai bukti yang kuat. (lihat juga: Guthrie, 1962, hlm. 363-364)

Mirip rekan sepantarannya, Heraclitus, di masa kini tak ada karya asli Xenophanes yang bertahan. Itu karena masa hidup mereka begitu kuno — 2500 tahun sebelum kita. Hanya terdapat tulisan Xenophanes berbentuk “fragmen”, yaitu kutipan oleh filsuf generasi sesudahnya. Oleh karena itu para ahli harus melakukan rekonstruksi.

Namun kita masih beruntung, fragmen yang tersisa sudah cukup menjelaskan pemikiran beliau. Melalui fragmen-fragmen inilah kita dapat “mengintip” filsafat Yunani di awal kelahirannya.

Sebagaimana telah disebut, masa hidup Xenophanes adalah masa transisi, yaitu dari berbalut legenda — termasuk penyembahan dewa-dewi — menuju cara pandang yang lebih rasional. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Mengkritik Dewa-dewi
 

Satu hal yang menarik dari Xenophanes adalah keseriusannya mengkritik kepercayaan takhayul. Secara frontal dia menyebut penyembahan dewa di Yunani bersifat palsu — atau setidaknya, meleset dari Kebenaran.

Pandangan itu diinspirasi oleh pengalaman beliau hidup berpindah-pindah di seputar Laut Mediterania:

Ethiopians say that their gods are flat-nosed and black,
And Thracians that theirs have blue eyes and red hair.

(Xenophanes, Fragment #9, ed. Waterfield 2000 / DK B16)

Xenophanes mencatat bahwa bentuk fisik dewa-dewi mirip dengan masyarakat penyembahnya. Bangsa Ethiopia (tinggal di Afrika Utara) mempunyai kulit hitam dan hidung pesek, dewa mereka mirip seperti itu. Demikian juga bangsa Thracia: dewa mereka berkulit pucat, berambut merah, dan bermata biru.

Contoh lain yang mengena adalah bangsa Mesir Kuno. Bisa dilihat dalam gambar di bawah, mereka mempunyai sosok dewa yang khas. Namun lagi-lagi mirip dengan penampilan masyarakatnya.

[img] Egyptian afterlife

Kehidupan akhirat versi Mesir Kuno

(image credit: Wikimedia Commons)

Bisa ditebak, dewa-dewi bangsa Yunani juga mencerminkan masyarakatnya, yaitu berkulit putih dengan rambut bergelombang.

Di sinilah Xenophanes melancarkan kritikan. Menurut Xenophanes, agama-agama politeisme tidak mencerminkan kebenaran, melainkan sekadar proyeksi. Konteks suatu bangsa menentukan sesembahan yang mereka anut. Oleh karena itu: wajar jika dewa-dewi di dunia tampak berbeda.

Melanjutkan poin di atas, Xenophanes meneruskan: jika manusia menciptakan dewa manusia, tentulah hewan juga bisa, seandainya mereka cukup cerdas! :o

But mortals think that the gods are born,
Wear their own clothes, have voices and bodies.

If cows and horses or lions had hands,
Or could draw with their hands and make things as men can,
Horses would have drawn horse-like gods, cows cow-like gods,
And each species would have made the gods’ bodies just like their own.

(Xenophanes, Fragment #7-8, ed. Waterfield 2000 / DK B15-16)

Menapak lebih jauh, kultur suatu bangsa juga menentukan keyakinan mereka tentang akhirat. Bangsa Yunani misalnya percaya, sesudah meninggal orang akan naik perahu menyeberang Sungai Styx. Sementara bangsa Mesir percaya mereka harus melewati berbagai rintangan dan ditimbang perbuatannya.

Kritik utama Xenophanes adalah bahwa manusia selalu terhambat oleh bias. Di manapun berada, pandangan orang tentang Kebenaran tak akan sempurna. Selalu ada elemen subyektif yang dipengaruhi oleh — antara lain — kultur dan norma adat.

Termasuk di dalamnya adalah pandangan tentang “kebenaran” dewa dan akhirat. Sebagaimana telah kita lihat, suku bangsa yang berbeda punya versinya sendiri-sendiri.

Ibaratnya konteks suatu bangsa menjadi “lensa” yang membaurkan. Kepercayaan suatu bangsa lebih mencerminkan bangsanya daripada Kebenaran yang dicari. Kira-kira demikian kritik dari Xenophanes.

 
Meminimalkan Bias
 

Meninjau uraian di atas, cukup wajar jika Xenophanes menjadi sosok peragu. Dia menganggap bahwa manusia tak lepas dari bias dan konteks. Pada akhirnya elemen subyektif itu menghambat manusia mencapai Kebenaran.

Barangkali timbul pertanyaan, mengapa Xenophanes begitu khawatir dengan bias? Soal ini bisa dijelaskan lewat ilustrasi.

Di dunia sehari-hari kita tahu rasi bintang Scorpio, dianggap orang Yunani mirip kalajengking. Meskipun begitu berbeda dengan orang Jawa: mereka menamai rasi tersebut “kelapa doyong”. Orang Jawa hidup di negeri tropis, akrab dengan pohon kelapa, jadi mereka melihat pohon kelapa. Akan tetapi orang Yunani tidak tahu. Jadi mereka melihatnya, ya, itu mirip kalajengking (ada ekornya melengkung di belakang).

[img] rasi bintang Scorpio

(image credit: Wikimedia Commons)

Pertanyaannya sekarang adalah: jika melihat bintang saja tidak sepakat, bagaimana pula mau sepakat melihat Kebenaran? :lol:

Inilah sebabnya Xenophanes meragukan pendapat apapun tentang Kebenaran. Filsuf hebat sekalipun tidak bisa 100% obyektif — pemikirannya akan diwarnai oleh (antara lain) tempat dan pengalaman hidupnya. Bahkan berabad-abad kemudian, filsuf sekelas Plato dan Aristoteles dapat berlawanan, biarpun mereka guru dan murid.

Menurut Xenophanes,

Indeed, there never has been nor will there ever be a man
Who knows the truth about the gods and all the matters of which I speak.
For even if one should happen to speak what is the case especially well,
Still he himself would not know it. But belief occurs in all matters.

(Xenophanes, Fragment #16, ed. Waterfield 2000 / DK B34)

Kutipan di atas terdengar pesimistis. Pun demikian, bukan berarti Xenophanes menyerah. Sebagai seorang filsuf dia mempunyai “jalan keluar” tersendiri.

Biarpun tidak disebut secara eksplisit, Xenophanes meyakini bahwa Kebenaran Tertinggi bersifat lepas dari konteks lingkungan. Hal-hal yang diinspirasikan oleh lingkungan — seperti dewa dalam kisah Perang Troya — harus dikesampingkan. Untuk mendekati Kebenaran haruslah lewat logika yang universal.

Barangkali memang akhirnya mustahil untuk tahu. Akan tetapi setidaknya, kita punya ide yang berpotensi mendekati Kebenaran. Demikian simpul Xenophanes.

Let these things be believed as approximations to the truth.

(Xenophanes, Fragment #17, ed. Waterfield 2000 / DK B35)

 
Keyakinan Xenophanes
 

Uniknya, pemikiran Xenophanes mengantarnya pada gagasan yang — kalau boleh dibilang — mengingatkan pada monoteisme, biarpun dengan perbedaan.

Xenophanes memulai dengan klaim utama, yaitu bahwa Kebenaran Tertinggi tidak boleh mempunyai sifat manusia. Kita ingat keluhannya tentang dewa-dewi yang mirip masyarakat. Secara eksplisit dia melarang pandangan yang bersifat bias.

One god, greatest among gods and men,
In no way similar to mortal men in body or in thought.

(Xenophanes, Fragment #3, ed. Waterfield 2000 / DK B23)

Perlu dicatat bahwa biarpun Xenophanes menyebut “Tuhan”, pengertiannya berbeda dengan yang kita akrab. “Tuhan” dalam pemikiran Xenophanes adalah totalitas yang tak bisa dihubungi lewat doa. Mengacu sifatnya yang total, dia mewakili Kenyataan/Kebenaran Tertinggi. Konsep “Tuhan” ini disebut Xenophanes dalam bahasa Yunani: Theos (θεός).

Mengingat pengertiannya yang berbeda, dan supaya tidak rancu, selanjutnya kita akan menyebut “Tuhan” versi Xenophanes sebagai Theos.

Sebagaimana bisa dibaca, Xenophanes tidak percaya Theos bisa dibandingkan dengan manusia. Salah besar kalau orang menganggap Theos minta disembah, mengirim bencana, dan sebagainya. Sebab jika begitu, apa bedanya dengan dewa-dewi Yunani dan Mesir.

Poin menarik di sini adalah Theos sebagai totalitas. Karena segala sesuatu terlingkup di dalamnya, maka Theos menjadi maha tahu (omniscient).

Complete he sees, complete he thinks, complete he hears.

(Xenophanes, Fragment #4, ed. Waterfield 2000 / DK B24)

Terakhir, sebagai pamungkas, Xenophanes merumuskan Theos sebagai “selalu diam”. Sepintas ini klaim yang aneh. Meskipun begitu kita ingat: karena Theos melingkupi segala sesuatu, dia juga melingkupi semua tempat. Baik itu utara dan selatan, maupun timur dan barat. Maka tanpa bergerak pun Theos sudah ada di mana-mana. (Penjelasan kasarnya seperti itu)

He remains for ever in the same place, entirely motionless,
Nor is it proper for him to move from one place to another.
But effortlessly he shakes all things by thinking with his mind.

(Xenophanes, Fragment #5, ed. Waterfield 2000 / DK B24)

Di sinilah kita melihat perjalanan Xenophanes sebagai pemikir bebas. Menolak keyakinan tradisional, dia mengembangkan sistem filsafat yang khas, menggunakan premis dan logika yang — sebisa mungkin — bersifat universal. Hasilnya adalah serangkaian gagasan yang segar.

Tentunya bisa diperdebatkan, apakah filsafat Xenophanes itu benar atau tidak? Saya sendiri tidak percaya. Akan tetapi intinya bukan itu. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana proses beliau sampai ke sana.

Ketika diberitahu orang tidak menelan mentah-mentah; selalu berhati-hati menimbang gagasan. Sebisa mungkin menghindari bias. Biarpun Xenophanes punya keyakinan, dia sadar bahwa itu bisa salah. Xenophanes adalah sosok pemikir yang — kalau boleh dibilang — mempunyai kerendahan hati intelektual.

Menjelang akhir tulisan, kiranya cukup bagus jika kita tampilkan lagi kutipan beliau tentang skeptisisme:

For even if one should happen to speak what is the case especially well,
Still he himself would not know it. But belief occurs in all matters.

. . .

Let these things be believed as approximations to the truth.

 
(Xenophanes, Fragment #16-17, ed. Waterfield 2000 / DK B34-35)

 
Penutup
 

Ada sebuah frase menarik yang diciptakan Jacob Bronowski, peneliti sejarah ilmu berkebangsaan Inggris, ketika merujuk Yunani abad ke-6 SM. Pada saat itu beliau sedang membicarakan Pythagoras. Kutipan selengkapnya sebagai berikut; cetak tebal ditambahkan.

So there is no place and no moment in history where I could stand and say ‘Arithmetic begins here, now’. People have been counting, as they have been talking, in every culture. Arithmetic, like language, begins in legend. But mathematics in our sense, reasoning with numbers, is another matter. And it is to look for the origin of that, at the hinge of legend and history, that I went sailing to the island of Samos.

(Bronowski, 2011, hlm. 120)

Menurut Bronowski, Yunani abad ke-6 SM merupakan perpaduan yang unik. Di satu sisi bertabur legenda dan mitos, akan tetapi di sisi lain, mulai mengembangkan cara berpikir yang runtut dan logis. Contohnya adalah Pythagoras: seorang matematikawan dan filsuf, tetapi ajarannya penuh elemen mistik-religius.

Di sinilah kita melihat bahwa Xenophanes — seperti Pythagoras — adalah sosok zaman peralihan. Dunia mereka masih dikungkung mitos, tetapi perlahan-lahan mulai melepaskan diri. Memang tidak langsung sempurna, akan tetapi kita harus ingat: perubahan sehebat apapun dimulai dengan langkah kecil.

Menariknya, biarpun terpisah jauh dari kita, inti pemikiran Xenophanes dan Pythagoras masih relevan di zaman modern. Pythagoras dengan pandangan “alam semesta matematis” beresonansi dengan sains yang kita akrab. Sementara Xenophanes mengedepankan pandangan yang kritis dan skeptis.

Khusus tentang Xenophanes, ada beberapa hal bisa dipelajari dari beliau. Mulai dari menghindari bias; mengedepankan logika; tidak gampang percaya “apa kata orang”. Tak kalah pentingnya adalah sikap mental: bahwa seyakin apapun diri kita, kita masih bisa salah.

Meninjau pemikiran Xenophanes, yang lebih penting itu prosesnya — bukan kesimpulannya. Siapapun bisa punya keyakinan. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dicapai, itu dia yang penting.

Meminjam peribahasa Inggris: it’s about the journey, not the destination…

 

 
——

Pustaka:

 
Bronowski, J. (2011). The Ascent of Man. London: BBC Books

Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek Philosophy: Volume I: The Earlier Presocratics and The Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press

Lesher, J.H. (1978). Xenophanes’ Scepticism. Phronesis 23(1), 1-21

Waterfield, R. (2000). The First Philosophers: The Presocratics and Sophists. New York: Oxford University Press

Viewing all 60 articles
Browse latest View live