Pada tahun 161 Masehi, Imperium Romawi tengah berjaya di seantero Eropa, membujur dan melintang berpusat di Italia. Batas baratnya Semenanjung Iberia, yang di masa kini wilayah Spanyol dan Portugis. Di ujung timurnya Jazirah Arab dengan kota besar Palmyra dan Antioch, berbatasan dengan Persia. Dengan armada kapalnya mereka menyeberang laut, sedemikian hingga setelah berabad-abad, Inggris yang dingin hingga Mesir yang terik ikut jatuh ke tangan mereka.
Imperium Romawi — bisa ditebak — adalah bangsa penakluk tanpa ampun. Di laut mereka jaya, dan di darat mereka menggila. Bahkan seluruh Laut Mediterania mereka lingkupi. Dari pantai Gibraltar ke Italia, hingga Balkan dan Asia, juga sisi seberangnya di Afrika Utara: semua milik Romawi.
Mare Nostrum, begitu bangsa Romawi menyebut Laut Mediterania. Dalam bahasa Latin berarti “Laut Kami”. Zaman dulu banyak peradaban kuno menyisirinya, namun sekarang semua milik Kaisar.
![[img] Roman Map around time of Antoninus]()
Peta wilayah Romawi sekitar tahun 161 M
(adapted from: Wikimedia Commons)
Dengan konteks seperti itu, wajar jika dalam sejarah banyak orang ingin jadi Kaisar, bahkan jika perlu saling membunuh. Meskipun begitu selalu ada pengecualian.
Ketika Marcus Aurelius naik tahta, dia melakukan terobosan radikal: menunjuk saudara angkatnya, Lucius Verus, sebagai Kaisar Pendamping. Untuk pertama kalinya Imperium Romawi dipimpin oleh “Kaisar Kembar” — di mana yang satu berdiri setara dengan yang lain.
Secara resmi Marcus mengambil nama gelar “Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus”, sementara Lucius “Imperator Caesar Lucius Aurelius Verus Augustus”.
![[img] Marcus Aurelius & Lucius Verus]()
Dua Kaisar Romawi: Marcus Aurelius (kiri) dan Lucius Verus (kanan)
(image credit: Wikimedia Commons [1], [2])
Untuk dicatat, dalam sejarah Romawi terdapat beberapa Kaisar yang menunjuk dua pewaris untuk naik tahta bersama, tapi tidak pernah terwujud. Meskipun begitu yang dilakukan Marcus tetap spesial, sebab dia sendiri yang membagi tahta miliknya.
Peristiwa ini jelas mengejutkan. Alih-alih merengkuh tahta seperti umumnya para raja, Marcus justru enggan dan berbagi. Pertanyaannya adalah, mengapa?
“A Grave Young Man”
Untuk menjelaskannya, ada baiknya kita mundur dulu sedikit ke tahun 138. Di masa ini Marcus berusia sekitar 17 tahun.
Marcus Aurelius berasal dari keluarga kelas menengah, klan Annius, yang berasal dari sekitar Cordoba di Spanyol. Klan ini cukup makmur biarpun bukan keluarga politik. Ada seorang kerabatnya pernah jadi konsul sebanyak tiga kali, namun di luar itu tak ada yang spesial.
Sedikit catatan tentang nama. Sebenarnya Marcus terlahir bernama Marcus Annius Verus. Meskipun demikian ayahnya mati muda, membuat ia diasuh pamannya bernama Titus Aurelius Antoninus. Menghormati peristiwa ini Marcus kemudian menambahkan nama marga “Aurelius”.
Marcus muda dikenal berpribadi lurus. Dia dijuluki Verissimus (“yang paling jujur”). Sejak mudanya belajar filsafat, Marcus adalah seorang Stoik, terbiasa hidup sederhana dan spartan. Hari-harinya diisi aktivitas fisik seperti berlatih gulat, berburu, dan bertinju. Meskipun begitu belakangan dia terbuka pada sastra, mempelajari Cicero dan Plautus.
Barangkali bukan kebetulan bahwa Kaisar Hadrian — yang waktu itu sedang berkuasa — melihat potensi Marcus. Hampir berusia 90 tahun, Hadrian tidak mempunyai anak kandung, dan di saat mengangkat anak meninggal pula di waktu muda. Hadrian lalu berdiskusi dengan Titus Antoninus membahas Marcus sebagai pewaris.
Namun untuk memimpin Imperium jelas butuh orang dewasa, tidak cocok untuk pemuda. Oleh karena itu, sementara Marcus menimba pengalaman, Antoninus berhak menjadi Kaisar.
Hadrian lalu berkisah tentang cucu angkatnya. Namanya Lucius, dan dia baru berumur 11 tahun. Bersediakah Antoninus mengadopsinya juga?
Singkat cerita Antoninus setuju. Di usia 52 tahun dia diangkat anak oleh Hadrian — membuat Marcus “terlempar” dalam jalur cepat menuju tahta.
* * *
Sementara itu Marcus kecewa.
Sebagaimana telah disebut, Marcus adalah penganut Filsafat Stoik. Doktrin Stoik mengatakan bahwa godaan dunia amat besar, dan sebaik-baiknya manusia adalah yang tidak diperbudak keinginan. Hidup yang ideal adalah secukupnya dan selaras dengan alam. Oleh karena itu, ketika mendengar dirinya ditunjuk Hadrian, hati Marcus terbelah.
Masalahnya Marcus seorang Romawi. Dia sadar bahwa tugas telah datang dan — dalam tanda kutip — “memilihnya”. Sebagaimana dalam legenda tiga putra Horatius ikhlas ke medan perang, mempertaruhkan nyawa mereka, demikian pula nurani Marcus terpanggil.
Sedikit gambaran tentang isi hati Marcus tersirat dalam jurnal pribadi, ditulis bertahun-tahun selewat peristiwa di atas. Mengutip penulis biografi Anthony Birley: “this is certainly a grave young man.”
Take care that thou art not made into a Caesar, that thou art not dyed with this dye; for such things happen. Keep thyself then simple, good, pure, serious, free from affectation, a friend of justice, a worshipper of the gods, kind, affectionate, strenuous in all proper acts. . . . Short is life. There is only one fruit of this terrene life—a pious disposition and social acts.
(Marcus Aurelius, “Meditations” VI.30, terj. George Long)
Pendidikan Calon Kaisar
Pada bulan Juli 138, Hadrian meninggal karena sakit. Dia relatif sukses sebagai Kaisar, tetapi akhir hidupnya tidak tenang. Banyak musuh, banyak pembunuhan, sampai-sampai timbul gosip Hadrian meracuni istrinya sendiri. Tidak aneh bahwa dia dimakamkan sambil “dibenci semua orang”. (Birley, 2000, hlm. 53)
Wafatnya Hadrian membuat Antoninus, paman Marcus, menjadi Kaisar. Berbeda dengan pendahulunya Antoninus adalah orang yang bersahabat. Ia disenangi oleh Senat, dan sepanjang kekuasaannya tidak ada perang sama sekali. Karena citranya yang baik dan saleh dia kemudian digelari “Antoninus Pius”.
![[img] Antoninus Pius bust]()
Antoninus Pius (86-161 M)
(image credit: Wikimedia Commons)
Penting dicatat bahwa sebagai paman, sekaligus juga ayah angkat, didikan Antoninus berdampak besar pada Marcus. Dialah yang mengajari Marcus agar “teliti melihat masalah”, “tidak menganggap diri lebih dari orang lain”, dan “mengatur pengeluaran dengan hati-hati”. (Meditations I.16)
Sementara itu Marcus dipersiapkan sebagai ahli waris. Salah satu gurunya yang paling akrab bernama Fronto — pengajar teknik orasi dan retorika.
Filsafat mengajari apa yang harus dikatakan, tetapi retorika mengajari bagaimana menyampaikannya. Demikian Fronto menekankan pada sang murid.
Pun demikian, satu hal mengecewakan Fronto, sebab Marcus akhirnya memilih filsafat dan melupakan sastra. Terkait hal ini Marcus berterima kasih pada gurunya yang lain, Junius Rusticus: filsuf yang mengajari pentingnya kesederhanaan dan karakter moral.
From Rusticus I received the impression that my character required improvement and discipline; and from him I learned not to be led astray to sophistic emulation . . . and with respect to those who have offended me by words, or done me wrong, to be easily disposed to be pacified and reconciled, as soon as they have shown a readiness to be reconciled.
(Marcus Aurelius, “Meditations” I.7, terj. George Long)
Ada juga beberapa guru Marcus di luar itu, sebagai contoh Maecianus dan Herodes. Meskipun begitu tak banyak yang diceritakan tentang mereka.
Sampai di sini kiranya cukup menggambarkan ciri pribadi Marcus Aurelius. Sebagaimana bisa dilihat dia orang yang filosofis dan berhati-hati dengan keduniaan. Meskipun demikian rasa tanggung jawab mendorongnya menerima hidup sebagai calon Kaisar.
“Sang Mentor” Antoninus
Bahwa Marcus sangat hormat pada pamannya, hal itu cukup jelas. Sejatinya hubungan mereka lebih dari hormat. Antoninus adalah orang yang paling banyak disebut dalam buku harian Marcus — semua dengan nada positif. “Ingatlah keteguhannya dalam berbuat rasional, berlaku adil, dan bertindak saleh.” (Meditations VI.20)
Di bawah supervisi Antoninus Marcus berkembang sebagai seorang negarawan. Usianya baru 24, namun sudah dua kali menjabat konsul. Dapat dibilang bahwa hubungan Marcus dan Antoninus sangat harmonis.
Oleh karena itu, tidak heran jika Antoninus akhirnya memberikan putrinya — bernama Faustina — kepada Marcus. Mereka menikah di tahun 145 dengan perayaan cukup megah.
Annia Galeria Faustina, atau lebih dikenal “Faustina Minor”, adalah sosok yang enigmatik. Selama tiga puluh tahun ia menjadi istri yang baik dan tabah, termasuk menemani sang suami ke medan perang. Dia melahirkan 14 orang anak dengan enam mencapai usia dewasa. Meskipun demikian gosip buruk rutin menimpanya: dia disebut suka bermain pria, berselingkuh dengan gladiator dan pelaut, sementara suaminya sibuk bekerja. Mengenai hal ini bukti-buktinya tidak jelas, dan kemungkinan besar cuma fitnah.
Marcus sendiri mempercayai Faustina seumur hidup. Dalam jurnalnya dia bersyukur “mempunyai istri yang penurut, penuh kasih, dan sederhana”. Mengecualikan gosip di atas, kehidupan mereka bisa dibilang tenang dan bahagia.
* * *
Sepuluh tahun menjabat Kaisar, Antoninus mulai memberi wewenang lebih kepada Marcus. Dia meresmikan Marcus sebagai penanggung jawab tentara dan provinsi. Untuk selanjutnya Marcus menjadi tangan kanan Antoninus dalam memerintah.
Pengaturan di atas berlaku sampai Antoninus meninggal di tahun 161. Menarik dicatat bahwa Marcus begitu sabar menanti, biarpun dia tahu “jatahnya” sudah ditentukan sejak lama oleh Hadrian. Sebagaimana telah disebut masa pemerintahan Antoninus sangat tenang dan damai. Menimbang sejarah Romawi yang penuh pertikaian ahli waris — dengan contoh paling brutal Nero dan Caligula — keselarasan Marcus dan Antoninus ibarat angin segar.
Dan memang Marcus seorang yang penyabar. Hal itu dibentuk oleh filsafat yang dianutnya, yang mempercayai bahwa semua hal ada waktunya untuk muncul. Sebagaimana Marcus sendiri menulis:
Everything harmonizes with me, which is harmonious to thee, O Universe. Nothing for me is too early nor too late, which is in due time for thee. Everything is fruit to me which thy seasons bring, O Nature: from thee are all things, in thee are all things, to thee all things return.
(Marcus Aurelius, “Meditations” IV.23, terj. George Long)
Tahun-tahun Berkuasa
Marcus itu orang yang saleh — dalam pengertian luas. Sebagaimana telah dilihat sejauh ini, dia konsisten menghindar godaan. Ciri utama dalam dirinya adalah kesabaran, yang diinspirasikan oleh kepahaman di bidang filsafat.
Sifat-sifat itu tercermin ketika ia dilantik menjadi Kaisar sesudah pamannya meninggal. Ketika hendak mendapat tahta, ia teringat bahwa saudara angkatnya, Lucius, sebenarnya juga berhak: mereka sama-sama diasuh Antoninus atas restu Hadrian. Oleh karena itu, menjelang pelantikannya, ia sempatkan mengunjungi Senat untuk mengatur bagian Lucius.
Sebagaimana diindikasikan di awal tulisan, permintaan itu disetujui. Marcus mencatat sejarah Romawi dengan caranya sendiri: bukan dengan kejayaan, tapi dengan kesederhanaan-filosofis. Barangkali wajar jika akhirnya dia mendapat julukan “Kaisar Filsuf”.
Masa pemerintahan Marcus dan Lucius tidak mudah. Berkebalikan dengan Antoninus, periode mereka penuh perang dan bencana. Baru sebentar naik tahta, kota Roma dilanda banjir. Beberapa waktu kemudian keributan pecah di Armenia, memaksa Lucius turun tangan. Sebagai tambahannya adalah kelaparan yang menghinggapi kota. (Banyak petani gagal panen karena banjir)
Marcus sendiri, dengan ketabahan yang tipikal, berhasil mengontrol situasi. Secara umum ia mendapat simpati rakyat. Melengkapi kepopulerannya, terutama di mata Senat, adalah berbagai reformasi hukum buatannya.
Namun beratnya situasi terus menekan. Sembilan tahun memimpin bersama, Lucius wafat di perbatasan. Usianya baru 39 tahun. Aslinya ia hendak memimpin perang, namun jatuh sakit dan meninggal mendadak.
“Orang yang moralnya mendorong saya meningkatkan diri,” demikian kenang Marcus. Entah tulus entah ironi, sebab Lucius punya reputasi playboy dan suka pesta. Terlepas dari itu wafatnya Lucius membuat Marcus harus bekerja sendiri.
Jalan sendiri bukan berarti jadi masalah. Nyatanya dia administratur yang baik dan efisien. Sebuah peristiwa menarik menunjukkan kualitas diri Marcus.
Syahdan dalam satu perang, pemerintahannya kehabisan uang, sementara pasukan barbar sudah menanti. Marcus tak sampai hati menuntut pajak tambahan dari rakyat: mereka baru dilanda wabah, dan banyak orang meninggal. Untuk mengisi kas dia lalu mengumpulkan harta istana untuk dilelang — termasuk sutra dan perhiasan milik istrinya, Faustina.
Begitu seriusnya Marcus, hingga sebagian dekorasi dari Mausoleum Hadrian juga ikut dilelang. “Jika orang ingin menjual balik [ke istana sesudah perang] maka dia izinkan. Dia tak membuat masalah untuk orang lain”. (Birley, 2000, hlm. 160)
![[img] Marcus Aurelius distributing bread to the people]()
Marcus Aurelius digambarkan membagikan roti kepada rakyat
(lukisan karya Joseph-Marie Vein, 1765)
(image credit: Wikimedia Commons)
Ironisnya, untuk ukuran Kaisar yang arif, sisa pemerintahan Marcus tidak tenang. Wabah dan perang seolah susul-menyusul. Namun yang paling kuat menghantam adalah masalah pribadi. Dia harus menyaksikan putranya, Annius Verus, meninggal di usia 7 tahun.
Masalah kehilangan anak sendiri rutin menimpa Marcus. Dia dan Faustina pernah mempunyai anak kembar, tapi tak sampai setahun dua-duanya meninggal. Putri sulung mereka senasib: lahir di tahun 148, berpulang sebelum 151. Pasangan Marcus dan Faustina dikaruniai 14 orang anak, namun sebagaimana telah disebut, hanya enam yang sampai usia dewasa.
Marcus adalah sosok yang tabah, tapi bukan berarti dia tidak sedih. Dalam buku harian Marcus menulis tentang kehilangan anak — biarpun dengan nada tawakal.
To look for the fig in winter is a mad-man’s act: such is he who looks for his child when it is no longer allowed. . . .
When a man kisses his child, said Epictetus, he should whisper to himself, “To-morrow perchance thou wilt die.”—But those are words of bad omen.—”No word is a word of bad omen,” said Epictetus, “which expresses any work of nature; or if it is so, it is also a word of bad omen to speak of the ears of corn being reaped”
(Marcus Aurelius, “Meditations” XI.33-34, terj. George Long)
Prahara dari Timur
Pada tahun 175, Imperium Romawi terguncang keras. Gubernur kepercayaan Marcus di Suriah, Avidius Cassius, menyatakan memberontak. Cassius adalah putra lokal yang populer; merasa basisnya kuat dia mengumumkan sebagai pemimpin baru Romawi.
Bisa dibilang inilah tantangan terbesar Marcus sejak dia memerintah. Gosip bertiup bahwa Cassius mendongkel Marcus karena perintah Faustina: mereka diceritakan terlibat asmara dan hendak merebut tahta.
Sejujurnya episode ini agak membingungkan dan kabur. Dugaan konservatif ahli sejarah adalah terjadi miskomunikasi. Marcus dalam beberapa tahun terakhir mulai dilanda sakit, dan dikhawatirkan segera meninggal. Ada kemungkinan Cassius mendengar dari Faustina, salah sangka mengira Marcus wafat, dan menyatakan diri Kaisar.
Mendadak sontak Romawi terancam perang sipil. Marcus awalnya berusaha menyembunyikan, tapi toh diumumkannya juga: bahwa gubernur Cassius telah memberontak, dan bahwa dia (Marcus) telah dikhianati oleh “seorang teman baik”. (Birley, 2000, hlm. 187)
Namun pemberontakan itu berumur pendek. Hanya tiga bulan berselang, prajurit yang loyal pada Marcus berhasil membunuh Cassius. Potongan kepala korban dikirim ke Roma, tetapi Marcus tak peduli dan menyuruh agar dikubur.
Menarik dicatat bahwa sesudah Cassius tewas, Marcus mengirim ajudan ke Suriah untuk membakar surat-suratnya. Mungkinkah Marcus khawatir isinya dapat menjatuhkan keluarga dan istana? Mengenai hal ini kemungkinan akan tetap jadi misteri.
Penutup
Pada tahun 180, Marcus meninggal dunia di tenda militer. Belakangan menjelang wafat, dia sering dilanda sakit, hingga sulit menelan makanan. Meskipun begitu Marcus tetap rajin mengorganisir di garis depan. (Mereka sedang melawan suku barbar dekat Sungai Danube)
Konon di saat terakhirnya Marcus mengurangi makan dan minum, seolah hendak mempercepat maut. Barangkali dia merasa tak usah memanjang-manjangkan umur — kondisinya toh sudah buruk sejak tahun 175.
Beberapa sumber menyebut Marcus meninggal terkena wabah. Ada juga yang menyebut kanker. Komentar yang lebih sinis menyebut bahwa ia diracun putranya, Commodus, tetapi ini spekulatif. (lihat juga: Birley, 2000, hlm. 209-210)
Kepergian Marcus sekaligus menandai akhir sebuah era. Pencatat sejarah Cassius Dio menyebut bahwa sepeninggal Marcus, Imperium Romawi “berubah dari kerajaan penuh emas menjadi kerajaan besi dan karat”. Respon ini banyak benarnya: sesudah Marcus meninggal Romawi akan diguncang intrik. Banyak pejabat saling bunuh, bahkan beberapa Kaisar tersambar nyawanya.
Sejarawan Inggris, Edward Gibbon, menyebut periode 96-180 Masehi sebagai “masa-masa bahagia”. Niccolo Machiavelli mengelompokkan Marcus sebagai “Lima Kaisar Hebat” — bersama dengan Trajan, Nerva, Hadrian, dan Antoninus. Secara umum dapat dibilang bahwa reputasi Marcus sangat positif, bahkan sampai ke zaman modern.
Barangkali agak ironis bahwa pria yang sukses ini justru menghindar jadi Kaisar. Sepanjang hidupnya dia orang yang sederhana. Bahkan sesudah ditunjuk pun dia masih enggan. Namun rasa tanggung jawab yang kuat mendorongnya: bahwa dia punya tugas, dan itu harus dijalankan.
Namun justru setelah dia naik terasa pilihan yang benar. Pemerintahan Marcus termasuk yang paling berat, tetapi mampu dilayarinya. Bencana alam banjir, gempa bumi, wabah; perang susul-menyusul; bahkan Imperiumnya hampir pecah — tapi dia selamat. Masa-masa berat menuntut pemimpin yang kuat. Marcus, dengan keteguhan batinnya, terbukti sepadan.
Mengenai yang disebut terakhir ada baiknya digarisbawahi. Sebagaimana beberapa kali disebut, Marcus adalah penganut filsafat Stoik. Mempelajari doktrin filsafat membentuknya jadi arif dan sabar. Berulangkali dalam hidupnya dia tertimpa masalah. Ayah kandungnya mati muda, demikian juga saudara angkatnya. Anak-anaknya banyak yang tak sampai dewasa. Bahkan istrinya, yang dia cintai, rutin dirundung gosip. Era pemerintahannya tunggang-langgang dilanggar bencana, dan seterusnya.
Akan tetapi Marcus tidak bermuram durja. Justru sebaliknya. Dia sadar dia punya tugas yang harus dijalani sebaik-baiknya, dan kalau perlu, sehabis-habisnya. Tugas sebagai Kaisar; tugas sebagai suami dan kepala keluarga. Tidak semuanya berhasil. Namun setidaknya lebih banyak yang sukses.
Bukan berarti Marcus tak punya kekurangan — ada juga tanda tanya besar. Marcus misalnya relatif diam ketika aparat Romawi menangkapi dan membunuh penganut Kristen. Dia juga gagal mendidik putranya, Commodus, jadi pewaris yang baik. Commodus sesudah sang ayah meninggal adalah Kaisar yang hambur dan inkompeten — begitu kacaunya hingga dibandingkan dengan Nero, Kaisar ‘gila’ dalam sejarah.
Marcus Aurelius, pada akhirnya, bukan sosok sempurna. Dia punya kelebihan dan kekurangan. Dia juga manusia, tetapi yang membedakan, dia selalu berusaha dengan keras. Marcus tak percaya idealisme dan utopia — baginya yang penting adalah berproses menuju ke sana.
Set thyself in motion, if it is in thy power, and do not look about thee to see if any one will observe it; nor yet expect Plato’s Republic: but be content if the smallest thing goes on well, and consider such an event to be no small matter.
(Marcus Aurelius, “Meditations” IX.29, terj. George Long)
Alangkah baiknya jika kita juga punya pemimpin seperti itu. Walaupun sepertinya masih jauuuuuh sekali. :P
——
Pustaka:
Birley, A.R. (2000). Marcus Aurelius: A Biography (Rev. ed.). New York, NY: Routledge
Cassius Dio (terj. Earnest Cary). Roman History, Bk. 69-72. Lacus Curtius.
Marcus Aurelius. (1914). The Meditations of Marcus Aurelius (terj. George Long). New York: P.F. Collier & Son
Scarre, C. (1995). Chronicle of the Roman Emperors. London: Thames & Hudson